Dalam kesempatan ini saya akan menulis tentang madrasah diniyah di tengah keterbatasannya. Madrasah diniyah merupakan lembaga pendidikan agama Islam non formal yang telah nyata memiliki kontribusi besar: madrasah diniyah.
Ia mungkin tidak menonjol dalam struktur pendidikan nasional, tetapi perannya sangat vital dalam menanamkan akidah, membentuk akhlak, dan menjaga tradisi keilmuan Islam sejak usia dini. Madrasah diniyah hadir sebagai benteng akidah, moral dan spiritual anak bangsa.
Namun di balik kemuliaan perannya, Madrasah Diniyah setiap hari menghadapi tantangan yang tidak ringan—baik dari sisi internal maupun eksternal. Lembaga ini berdiri di atas fondasi keikhlasan, namun harus berjalan dalam kondisi serba terbatas: minim tenaga pendidik profesional, dukungan dana yang tidak memadai, serta manajemen kelembagaan yang belum kuat secara sistemik.
Ketika dunia pendidikan semakin dituntut untuk adaptif, terukur, dan profesional, Madrasah Diniyah justru harus bertahan dengan sarana seadanya dan perjuangan yang nyaris sendirian.
Pertanyaannya, sampai kapan lembaga sepenting ini dibiarkan berjalan sendiri tanpa dukungan yang memadai? Tidakkah sudah waktunya kita menempatkan Madrasah Diniyah sebagai bagian dari arus utama pembangunan pendidikan Islam di Indonesia?
Selain menjalankan fungsi pendidikan agama, Madrasah Diniyah juga berperan sebagai ruang sosial dan kultural umat Islam. Di banyak daerah, madin menjadi pusat kegiatan masyarakat, mulai dari pengajian, pembinaan anak-anak, hingga pendidikan literasi Al-Qur’an.
Menurut data Satu Data Kemenag, hingga 2023 terdapat lebih dari 29.200 Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) tersebar di seluruh provinsi di Indonesia (satudata.kemenag.go.id). Ini membuktikan bahwa Madrasah Diniyah bukan lembaga kecil—ia mengelola sumber daya umat dalam jumlah yang sangat besar.
Namun, meskipun kontribusinya nyata, dukungan negara terhadap Madrasah Diniyah masih bersifat sektoral dan tidak merata. Insentif guru madin dan dana operasional madrasah hanya diberikan di beberapa provinsi seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah, sementara daerah-daerah lain masih banyak yang mengandalkan swadaya murni masyarakat.
Oleh karena itu, kontribusi nyata yang telah dihasilkan oleh Madrasah Diniyah sudah sepantasnya dan sudah waktunya semua pihak—pemerintah, ormas Islam, tokoh masyarakat, dan dunia usaha—untuk melihat Madrasah Diniyah bukan sekadar warisan tradisi, tetapi sebagai lembaga strategis pembangun peradaban bangsa.
SDM: Ketika Keikhlasan Tak Cukup
Sebagian besar guru Madrasah Diniyah adalah para pejuang sejati—mereka mengajar tanpa gaji tetap, tanpa jaminan sosial, dan tanpa fasilitas memadai. Dalam banyak kasus, bahkan mereka harus membawa kapur tulis, spidol, atau fotokopi pelajaran dengan dana pribadi. Ini tentu sangat mulia. Namun dalam jangka panjang, tanpa insentif yang layak dan kepastian penghidupan, regenerasi guru Madin akan menjadi masalah serius.
Kondisi ini tercermin dalam berbagai laporan daerah. Di Kabupaten Blora, Jawa Tengah guru madrasah diniyah pada tahun 2025 menerima insentif sebesar Rp1,5 juta per tahun, dan itu pun bergantung pada ketersediaan anggaran daerah (beritajateng.id, 2025). Angka ini tidak sebanding dengan beban dan tanggung jawab yang mereka pikul sebagai penanam akidah dan akhlak ribuan santri. Bahkan yang lebih miris lagi, ketika insentif semacam itu belum tersedia, guru madin hanya dapat bergantung pada iuran wali santri, atau bahkan tidak menerima honor sama sekali.
Situasi yang memprihatinkan ini berdampak pada sulitnya regenerasi. Data Kementerian Agama tahun 2023 menunjukkan bahwa sebagian besar guru madrasah diniyah berusia di atas 45 tahun, dan kurang dari 20% yang memiliki pendidikan formal di bidang keguruan atau pendidikan Islam (Kemenag, 2023).
Tanpa insentif dan jenjang karier yang jelas, sangat sedikit generasi muda yang berminat menjadi guru madin. Jika hal semacam ini berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan, ke depan kita berpotensi menghadapi krisis tenaga pendidik di lembaga pendidikan keagamaan akar rumput ini. Keikhlasan memang mulia, tetapi sistem dan keberlanjutan tetaplah kebutuhan.
Pendanaan: Swadaya yang Tak Lagi Mampu Menopang
Sejak awal berdiri, Madrasah Diniyah tumbuh berkat swadaya masyarakat. Dana operasional berasal dari iuran dan infak wali santri, donatur tetap, dan sumbangan pribadi para dermawan. Sistem ini terbukti mampu menopang madin selama puluhan tahun. Namun dalam konteks kebutuhan pendidikan masa kini—yang semakin kompleks dan berbiaya tinggi—sumber pendanaan tradisional ini tidak lagi cukup.
