Artikel

Mungkinkah Bertentangan Antara Putusan Tarjih dan Fatwa Tarjih ?

5 Mins read
KULIAHALISLAM.COM – Pemegang satu-satunya otoritas resmi dalam menjelaskan paham Tarjih Muhammadiyah hanyalah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, selain darinya, maka akan dianggap pendapat pribadi atau pendapat oknum. 

Kitab Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah

Meski dalam Muhammadiyah sudah punya Himpunan Putusan Tarjih (HPT) sebagai pedoman umum bagi seluruh warga Muhammadiyah, akan tetapi karena Pimpinan Pusat Muhammadiyah merasa perlu untuk memberikan “penjelasan tambahan” dari HPT yang sangat ringkas dan Pendek Keterangannya.

Makanya oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah diterbitkan buku-buku yang berjudul: “Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama (FFT: TJA)” dari mulai jilid 1, jilid 2, jilid 3, bahkan sampai jilid 8 plus/ditambah dengan fatwa-fatwa tarjih lainnya yang termuat dalam website FatwaTarjih.or.id dan website SuaraMuhammadiyah.id.

Fungsi Majelis Tarjih terhadap HPT

Fungsi fatwa Majelis Tarjih terhadap Himpunan Putusan Tarjih, secara singkat saya klasifikasikan menjadi 3 macam:

(1) Bayan Tafsir, yaitu Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah “menjelaskan” isi Himpunan Putusan Tarjih agar lebih jelas maksudnya. 

Untuk fungsi pertama ini, saya berikan tiga contoh:

Pertama, di buku HPT, pada kitab jenazah, tepatnya halaman 230.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat berkata dalam putusan:

وكفنوا الميـت كفنـا حسـنا فـي ثيـاب بـيض ساترة لجميـع بدنه وإذا أجمرتموه فأجمروه ثلاثا

“Kafan (bungkus)lah mayat itu dengan baik-baik dalam kain putih yang menutup seluruh tubuhnya. Dan bila kami hendak mengukupnya, maka ukuplah ia tiga kali,”[lihat Himpunan Putusan Tarjih, jilid 1, halaman 230].

Ini kemudian ditafsirkan (diperjelas) oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam buku FFT: TJA, jilid 5, tepatnya halaman 155.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat berkata dalam fatwa:

“Mengukup berasal dari kata kukup, artinya antara lain: wangi-wangian, atau wangi-wangian yang dibakar untuk mengasapi pakaian supaya harum baunya. Mengukup artinya antara lain mengasapi pakaian supaya harum baunya, dengan wangi-wangian. Dengan demikian mengukup kafan mayat, maksudnya mengasapi kain kafan dengan wangi-wangian atau kain kafan mayat diberi wangi-wangian seperti dengan minyak kayu cendana, minyak wangi, kapur barus dan lain-lain.” [lihat Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama, jilid 5, halaman 155].

Kedua, di buku HPT, pada kitab beberapa masalah, tepatnya halaman 293.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat berkata dalam putusan:

إذا أثبت الحاسب عدم وجود الهلال أو وجوده مع عدم إمكان الرؤية ورأى المرء إياه في الليلة نفسها، فايهما المعتبر؟ قرر مجلس الترجيح أن المعتبر هـو الرؤية

“Apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga; manakah yang mu’tabar? Majelis Tarjih memutuskan bahwa ru’yahlah yang mu’tabar.” [lihat Himpunan Putusan Tarjih, jilid 1, halaman 293].

Ini kemudian ditafsirkan (diperjelas) oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam buku FFT: TJA, jilid 3, halaman 130.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam fatwa:

“Untuk lebih jelasnya kami kutipkan kembali pernyataan tersebut. “Apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah and tetapi tidak kelihatan padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga: manakah yang mu’tabar? Majelis Tarjih memutuskan bahwa ru’yahlah yang mu’tabar”. 

“Pernyataan ini menegaskan bahwa apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan sudah wujud di atas ufuk dengan ketinggian tertentu, tetapi menurut hisab wujud bulan di atas ufuk dengan ketinggian tertentu itu tidak mungkin dapat dilihat (tidak mungkin rukyah), namun kemudian kenyataannya ada orang yang dapat melihat bulan (berhasil rukyah) pada malam itu juga, maka ru’yah yang demikian itulah yang mu’tabar.”

