Mahabah berarti cinta yaitu cinta
kepada Allah. Dalam Tasawuf, Mahabah berarti patuh kepada Allah dan membenci
sikap yang melawan kepada-Nya; menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi,
mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari Diri Yang Dikasihi. Al- Junaid (Ulama Sufi)menyebut Mahabah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya,
hati seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang
dari-Nya tanpa usaha. Muhammad bin Ali Al-Kattani (Ulama sufi dari Irak)
menyatakan bahwa Mahabah adalah menyukai yang disenangi dan segala sesuatu yang
datang dari yang disenangi (dikasihi).
Menurut Abu Nasaras-Sarraj at-Tusi,
Ulama tasawuf menyebutkan Mahabah mempunyai tiga tingkat. Tingkat pertama,
cinta orang biasa yaitu selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama
Allah dan memperoleh kesenangan dengan berdialog dengan-Nya serta senantiasa
memuji-Nya. Kedua, cinta orang siddik (jujur, benar) yaitu orang yang kenal
kepada Allah, seperti kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, dan ilmu-Nya. Cinta ini
dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah sehingga ia
dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Allah. Ia mengadakan “dialog”
dengan Allah dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini
membuat orang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri,
sementara hatinya penuh dengan perasaan cinta dan selalu rindu kepada Allah.
Tingkatan ketiga, cinta orang arif
yaitu cinta orang yang tahu benar akan Allah. Yang dilihat dan dirasa bukan
lagi cinta tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk
ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkatan ketiga inilah yang
menyebabkan seorang hamba (Sufi) dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak
Allah.
Paham Mahabah di atas mempunyai
dasar dalam Al-Qur’an : “ Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya” (Q.S 5:54). Kemudian Allah
berfirman : “ Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” (Q.S 3:31). Selain itu terdapat
pula dalam Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Ahmad bin Hanbali : “
Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga
aku cinta padanya. Orang yang Aku cintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.
Hadis ini mengandung arti bahwa Tuhan dan mahluk dapat dipersatukan melalui
paham Mahabah.
Tokoh utama paham Mahabah adalah
Rabi’ah al-Adalawiyah (95-185 H/713-801 M). Menurutnya cinta kepada Allah (hubb
al-Ilahiyyah) merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu yang mendalam
kepada Allah. Hal ini terilahat dalam ucapannya-ucapannya : “ Aku mengabdi pada
Allah bukan karena takut pada neraka dan bukan pula karena ingin masuk surga
tetapi aku mengabdi karena cinta dan rinduku kepada-Nya dan Tuhan-ku jika
kupuja Engkau karena takut pada neraka maka bakarlah aku didalamnya dan jika
kupuja Engkau karena mengharapkan surga maka jauhkanlah aku darinya tetapi jika
Engkau kupuja semata-mata karena Engkau maka janganlah Engkau sembunyikan
kecantikan-Mu yang kekal itu dari diriku”.
Perasaan cinta yang telah meresap ke
dalam hati Rabi’ah menyebabkan ia mengorbankan hidupnya semata-mata untuk
beribadah kepada Allah. Cinta Rabi’ah kepada-Nya merupakan cinta suci yang
murni dan sempurna, seperti dalam syairnya : “ Aku mencintai-Mu dengan dua
cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah
keadaan senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah lantaran
keadaan-Mu menyingkapkan tabir hingga Engkau kulihat. Baik untuk ini ataupun
untuk itu pujiaan bukanlah bagiku, bagi-Mu lah pujian untuk segalanya. Buah
hatiku hanya Engkau yang aku kasihi. Berilah ampunan pembuat dosa yang datang
kehadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagianku dan kesenanganku. Hatiku
enggan mencintai selain Engkau”.
Cinta kepada Allah begitu memenuhi
seluruh jiwanya, sehingga ia menolak seluruh tawaran menikah. Dirinya adalah
milik Tuhan yang dicintainya. Siapa yang ingin menikahinya harus meminta izin
kepada-Nya. Ketika seseorang bertanya padanya apakah engkau membenci seytan ?.
Ia menjawab : Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci pada seytan”.
Demikian juga ketika ditanya cintanya pada Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam. Rabi’ah menjawab : Saya cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam tetapi cintaku kepada Khalik memalingkan diriku dari cinta kepada
mahluk”.