Penulis: Achmad Fattah Abdurrohman*
Tiga pekan lalu, penulis cukup terkejut ketika membaca artikel Asep Saepullah, berjudul Konsep Utilitarianisme John Stuart Mill: Relevansinya terhadap Ilmu-ilmu atau Pemikiran Keislaman dan terbit di jurnal Aqlania. Pasalnya, dalam artikel tersebut, dia bertujuan mengetahui relevansi ajaran utilitarian Mill terhadap hazanah keilmuan Islam melalui pendekatan ‘historis-filosofis’.
Dia menyimpulkan bahwa konsep kebahagiaan dalam utilitarian Mill relevan dengan, katanya, ‘pandangan keagamaan Islam’. Hanya saja, hal tersebut cukup meragukan bagi saya. Oleh karena itu, di sini, saya akan sedikit mengulas teori moral utilitarianisme.
Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih dalam, untuk memahami istilah moral, perlu kiranya kita membedakannya dengan istilah etika. Singkatnya, moral adalah petuah-petuah atau wejangan atau aturan tentang bagaiman manusia harus hidup. Sementara itu, etika adalah ilmu kritis yang hendak mengetahui mengapa manusia harus mengikuti wejangan-wejangan para bijak. (Magnis Suseno, 1987: 14)
Sejarah Utilitarianisme
Sebetulnya, gagasan moral utilitarianisme itu sudah muncul sejak abad 18, di zaman David Hume. Bila dirunut jauh ke belakang, jauh sebelum Masehi hingga awal-awal Masehi, atau mazhab Epikurean, kita juga akan menemukan konsep-konsep yang sejenis.
Gagasan tersebut dilanjutkan oleh Jeremy Bentham dan disempurnakan oleh Jhon Stuart Mill di abad 19. Kemudian, pada abad 20, di tangan Richard Brandt, utilitarianisme dimodifikasi dan disebut sebagai utilitarianisme peraturan (Rachels, 2008: 206-207).
Sejak saat itu, ajaran Bentham dan Mill disebut sebagai utilitarianisme klasik/tindakan. Oleh karena itu, perlu diketahui letak perbedaan antara konsep Utilitarian Peraturan dan Utilitarian Tindakan.
Ajaran Klasik menekankan bahwa prinsip utilitas digunakan untuk menentukan baik atau tidaknya suatu tindakan individual. Di sisi lain, ajaran utilitarian peraturan menekankan bahwa prinsip tersebut digunakan untuk membuat suatu aturan sehingga tindakan individual ditentukan oleh kesesuainnya dengan aturan yang telah ditetapkan (Rachels, 2008: 206).
Konsep Utilitas
Menurut Bentham, prinsip utilitas adalah prinsip moral yang utama. Tuntutan dari asas ini adalah agar setiap kali kita menghadapi pilihan dari tindakan praktis atau suatu kebijakan, maka “putuskanlah suatu langkah yang memiliki konsekuansi paling baik bagi setiap orang yang terlibat secara menyeluruh”. Lebih lanjut, “teori ini dapat disederhanakan menjadi 3 pernyataan”, kata James Rachels (Rachels, 2008: 187.
1. Kebenaran atau kesalahan suatu tindakan itu berdasarkan konsekuensinya;
2. Indikator akibat dari suatu tindakan hanyalah kuantitas kebahagiaan atau ketidakbahagiaan; dan
3. Penting untuk menganggap bahawa kemakmuaran tiap orang itu sama.
Boleh jadi pembaca memiliki pandangan bahwa gagasan Mill dan Bentham memiliki perbedaan. JS Mill mempertimbangkan kualitas kebahagiaan dan J. Bentham tidak mempertimbangkannya. Hanya saja, saya memilih untuk tidak membedakannya karena 2 alasan:
a.i.1. Menurut Gordon Graham, konsepsi Mill tentang pembedaan kebahagiaan dari segi kualitas itu problematik (Graham, 2018: 65-67) dan
a.i.2. Menurut Betrand Russell, dengan nada sinis, argumen JS. Mill menyesatkan sehingga sulit dimengerti (Russell: 2020).
Untuk menangkap konsep utilitarianisme klasik ini, mari kita carmati gambaran dari Rachels yang melukiskannya dengan cerita permintaan eutanasia Matthew Donnelly. Sebelum memulainya, perlu diketahui bahwa eutanasia adalah suatu tindakan atau permintaan tindakan pengakhiran hidup (KBBI). Oleh karena itu, saran saya adalah untuk tidak berkesimpulan secara gegabah..
Kasus Eutanasia
Matthew Donnelly adalah dokter yang telah mengabdikan dirinya selama 30 tahun di suatu rumah sakit untuk meneliti penggunaan sinar-X. Akibat pekerjaannya, ia pun akhirnya menderita kanker kulit. Dia kehilangan sebagian rahang, bibir atas, hidung, tangan kiri, 2 jari tangan kanan, kebutaan pada matanya, hingga kondisi yang semakin memburuk.
Dokternya memprediksi bahwa kehidupan Matthew hanya tinggal 1 tahun. Namun, Matthew tidak ingin mempertahankannya karena rasa sakit yang dia derita. Karena dia pun tahu bahwa umurnya tidak panjang dan untuk menghindari rasa yang amat sakit itu, Dia memohon kepada 3 saudaranya untuk mengakhiri hidupnya saja.
Dua saudaranya dengan tegas menolak permintaan tersebut. Namun, adik bungsunya yang bernama Harold Donnelly tidak menolak. Dia tidak tega dengan rintihan kesakitan Matthew hingga akhirnya menggunakan pistol berkaliber 30 untuk membunuh kakaknya.