Beberapa daerah telah berinisiatif memberi dukungan. Pemerintah Provinsi Jawa Timur, misalnya, mengalokasikan lebih dari Rp1 triliun selama 5 tahun terakhir untuk insentif guru madin dan dana operasional melalui skema BOSDA Madin (Detik Jatim, 2024). Pemprov Jateng mengalokasikan anggaran Rp205 miliar untuk insentif guru agama di madrasah diniyah (madin), TPQ, dan pondok pesantren untuk 171.131 orang di tahun 2019 (nu.or.id, 2019). Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa belum semua madin mampu mengakses bantuan ini secara optimal.
Faktor utama penyebabnya adalah keterbatasan dalam administrasi dan kapasitas teknis pengelolaan. Seperti yang disoroti oleh Kemenag Kabupaten Ngawi, banyak madin gagal mengakses dana BOSDA karena tidak mampu mengoperasikan Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) dan tidak memiliki operator digital (Radar Madiun, 2024).
Solusi jangka panjang tak cukup hanya berbicara soal alokasi dana, tapi juga tentang kemampuan Madrasah Diniyah mengakses dan mengelola bantuan tersebut dengan baik. Di sinilah pentingnya pendampingan teknis dan penguatan kapasitas administratif bagi para pengelola madin. Pelatihan pengelolaan digital—seperti pemanfaatan SIPD, sistem e-RKAM atau yang lainnya—perlu dilakukan secara berkala dan merata.
Langkah ini tidak hanya akan membuka akses bantuan secara lebih luas, tetapi juga membentuk budaya tata kelola yang lebih tertib, transparan, dan akuntabel. Ketika madin tidak lagi tertinggal secara administratif, maka kesenjangan antara niat baik pemerintah dan realitas di lapangan bisa dijembatani. Dengan begitu, semangat swadaya yang menjadi ruh madin tetap hidup, di samping itu, juga ditopang oleh sistem yang modern dan berkelanjutan.
Manajemen Lembaga: Keikhlasan Perlu Sistem yang Kuat
Karena didirikan oleh masyarakat secara organik dan berbasis tradisi, manajemen Madrasah Diniyah umumnya masih sangat sederhana. Tidak semua memiliki struktur organisasi formal, sistem pelaporan keuangan, atau tata kelola yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Kondisi ini menyebabkan Madin sering dianggap tidak siap saat harus berhadapan dengan regulasi pemerintah—baik dalam hal pendataan, pelaporan, maupun proposal bantuan. Di sinilah pentingnya pembinaan dan pelatihan manajerial agar Madin tidak hanya kuat secara ideologis, tetapi juga kuat secara kelembagaan.
Nisa Noor Wahid & Tedi Rustendi (2022) dalam Jurnal Pengabdian Masyarakat, Universitas Siliwangi menemukan bahwa pengelola madin umumnya tidak memiliki keahlian khusus dalam manajemen dan akuntansi keuangan,. Hal ini tidak berarti mereka tidak tertib, tetapi menunjukkan lemahnya dukungan terhadap sistemisasi kelembagaan.
Bila pelatihan manajerial dan digitalisasi administrasi dapat dijalankan secara terstruktur dan massif, maka madin tidak hanya akan bertahan, tetapi bisa naik kelas—menjadi lembaga pendidikan Islam yang kokoh dari sisi ruhiyah, dan tangguh dari sisi tata kelola.
Mengapa Madin Tetap Relevan ?
Di tengah tantangan besar yang dihadapi, peran Madrasah Diniyah justru semakin penting. Madin tetap konsisten mengajarkan adab, tauhid, ibadah, dan cinta terhadap ilmu agama. Ketika generasi muda dilanda krisis identitas, Madin hadir sebagai penyeimbang spiritual dan benteng akidah dan moral.
Keberadaan Madrasah Diniyah bahkan semakin krusial di tengah meningkatnya kasus penyimpangan moral dan krisis karakter di kalangan generasi muda bangsa. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa sepanjang 2023, terdapat 3.877 laporan kasus pelanggaran terhadap anak.
Dalam situasi seperti ini, Madin hadir sebagai ruang edukasi nilai—yang tidak sekadar mengajarkan hafalan, tetapi membentuk kesadaran beragama yang utuh sejak usia dini. Ia mungkin tidak tampil dalam peringkat PISA atau UNBK, tetapi justru melahirkan generasi yang kokoh akidahnya, santun, tahu batas, dan menghormati orang tua dan guru—modal penting bagi keberlanjutan bangsa yang beradab.
Penutup
Sebagai catatan penutup dari tulisan sederhana ini –Madrasah Diniyah adalah cermin wajah Islam Indonesia yang bersahaja namun kuat dalam nilai. Ia tumbuh bukan dari kekuatan anggaran, melainkan dari keikhlasan dan cinta terhadap ilmu agama. Namun zaman terus bergerak. Tantangan kian kompleks, kebutuhan operasional semakin tinggi, dan kebutuhan sistim manajerial sangat dibutuhkan.
keikhlasan tidak bisa dibiarkan berjalan sendirian. Jika Madrasah Diniyah ingin terus relevan, maka ia perlu sistem, dukungan, dan rekognisi yang setara. Pemerintah, ormas Islam, dan seluruh elemen masyarakat harus melihat madin bukan sekadar sebagai lembaga pelengkap, melainkan sebagai pilar utama pendidikan karakter bangsa. Tidak cukup hanya mengapresiasi semangatnya—ia butuh afirmasi nyata dalam bentuk pendanaan, pelatihan, dan perlindungan hukum kelembagaan.