“Sebaliknya, apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum wujud, atau positif berada di bawah ufuk, lalu ada orang yang mengatakan dapat melihat bulan (berhasil ru’yah), maka ru’yah itu bukanlah ru’yah yang mu’tabar. Jadi jelaslah bahwa ru’yah yang dianggap mu’tabar itu adalah bila bulan menurut perhitungan hisab telah wujud, yakni positif di atas ufuk dengan tidak ditentukan berapa derajat positifnya itu.” [lihat Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama, jilid 3, halaman 130].

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam putusan:

ولاَ يُشْبِهُهُ شَيئٌ مِنَ الكَائِنَاتِ

“Dan Tiada sesuatu yang menyamai-Nya.” [lihat Himpuan Putusan Tarjih, jilid 1, halaman 14 ].

Ini kemudian ditafsirkan (diperjelas) oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Fatwa Majelis Tarjih dalam artikel bertajuk “Maksud Al-Ka’inat Dan Al-Ikhtiar Dalam HPT” Di Website FatwaTarjih.or.id.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam fatwa:

“makna al-ka’inat, yang terdapat dalam HPT halaman 14.” Kata al-ka’inat adalah bentuk jamak dari kata al-ka’inah, yang berarti segala yang ada atau semua makhluk Allah SWT.

Maka yang dimaksudkan dengan pernyataan: لاَ يُشْبِهُهُ شَيْئٌ مِنَ الْكَائِنَاتِ , ialah: tiada suatu pun dari makhluk Allah yang menyamai Allah. Jika dikatakan bahwa Allah mempunyai tangan, maka tangan Allah berbeda dengan tangan manusia atau makhluk lainnya. Jika dia mempunyai wajah, maka wajah Allah berbeda dengan wajah manusia atau makhluk lainnya, dan seterusnya.” [lihat https://fatwatarjih.or.id/maksud-al-kainat-dan-al-ikhtiar-dalam-hpt-muhammadiyah/ ].

(2) Bayan Taukid, yaitu fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah “menegaskan ulang” isi Himpunan Putusan Tarjih. 

Untuk fungsi kedua ini, saya berikan satu contoh:

Di buku HPT, Kitab Thaharah, halaman 49.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam fatwa, menerangkan Dldiantara hal-hal yang perlu dilakukan agar wudhu’ tidak batal’, salah satunya:

ولم تلامس المرأة

“Dan selama kamu tidak menyentuh wanita (setubuh).” [lihat Himpunan Putusan Tarjih, jilid 1, halaman 49].

Ini kemudian dipertegas kembali oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam buku FFT: TJA, jilid 5, halaman 2.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam fattwa:

“Dalam memahami firman Allah surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:

{اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ}
“atau menyentuh perempuan” [QS: Al-Maidah: 6].

Di kalangan para sahabat terdapat perbedaan pendapat. Pendapat pertama, antara lain pendapatnya ‘Ali dan Ibn ‘Abbas yang mengartikan firman di atas dengan setubuh. Pendapat kedua, antara lain pendapatnya ‘Umar ibn al-Khattab dan Ibn Mas’ud, yang mengartikan dengan persentuhan kulit laki-laki dan perempuan. 

Perbedaan pemahaman ini mengakibatkan perbedaan pendapat tentang batal atau tidaknya wudhu karena persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Menurut pendapat yang pertama, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini juga dipegangi oleh ulama Hanafiyah. 

Menurut pendapat yang kedua, persentuhan antara kulit laki-laki dan kulit wanita membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh ulama Syafi’iyah dan ulama Hanbaliyah. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, persentuhan kulit antara laki-laki dan kulit wanita membatalkan wudhu apabila menimbulkan syahwat.

Muhammadiyah mentarjih pendapat yang pertama, bahwa persentuhan kulit antara laki-laki dan kulit wanita tidak membatalkan wudhu, [lihat Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama, jilid 5, halaman 2 sampai halaman 3].

(3) Menetapkan hukum-hukum keagamaan yang tidak ditetapkan oleh HPT, yaitu Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjelaskan hal-hal keagamaan yang tidak dijelaskan oleh HPT. 

