Menurut Ahmad Musta’id (2023), perempuan masih dianggap sebagai objek dan memiliki peran yang lebih kecil daripada laki-laki sebelum masuknya Islam. Perempuan biasanya dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar batas kemanusiaan karena posisinya yang tidak menguntungkan.
Agama Islam kemudian mengembangkan ajaran yang menghargai peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Peran perempuan telah banyak kemajuan, dan ini menarik untuk dibicarakan dan penting untuk dipahami. Dalam hal kedudukan perempuan dalam Islam, kita harus mempertimbangkan kedudukannya sebelum masuknya islam dan membandingkannya dengan kedudukannya setelah masuknya islam.
Beberapa karya, seperti The Position of Women in Islamic History oleh Musta’id mengeksplorasi topik ini secara komprehensif, dan memunculkan konteks luas bagaimana isu ini harus dipahami.
Posisi Perempuan Sebelum Islam
Dalam masyarakat Yunani kuno, perempuan sering kali dipandang rendah dan tidak memiliki hak yang setara dengan laki-laki. Mereka ditempatkan dilingkungan istana oleh para bangsawan, sementara anak perempuan berada dibawah kendali ayah hingga menikah, saat mengambil alih otoritas penuh.
Hak-hak sipil mereka sangat terbatas; mereka tidak dapat mewarisi harta dan dianggap sebagai barang milik suami. Dalam mitologi, perempuan seperti Pandora dianggap penyebab kejahatan dan penderitaan. Selama berabad-abad, perempuan terus dipandang sebagai sumber godaan dan tidak memiliki suara dalam kehidupan publik.
Demikian pula, dalam tradisi Hindu dan Cina, wanita sering kehilangan hak untuk tinggal dengan suaminya setelah kematian pria tersebut. Istri dipaksa mengorbankan diri dalam proses kremasi suaminya, sebuah praktik yang dikenal sebagai Sati, yang baru dihentikan pada abad ke-7 Masehi.
Dalam agama Yahudi, perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki, dan dianggap sebagai sumber kutukan karena membawa adam keluar dari surga. Agama Kristen juga memandang perempuan sebagai alat iblis yang dapat menjerumuskan manusia kedalam dosa.
Konsili diadakan pada abad ke-5 dan ke-6 Masehi untuk membahas status jiwa dan kemanusiaan perempuan, yang berujung pada keputusan bahwa perempuan diciptakan untuk memenuhi keinginan laki-laki. Perempuan tidak berhak atas warisan jika ada anak laki-laki, dan seorang ayah dapat menjual anak perempuannya sebelum mencapai pubertas.
Pada masa jahiliyah. Masyarakat Arab memperlakukan perempuan dengan sangat buruk. Banyak dari mereka memilih untuk menguburkan bayi perempuan yang baru lahir karena merasa malu dan menganggap anak perempuan sebagai beban. Ketika seorang suami mendengar kelahiran anak perempuan, ia sering merahasiakannya dari orang lain.
Poligami menjadi hal biasa, sementara istri-istri sering diwariskan kepada anak laki-laki setelah ayah mereka meninggal. Ini menunjukkan bahwa wanita dipandang sebagai harta yang dapat diwariskan. Dalam konteks tersebut, kehidupan perempuan sangat tidak berharga dan penuh dengan penindasan.
Posisi Perempuan Setelah Islam
Setelah kedatangan Nabi Muhammad SAW, status sosial wanita meningkat dari yang rendah menjadi yang lebih tinggi, dengan penekanan bahwa mereka setara dengan pria dalam berbagai hal. Selain itu, perempuan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas akademik, bisnis, dan politik, tetapi hal ini harus dilakukan dengan sopan dan terhormat.
Peran perempuan dalam berbagai bidang. Yang pertama Politik dan Perjuangan Islam, perempuan memiliki peran penting dalam mempertahankan islan, terutama dimedan perang. Mereka berani melakukan hijrah ke madinah meskipun menghadapi banyak kesulitan. Khadijah, istri Nabi Muhammad menggunakan hartanya untuk mendukung perjuangan islam.
Beberapa Shahabiyah, seperti Afra’ binti Ubaid, memiliki 7 putra yang berperang dalam perang Badar. Nusaibah binti Ka’ab dikenal sebagai pejuang yang melindungi Nabi Muhammad dalam perang Uhud. Selain itu, Hummah binti Jahsy membantu yang terluka dan memberi minum kepada yang haus.
Kedua Ekonomi, sejak awal Islam, Khadijah binti Khuwailid dikenal sebagai seorang pengusaha sukses. Di Madinah, pasar besar dipimipin oleh Ash-Syifa’, yang diutus oleh Kholifah Umar. Istri Rasulullah, Zainab, dikenal sangat dermawan dan menjual penyamakannya untuk mendapatkan uang, yang kemudian dialokasikan untuk amal.
Zainab, istri Ibnu Mas’ud dan Asma’ binti Abu Bakar, adalah wanita kuat yang dihormati sebagai pilar penting keluarga. Qilat Ummi Bani Anmar pernah berkonsultasi dengan Rasulullah SAW tentang transaksi jual beli. Zainab binti Jahsy juga menjual penyamakannya. Raitah, istri Abdullah Ibnu Mas’ud, memenuhi kebutuhan keluarganya karena suami dan anaknya tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Ketiga, pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, salah satu sumber hadits terbaik adalah Aisyah binti Abu Bakar, yang meriwayatkan lebih dari seribu hadits dan dijuluki “khazanah hadits”, karena meriwayatkan sekitar 2.210 hadits.
Pada masa Nabi Muhammad, perempuan sering menghadiri majelis taklim bersama pria dan aktif bertanya tentang masalah keagamaan, termasuk hal-hal yang membuat perempuan malu bertanya ketika di zaman sekarang. Aisyah memuji kaum Anshar karena keberanian mereka bertanya tentang mandi besar, haid, istihadhah, mimpi baligh, dan junub.
Pada awal abad pertengahan, Islam menekankan pentingnya pendidikan bagi wanita, memungkinkan banyak di antara mereka menjadi ulama, penulis, penyair, dokter, dan guru melalui karya mereka sendiri.Contohnya adalah Nafisa, seorang ulama terkenal yang memiliki pengaruh besar dalam bidang hadits, dan Shaikha Shuhda, yang berpidato di salah satu masjid utama di Baghdad tentang puisi, sastra, dan retorika.
Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, menafsirkan QS. Al-Hujurat: Ayat 13 (Juz 26) yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Quraish Shihab menafsirkan humanisme religius sebagai nilai pendidikan bahwa semua manusia sama di mata Allah tanpa membedakan suku, jenis kelamin, atau warna kulit. Menurut humanisme religius, orang harus menghormati satu sama lain, bertanggung jawab kepada Allah dan sesama manusia, dan menemukan keseimbangan dalam pendidikan untuk menjadi bijak dan cerdas, (Khamidah, 2016).