Penulis: Layalia Zahro’ul Azizah*
KULIAHALISLAM.COM – Tradisi merupakan suatu adat atau kebiasaan yang diterapkan sejak zaman dahulu, diturunkan secara turun-temurun dan dilestarikan di masyarakat. Tradisi yang saat ini tetap dilestarikan di Tulungagung adalah di Desa Majan, atau kerap disebut Bumi Kasepuhan Perdikan. Desa Majan terletak di kecamatan Kedungwaru kabupaten Tulungagung, tepatnya 4 KM sebelah utara Ibukota kabupaten Tulungagung yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di Desa Majan inilah peradaban sejarah Islam di Tulungagung dimulai pada abad-17, tahun 1727. Harapan generasi masyarakat Tulungagung bisa memahami sejarah atau tradisi yang ada di Tulungagung, beliau KHR Hasan Mimbar melaksanakan syiar atas perintah eyang Pangkubuwono ke 2 pada 1727 mempunyai pusaka yang disebut Pusaka Kiai golok yang diberi leluhur, berupa pusaka raja Mataram ke 2 sebagai bentuk syiar Islam di Kadipaten Ngrowo tahun 1727.
Bahwa desa Majan adalah satu-satunya sejarah yang ada di Tulungagung terkhusus di Jawa Timur mempunyai keistimewaan yaitu merdeka sebelum merdeka, merdeka setelah merdeka. Pada era belanda melakukan pengelolaan pemerintah secara mandiri dengan nama Perdikan Majan, setelah era 1945 masih melakukan pemerintah sendiri dengan pertemuan antara gubernur Jawa Timur, Bupati Tulungagung tahun 1979 yang pada akhirnya disepakati desa Majan melebur menjadi NKRI dan menjadi desa biasa, pemerintah biasa, tetapi dalam adat istiadatnya masih dipertahankan.
Sebelum mengenal tradisi Grebeg Maulud Agung, perlu diketahui bahwasanya adat ini merupakan peninggalan yang bersejarah bagi desa Majan. Dimana diadakan setiap tahunnya oleh keluarga besar yayasan Sentono Dalem Majan, sebagai rasa untuk menghormati leluhur nya. Tradisi ini dilakukan oleh inti dari keluarga besar KHR Hasan Mimbar, diantaranya sesepuh yasendam KHR. Moh Yasin dan juga Ketua Umum yasendam Dr. Raden Mohammad Ali Sodik, M.Pd.I, M.H.
Kata grebeg sendiri berasal dari bahasa Jawa ‘Gembrebeg’ yaitu suara keras yang timbul ketika Kiai Ageng Raden Khasan Mimbar keluar dari dalem pendapa untuk mengajak masyarakat Tulungagung menggelar salawat di Masjid Agung Al Mimbar, dengan ditandai dikeluarkannya pusaka kanjeng kiai golok memberikan raja Mataram atas perintah mensyiarkan agama Islam dan nikah Majan dikadipaten Ngrowo pada tahun 1727 Masehi.
Keluarga Kiai Ageng Raden Khasan Mimbar membagikan tumpeng kepada masyarakat yang hadir. Tumpengan merupakan makanan tradisional, dikawal oleh pasukan genjring yang menunjukkan seni bela diri dengan bunyi jedor dan salawat. Seiring perjalanan waktu, nama gembrebeg berubah menjadi grebeg. Di Indonesia sendiri, upacara grebeg dilaksanakan di tiga kota yakni Yogyakarta, Solo dan kasepuhan perdikan Majan Tulungagung.
Dikarenakan Yogyakarta, Solo, dan kasepuhan perdikan Majan memiliki hubungan kekeluargaan dari trah eyang penembahan Panembahan Senopati R. Sutowijoyo atau raja Mataram yang ke I. Tradisi yang masih melekat adalah “Tradisi Grebeg Maulud Agung”. Warga desa Majan dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW mengadakan serangkaian ritual yang sudah menjadi tradisi yaitu dengan penjamasan pusaka, yang terkenal dengan sebutan nama “Jamasan Pusaka Kanjeng Kiai Golok”. Pusaka yang dijamas itu dinamakan pusaka Kiai Golok.
Pusaka tersebut adalah pusaka peninggalan KHR. Hasan Mimbar. Selain tradisi jamasan dan kirab pusaka, di desa majan terdapat kebudayaan dan aset-aset lain peninggalan KHR. Hasan Mimbar yaitu tahlil naluri khas Tegalsaren, bedug, kentongan, mimbar tertutup, masjid, manuskrip-manuskrip teks kuno dan lain sebagainya.
Acara ini bertempat di Pendopo Agung Kesepuhan Perdikan Majan, Menuju Masjid Jami’ Al-Mimbar Majan.
Para warga, terkhusus di desa Majan sangat antusias karena hari tersebut merupakan hari yang mulia yaitu merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dimana dilaksanakan setiap 12 Maulid. Tidak hanya dari penduduk desa setempat yang turut memeriahkan acara tersebut, ada juga dari sesepuh Yayasan Sentono Dalem Majan, Sarinah, Pemerintah daerah dinas kebudayaan, direktur RS Campurdarat, Bapak Bupati Tulungagung dan Wakil Bupati Tulungagung yang turut memeriahkan tradisi ini serta anggota penting lainnya.
Serangkaian acara yang dilakukan seperti, Diba’an, Santunan Anak Yatim dan Ishari, Jamasan Pusaka Kanjeng Kiai Golok, Arak-arak an Tumpeng dan Genjring Rudar Majan.
Dalam tradisi grebeg maulud menampilkan banyak acara seperti pada tanggal 28 September sampai 10 Oktober 2023, diadakannya Salawat Festival Al-Banjari Pelajar se-Tulungagung, Lomba Permainan tradisional, Jo Klithik & Jo Kluthuk, Jalan Sehat Tradisional, Ishari Khusus Indonesia (ISKHI) se-Jawa Timur, Salawat bersama Al-Khidmah Tulungagung, Sholawat Nariyah Akbar bersama Gus Shon & JSN Al-Mughits.
Acara ini sangat menekankan budaya dari zaman dahulu hingga sekarang yang masih tetap dilestarikan, karena merupakan salah satu bentuk kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagi warga desa Majan atas acara yang telah dibuat oleh keluarga besar Sentono Dalem Majan.
Salah satu penuturan dari ketua umum perdikan Majan, mengatakan “ Acara ini sudah menjadi bagian dari cagar budaya, sehingga pemerintah daerah ikut serta dalam rangka melestarikan Jamasan Pusaka Kanjeng Kiai Golok. Di Tulungagung ada 2 Pusaka, pertama Raden Kiai Golok ( KHR Hasan Mimbar), kedua Pusaka Kiai Upas yang juga milik Majan (Raden Mas Tumenggung Adipati Prenggodiningrat). Sehingga, anak bangsa ini tidak akan melupakan sejarah dan peninggalan para leluhur yang akan diperlihatkan secara langsung.” (Dr. Raden Mohammad Ali Sodik, M.PdI, M.H)
Seiring berjalannya waktu, acara semakin meriah dan antusiasme masyarakat juga semakin meningkat. Maka, meskipun masyarakat Tulungagung sudah banyak menganut tradisi Islam ini terus dilangsungkan oleh kasepuhan perdikan Majan hingga sekarang. Meskipun mengalami pengembangan, tradisi ini dianggap sebagai salah satu warisan kebudayaan yang terus dilestarikan oleh keluarga Sentono Dalem perdikan Majan.
Di zaman yang serba canggih ini, perlu adanya keterkaitan antara generasi-generasi muda yang terus-menerus memberikan suatu edukasi terhadap kebudayaan yang ada di suatu daerah tertentu, seperti halnya ikut serta dalam acara keagamaan, dan mengayomi masyarakat yang masih minim tentang kebudayaan. Di Indonesia sendiri terutama di suku Jawa, sangatlah banyak adat istiadat yang masih kental dan berlaku untuk dilestarikan.
*) Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Editor: Adis Setiawan