Contoh fungsi ketiga ini sangatlah banyak, diantaranya, masalah kepercayaan akan kedatangan dajjal (lihat FFT:TJA, jilid 7, halaman 170 sampai halaman 172), perincian tentang masalah warisan (Lihat FFT:TJA, Jilid 8, Halaman 91 Sampai 109), penolakan terhadap akidah wahdatul wujud (lihat FFT:TJA, jilid 2, halaman 14 sampai halaman 16), masalah jabat tangan selesai shalat (lihat FFT:TJA, jilid 4, halaman 71 sampai halaman 73), dan lain-lain yang sangat banyak untuk disebutkan. 

Fatwa Tarjih tidak Bertentangan dengan HPT

Melalui 3 upaya ini yang dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammad terhadap Himpunan Putusan Tarjih, maka saya tegas mengatakan bahwa:

“Fatwa-fatwa tarjih merupakan syarah yang resmi terhadap Himpunan Putusan Tarjih, yang dikeluarkan langsung oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.”

Fatwa tarjih menjelaskan, menegaskan kembali, dan menambahkan penjelasan terhadap penjelasan-penjelasan singkat yang ada dalam Himpunan Putusan Tarjih. 

Sangat sulit diterima jika fatwa tarjih bertentangan dengan Himpunan Putusan Tarjih. 

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah pemegang otoritas tarjih dan yang paling paham serta paling mengerti tentang usi Himpunan Putusan Tarjih, maka saya katakan: “anggapan-anggapan bahwa fatwa tarjih bertentangan dengan Himpunan Putusan Tarjih, adalah upaya delegitimasi (menjatuhkan otoritas) terhadap fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.”

Bahwa putusan tarjih itu kedudukannya jauh lebih tinggi daripada fatwa tarjih, itu benar, dan tentu saja, namun mengambil kesimpulan bahwa ada putusan tarjih dan fatwa tarjih yang bertentangan, itu kesimpulan “sangat sulit”, apalagi dibumbui dengan kalimat-kalimat: “jika saling bertentangan, maka fatwa harus ditolak”.

Kalaupun dianggap adanya pertentangan antara putusan tarjih dan fatwa tarjih. Bertentangan menurut siapa? Benarkah bertentangan? Ataukah justru hannya sekadar asumsi saja (yang ternyata keliru)?

Kalaupun toh ternyata benar ada Putusan Tarjih yang bertentangan dengan putusan tarjih yang lain, atau ada putusan tarjih yang bertentangan dengan fatwa tarjih yang lain, maka mekanisme penyelesaiannya adalah dengan mengajukan pertanyaan kepada Majelis Tarjih agar dijawab, atau diupayakan dibahas dari halaqah tarjih hingga sampai ke munas tarjih.

Saya pribadi menganggap, untuk Syarah HPT, kita tidak butuh mengambil buku lain, selain buku-buku tarjih, cukuplah dengan FFT:TJA dan fatwa-fatwa lain di SuaraMuhammadiyah.id serta FatwaTarjih.or.id sebagai syarah resmi terhadap HPT. 

Kemudian kalau ada pertanyaan tentang maksud HPT yang tidak jelas, silahkan tanya saja kepada majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, lalu akan dijawab melalui mekanisme fatwa yang sama sebagaimana 8 jilid buku FFT:TJA disusun. Demikianlah adanya, Wallahu A’lam.

Oleh : Ustaz Raihan Ramadhan
Baca...  Siapa Saja Ahlul Bait Rasulullah ?
2363 posts

About author
KULIAHALISLAM.COM merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Artikel

9 Alasan Mengapa Semua Orang Beralih ke Pintu Harmonika

3 Mins read
Pernahkah kalian mendengar tentang pintu harmonika? Ya, pintu ini memang sedang menjadi trend di kalangan masyarakat Surabaya dan Gresik. Bukan tanpa alasan,…
Artikel

Ajaran Berniaga dalam Islam di Era Digital: Memaksimalkan Potensi dengan Pasarino

1 Mins read
Dalam era digital yang semakin pesat, dunia bisnis mengalami transformasi yang signifikan. Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk…
Artikel

Jasa Feasibility Study dan Jasa Pembuatan Feasibility Study: Kunci Keberhasilan Proyek Bisnis

4 Mins read
Pendahuluan Dalam dunia bisnis yang kompetitif, pengambilan keputusan yang tepat sangat penting untuk memastikan kesuksesan suatu proyek. Salah satu langkah awal yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights