Opini

Menimbang Ulang Makna Politik

4 Mins read

Politik di negeri ini telah lama kehilangan ruhnya. Yang tersisa hanya ritual kekuasaan, dagang sapi kepentingan, dan parade pencitraan murahan yang mempertontonkan betapa rendahnya makna kemanusiaan di mata para elite.

Politik bukan lagi ruang bagi warga untuk memperjuangkan hidup bersama yang layak, melainkan arena rebutan kursi dan rente yang membungkus kekuasaan dengan legitimasi semu. Dalam situasi seperti ini, menimbang ulang makna politik bukan sekadar pilihan, tapi sebuah keniscayaan moral.

Sejatinya, politik lahir dari kebutuhan manusia hidup bersama. Aristoteles sejak abad ke-4 SM sudah menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon makhluk politik, yang tak bisa hidup sendirian dan butuh kehidupan bersama dalam polis.

Bagi Aristoteles, polis bukan hanya soal pemerintahan atau aturan hukum, tapi soal ruang etis di mana manusia bisa mengaktualisasikan dirinya, mencapai kebahagiaan, dan menjalankan hidup bermartabat bersama orang lain. Politik, dalam pengertian ini, adalah seni mengatur kehidupan bersama agar aktualisasi diri manusia bisa berlangsung optimal dan adil.

Tapi di tangan manusia rakus kekuasaan, politik yang seharusnya jadi alat peradaban, berubah menjadi senjata perampasan. Dalam sistem politik Indonesia hari ini, kebersamaan sosial tak lebih dari jargon kosong. Kekuasaan dibungkus demokrasi prosedural, tapi substansinya nihil. Partai politik tak lagi jadi sekolah kepemimpinan rakyat, melainkan agen distribusi rente.

Parlemen tak lebih dari showroom elite yang memperdagangkan suara. Media dibajak jadi corong propaganda kekuasaan, sementara rakyat hanya diberi hak suara lima menit di bilik suara, lalu kembali jadi penonton tragedi kekuasaan yang tak pernah benar-benar berpihak pada mereka.

Padahal, dalam kerangka etika politik, manusia lain bukanlah musuh. Habermas, Rancière, Camus, hingga Levinas empat pemikir yang sering diposisikan berbeda kutub sepakat dalam satu hal: keberadaan orang lain selalu bermakna dan tak bisa diabaikan.

Baca...  Kenaikan Pajak PPN 12% Membuat Warga Resah

Politik, dalam perspektif etis, bukan soal siapa menang siapa kalah, tapi soal bagaimana kita memperlakukan sesama manusia dalam kehidupan publik. Di titik inilah etika politik bekerja: bukan sekadar soal aturan prosedural, tapi bagaimana politik dijalankan dengan kesadaran moral.

Habermas misalnya, menegaskan pentingnya ruang publik rasional di mana semua orang bisa berdialog setara. Politik, baginya, bukan sekadar keputusan elite, tapi hasil diskursus terbuka masyarakat. Rancière menolak konsep politik sebagai domain eksklusif kekuasaan. Baginya, politik adalah momen di mana suara yang selama ini dibungkam muncul dan mengklaim ruangnya.

Camus bicara tentang absurditas kekuasaan yang bisa membunuh makna hidup jika manusia berhenti menolak ketidakadilan. Levinas mengingatkan tentang wajah orang lain  metafora kemanusiaan yang harus selalu diakui dan dihargai.

Tapi di Indonesia, prinsip-prinsip etika politik ini nyaris lenyap. Konflik dipelihara, perbedaan dijadikan alat stigmatisasi, dan kebebasan dipersempit dalam kerangka kepentingan penguasa.

Kritik dipelintir sebagai ancaman stabilitas, oposisi dikerdilkan, bahkan lembaga hukum dan keagamaan pun kini terseret ke dalam pusaran politik kekuasaan. Rakyat hanya menjadi objek legitimasi yang suaranya dipinjam saat pemilu, lalu ditinggalkan sesudahnya.

Politik kehilangan etika karena cara pandang elite terhadap rakyat bersumber dari paradigma konflik. Dalam paradigma ini, politik dipahami sebagai medan tempur di mana kawan harus dirangkul, lawan harus disingkirkan.

Rakyat bukan warga negara yang harus diberdayakan, tapi komoditas suara yang harus dibungkus dengan janji palsu. Padahal, jika politik dilandasi etika, keberagaman bukan ancaman, tapi potensi. Perbedaan bukan musuh, tapi kekayaan.

Lebih parah lagi, politik kita tersandera oleh oligarki. Segelintir elite menguasai sumber daya ekonomi dan politik, lalu menentukan arah kebijakan negara sesuai kepentingan mereka. Partai politik bukan lagi alat rakyat, tapi kendaraan bisnis elite.

