Menyelami makna segitiga sebenarnya tidak hanya sebatas pada konteks matematika geometris atau hanya sekadar bangun datar biasa saja. Melainkan segitiga telah menjadi acuan manusia dalam menjalani berbagai macam metafora kehidupan.
Simbolisme segitiga juga memiliki banyak background tafsiran bagi setiap orang, seperti makna spiritualitas, keeratan antar sesama manusia, tubuh, jiwa, sifat bahkan negara sekalipun tidak akan jauh dari esensi segitiga.
Hal ini tidak diherankan bahwasanya segitiga berasal dari kata segitiga yang berarti memiliki tiga sudut yang saling terikat serta terhubung satu sama lain, dan secara fundamental memiliki empat sisi utama yakni atas, kanan, kiri, dan bawah.
Segitiga dalam Islam
Pada dasarnya setiap manusia memiliki tiga unsur utama yang dimana unsur tersebut mencangkup semua unsur yang ada dalam diri manusia. Tiga unsur tersebut meliputi spiritualis (Tumpuan), intelektual (Kuasa), lalu emosional (Beban).
Spiritual merefleksikan hubungan manusia (hamba) dengan Tuhan Sang Pencipta, maknanya segala sesuatu bertumpu pada satu zat yaitu Tuhan Sang Pencipta. Intekletual merefleksikan hubungan manusia dengan utusan Allah SWT yakni Nabi Muhammad SAW, maknanya Tuhan mengutus seorang Rasul untuk mengajarkan bermacam-macam hukum serta cara berpikir supaya Dia mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju kepada jalan cahaya, sebagaimana dijelaskan dalam Alqur’an:
QS. At-Talaq ayat 11: (Dan mengutus) Seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya.
Lalu pada QS. Ibrahim ayat 1: Alif Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha terpuji.
Kemudian emosional merefleksikan hubungan manusia dengan manusia lainnya untuk senantiasa menjalanin keterikatan batin dan pikiran agar timbul rasa kebebasan dan keharmonian dalam sebuah kelompok.
Pembahasan mengenai inti manusia yang dirumuskan oleh tokoh satu diantaranya ialah Al-Syaibani dalam symposiumnya menerangkan bahwa bagian manusia terdiri dari tiga unsur utama yang mengendalikan bagian tubuh lain yang sama urgensinya yaitu akal, batin, dan jasmani. Tiga unsur ini digambarkan dalam laksana bangun datar berbentuk segitiga sama kaki.
Lalu timbul sebuah pertanyaan, manakah inti dari ketiga unsur tersebut? Apakah akal, batin, atau jasmani? disini kita perlu membuka cakrawala berpikir dan perasa kita untuk membantu manusia menemukan hakekatnya menjadi seorang manusia. Diemanasikan dalam Alqur’an Surah Al Hujurat ayat 14 mengatakan:
Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman. “Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah “Kami telah tunduk (Islam), “karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalmu. Sunggu, Allah Maha Pengambpun, Maha Penyayang.”
Dari ayat tersebut diterangkan bahwa kedudukan Iman dalam strata kehidupan manusia begitu tinggi yang terletak pada batin, tidak di kepala atau tubuh manusia. Selain kedudukannya yang tinggi iman juga menjadi jembatan bagi akal untuk merefreksikan segala konsep yang terdapat di dunia ide (immaterial) untuk direfleksikan pada dunia indra (material).
Oleh karnanya secara inti manusia dikendalikan oleh imannya. Namun dibalik iman, terselip tabir yang senantiasa meredupkan iman (jembatan) tersebut untuk berbuat kemaksiatan bagi dirinya dan juga Sang Pencipta.
Segitiga dalam Filosofis
Tidak jauh berbeda dengan pandangan Plato mengenai makna segitiga dalam hidup. Menurutnya tubuh manusia ontologisnya terdiri dari 3 sub bagian diantaranya: kepala, dada, dan perut. Pada setiap anatomi tubuh terdapat tataran jiwa yang bersemayam. Akal terletak di kepala, kehendak terletak di dada, dan nafsu terletak pada bagian perut.
Masing-masing jiwa ini juga memiliki hasrat atau simbolis tersendiri layaknya akal mensiboliskan kebijaksanaan manusia dalam menjembatani antara pikiran dan tindakan, kehendak memanifestasikan keberanian manusia dalam bertindak berdasarkan norma-norma yang ada, dan nafsu identik dengan hasrat kenikmatan manusia yang ingin memiliki atau merasakan sesuatu yang ia lihat.
Namun, antara akal dan nafsu selalu memunculkan kontroversi yang begitu serius bagi setiap individu, karna akal berjalan atas norma-norma etika sedangkan nafsu berjalan atas kebebasan tanpa terikat oleh apapun.
Sejak itu tidak semua manusia membiarkan jiwanya untuk bebas, ia selalu memenuhi segala kenikmatan tubuh sesaat tanpa memperdulikan urusan akal yang hakekatnya memberikan satohat pada jiwa (akal itu sendiri) serta satohat pada indra (tubuh manusia).
Oleh sebab itu nafsu harus mampu dikoneksikan dengan akal sehingga etika dapat ditegakkan dan memberikan kebebasan dari dibelenggunya jiwa dalam jasad manusia. Hanya dengan ketiga bagian itu berfungsi bersama pada satu tataran linier maka manusia mampu menjadi seorang individu yang selaras atau “berbudi luhur”, mampu memanusiakan dirinya dan individu lain.
Silogisme dari cara pandang mengenai makna segitiga dalam kehidupan baik dari segi filosofis barat yang mengatakan bahwa digdayanya manusia terletak pada cara berpikir (akal), ada juga yang mengatakan terletak pada tindakannya (spirit). Namun apa yang dijelaskan dalam Alqur’an inti manusia terletak pada iman yang terletak pada batinnya.
Sehingga dari kedua perspektif Alqur’an dan para filosofis ini memiliki sebuah kesamaan dimana inti kehidupan terletak pada lokasi yang sama yakni Sang Pencipta (Tuhan) dan manusia itu sendiri yang di aksarakan melalui segitiga kehidupan.