Bagi utilitarianis, tindakan Harold benar secara moral. Berdasarkan prinsip utilitas di atas, kebahagiaan dan ketidakbahagiaan semua orang yang dipertimbangkan untuk menilai tindakan Harold hanyalah Matthew dan keluarganya saja. Saya dan para pembaca tidak diajak.
Pandangan Islam
Tentu, menurut tradisi moral kita, Rachels melanjutkan, tindakan Harold tersebut salah, meskipun memiliki motif yang mulia. Harold telah melakukan kekeliruan karena membunuh orang yang tidak bersalah. Sedangkan, menurut ajaran Gereja, pembunuhan yang disengaja pada orang-orang tak bersalah selalu jahat. Konsepsi semacam inilah yang membentuk sikap orang-orang Eropa. (Rachels, 2008: 172-174)
Meski yang dirujuk oleh Rachels adalah masyarakat Eropa, menurut masyarakat Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hal yang demikian itu pun juga sepertinya sama saja. Dalam Agama Islam, tindakan pembunuhan yang tidak haq adalah salah. Hal ini sebagaimana tersurat dalam penggalan ayat 151 dari suarah Al-An’am:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّ
“Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar.”
Sejalan dengan redaksi ayat di atas, tidak mengejutkan bila menjaga jiwa (hifz al-Nafs) dijadikan sebagai salah satu, dari lima, tujuan syariat Islam. Dengan demikian, bagi mayoritas masyarakat Indonesia, tindakan eutanasia tidaklah bermoral.
Sebuah fakta pula bahwa di Indonesia kasus permohonan eutanasia pernah terjadi, misalnya peristiwa permohonan suami Siti Julaehah. Konon, permohonan tersebut tidak dikabulkan oleh hakim. Hal ini dapat dimengerti karena KUHP kita, pasal 344 yang lama dan pasal 461 yang baru, eutanasia adalah termasuk tindakan pidana.
Kasus Lain
Berdasarkan uraian di atas, mari pertimbangkan 1 tindakan seseorang yang kebetulan menjabat sebagai presiden. Dia bernama Harry Truman, presiden Amerika ke-33 (Rachels, 2008: 213). Suatu ketika dia melakukan tindakan yang mengakibatkan perdamaian dunia dan Indonesia Merdeka. Hanya saja, akibat lain yang timbul adalah 2 kota hancur lebur, yakni Hiroshima dan Nagasaki.
Sebetulnya cukup pelik membandingkan kuantitas dari akibat-akibat tindakan Harry Truman tersebut. Namun yang pasti, dunia dalam kondisi damai lebih baik daripada kondisi perang dan dunia lebih luas daripada 2 kota yang hancur. Dengan demikian, berdasar kuantitas perdamaian, maka menurut utilitarianis tindakan Harry Truman, boleh jadi benar secara moral.
Akan tetapi, korban-korban di 2 kota itu termasuk juga orang-orang sipil. Di sana, ada anak-anak, lansia, dan para wanita. Sementara itu, larangan membunuh wanita dan anak-anak pada kondisi peperangan tersurat dalam hadis berikut,
عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما قال وجدت امرأة مقتولة في بعض مغازي رسول لله صلى الله عليه وسلم فنهي رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قتل النساء والصبيان
Dari Nafi’, dari ibn Umar r.a berkata terdapati seorang wanita yang terbunuh di medan perangnya Nabi Saw. Beliau (Nabi) pun melarang membunuh wanita dan anak-anak. (HR. Bukhari, 2852)
Dengan demikian, pandangan Islam dan Utilitarian terkait moralitas tampaklah kontras. Lantas, bagaimana gagasan kebahagiaan JS Mill bisa relevan dengan ‘pandangan Islam’? Saya menduga bahwa Asep Saefullah terhipnotis oleh ‘hardware’ ide-ide tentang kebahagiaan JS Mill yang ‘softwarenya’ berantakan. Bahkan, Gordon Graham menafsirkan JS Mill sebagai orang yang tidak menggunakan metodenya sendiri. JS Mill hanya membuat kriteria tanpa membuktikannya, dan hal ini sangat bermasalah. (Graham, 2018: 65)
Sebagai penutup, mari kita renungkan peristiwa genosida yang sedang terjadi di Rafah, Palestina. Jika kita mengandaikan kebahagiaan tertinggi adalah kemerdekaan Palestina, maka tidaklah demikian bagi Netanyahu. Bila yang diandaikan adalah kebahagiaan terbesar, maka boleh jadi ini adalah salah satu dalil bagi orang-orang yang masih ragu untuk berpihak di sisi korban genosida karena masih menerawang kalkulasi akibat-akibat di masa depan.
Dalam kondisi yang mendesak ini, kita sebetulnya tidak perduli lagi dengan kerumitan ‘mana, kah, teori-teori moral dari para filsuf yang baik?’ Bagi kita saat ini, adalah baik bahwa kita harus berada di sisi korban genosida dan bersuara untuk Palestina. Hal ini sederhana karena kita hanya perlu menghayati hadis nabi, ‘istafti qalbaka’, “mintalah fatwa pada hatimu”. Boleh jadi, kita juga bisa menggunakan cara lain, yakni menghayati sabda nabi tentang persaudaraan. Hal yang terakhir ini alasannya sangat sederhana, yakni karena umat manusia dan masyarakat Palestina bersaudara. All Eyes on Rafah.
*) Alumni pondok pesantren Al-Asnawi dan sekarang sedang mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Syubbanul Wathon.
BAIK. sangat setuju dengan pendapat bahwa " filsafat utilitarianisme sejatinya jauh dari filsafat Islam"