Baca...  Rasa Bebas Atau Hampa ? Tanggapan Dibalik Fenomena Agnostic Style

Semua berjalan dalam logika transaksi. Jabatan dijual-beli, proyek dikuasai kelompok tertentu, sementara hukum dibuat lentur mengikuti hasrat kekuasaan. Tak heran jika korupsi terus merajalela, keadilan jadi barang langka, dan rakyat miskin tetap ditindas atas nama pembangunan.

Jika politik terus dipahami tanpa etika, maka kekacauan sosial tinggal menunggu waktu. Perpecahan horizontal yang kini mulai terlihat di berbagai wilayah, ketimpangan ekonomi yang makin lebar, dan krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dalam konteks ini, menimbang ulang makna politik berarti mengembalikan politik ke akar dasarnya: sebagai seni hidup bersama secara etis.

Etika politik menuntut politikus bukan hanya mematuhi hukum, tapi menjalankan tanggung jawab moral kepada sesama. Bahwa setiap kebijakan harus berangkat dari kesadaran akan dampaknya terhadap kemanusiaan.

Bahwa politik bukan soal siapa paling berkuasa, tapi siapa paling bisa menjamin hak hidup dan martabat warga. Bahwa kekuasaan bukan warisan keluarga atau hasil lobi gelap, melainkan amanat rakyat yang harus dipertanggungjawabkan.

Sayangnya, kultur politik kita jauh dari itu. Budaya feodalistik masih kuat. Jabatan diwariskan, kritik dianggap durhaka, dan kekuasaan diperlakukan seolah tak perlu dipertanggungjawabkan. Sistem meritokrasi hanya jargon.

Yang laku adalah nepotisme, kolusi, dan transaksi politik. Padahal tanpa perombakan radikal cara pandang politik seperti ini, Indonesia hanya akan menjadi republik semu: negara demokrasi prosedural dengan oligarki substantif.

Untuk itu, pekerjaan kita hari ini bukan sekadar ganti presiden atau wakil presiden, tapi ganti paradigma politik. Kita perlu mendesak hadirnya politik yang beretika. Politik yang bukan hanya soal menang-kalah, tapi soal keberanian menjamin kemanusiaan.

Politik yang tak lagi menganggap rakyat sebagai objek, tapi sebagai subjek yang martabatnya harus dihargai. Politik yang bukan alat dagang kuasa, tapi instrumen merawat hidup bersama.

Baca...  IMM dan Tafsiran Progresif Kader Tentang Ikatan

Menimbang ulang makna politik berarti juga menolak politik kekuasaan kosong yang menjadikan manusia sekadar angka statistik pemilu. Kita perlu mengembalikan politik ke posisi mulianya: sebagai alat memperjuangkan keadilan, menegakkan martabat, dan membangun ruang publik yang sehat. Politik harus kembali jadi ruang di mana suara minoritas dihargai, hak-hak kelompok rentan dilindungi, dan kekuasaan dikontrol dengan ketat oleh rakyat.

Tanpa itu, politik hanya akan jadi alat kekerasan terselubung. Demokrasi akan tinggal nama. Negara akan berubah jadi ladang perburuan kekuasaan. Dan rakyat hanya akan jadi penonton yang diundang saat pesta pemilu, lalu dipinggirkan begitu pesta selesai.

Kita berutang sejarah kepada generasi mendatang untuk mengakhiri politik busuk semacam ini. Dan pekerjaan itu harus dimulai sekarang: dengan membongkar cara pandang lama, dan menegakkan kembali etika dalam politik.

Karena tanpa etika, politik hanya akan menyisakan reruntuhan. Dan dari puing-puing itulah, kebiadaban biasanya lahir.

1 posts

About author
Alumni PP Darurrahman, Pangarangan, Sumenep, dan Alumni PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Articles
Related posts
EsaiFilsafatKeislamanOpini

Hilangnya Empati, Terbitlah Anarki

2 Mins read
KULIAHALISLAM.COM– Fenomena kekinian yang sedang mengguncang masyarakat kita, tidak bisa dilepaskan dari letupan kemarahan  akibat fleksing gaya hidup hedonis para elit  dan…
Opini

Umat, Ulil Amri, dan Demonstrasi: Mencari Jalan Tengah yang Bijak

4 Mins read
Ada satu hal yang sering kita lupa saat bicara tentang politik dan agama: Islam itu agama yang sangat rapi mengatur relasi antara…
Opini

Abi Mardi Jelaskan 3 Hal Orang yang Terhalang Hidayahnya

3 Mins read
Hidup yang terus berputar membuat kita sebagai umat Islam terkadang berjalan tidak sesuai rencana. Bisa baik dan buruk setiap perjalanannya. Namun lingkungan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Menjaga Kerukunan Bangsa

Verified by MonsterInsights