Penulis: Zerlinda Prasanti Supranggono*
Pengertian Ilmu Munasabah
Dalam ‘ulum Alqur’an sering kita temukan mengenai ilmu munasabah. Munasabah secara etimologis berarti al-Musyakalah (saling keserupaan) dan al-Muqorabah (saling berdekatan). Al-Zarkasyi juga menyebutkan bahwa Munasabah berarti al-Muqorabah, kedekatan, kemiripan, keserupaan atau dapat diartikan dua hal yang saling berdekatan karena adanya ikatan atau hubungan, kesamaan keduanya seperti dua orang yang bersaudara.
Secara terminologi, Al-Baqa’i menjelaskan Munasabah ialah suatu ilmu untuk mengetahui alasan-alasan sistematis peruntutan bagian-bagian Alqur’an. Dengan kata lain ilmu Munasabah yaitu suatu ilmu yang membicarakan hubungan suatu ayat dengan ayat yang lain, atau surah dengan surah yang lain.
Sedangkan Howard M. Federspel menjelaskan definisi lain dari Munasabah yakni “Munasabah is the technique of Qur’anic commentary in which a verse is seen in contrast, that is the verse’s relationship with the verse that precede it”.
Munasabah adalah suatu metode yang dipergunakan untuk menemukan segi-segi relevansi antara ayat Alqur’an yang satu dengan ayat lain dan surah yang satu dengan surah yang lain. Relevansi ini pada akhirnya dapat mewujudkan keterpaduan pesan-pesan Alqur’an secara integral.
Konsep Islam Wasathiyah
Wasathiyah berasal dari akar kata “wasatha”. Menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandhur al-Afriqy al-Mashry, pengertian wasathiyah secara etimologi berarti:
وَسَطُ الشَّيْءِ مَا بَيْنَ طَرَفَيْهِ
Artinya: “sesuatu yang berada (ditengah) diantara dua sisi”.
Sedangkan menurut al-Ashfahany, kata “wasatha” berarti tengah-tengah diantara dua batas (a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith).
Menurut Sayyid Qutb, yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam bukunya, dalam pembahasan hakikat wasatiyyah (moderasi) perlu digarisbawahi bahwa Islam sendiri adalah bagian dari moderasi atau mengambil jalan tengah. Setiap ajaran yang terdapat dalam Islam mengandung prinsip-prinsip moderasi, moderat dalam pandangan dan keyakinannya dan moderat dalam keterikatannya.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan diatas, tidak mudah mendefinisikan wasatiyyah yang dimaksud oleh ajaran Islam sebab luasnya cakupan ajaran tersebut. Oleh karena itu, Quraish Shihab menyimpulkan dari uraian para pakar bahwa wasatiyyah adalah keseimbangan dalam segala persoalan hidup duniawi maupun ukhrawi. Ia harus selalu disertai dengan situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama dan kondisi yang sedang dialami.
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat ini secara terang menjelaskan penafsiran dari ayat-ayat lain yang bertopik moderasi. Dalam ayat ini dijelaskan bahwasannya ada 3 ciri-ciri umat terbaik yakni amar ma’ruf (mengajak kepada kebaikan), nahi munkar (mencegah kejahatan), dan beriman kepada Allah SWT.
Quraish Shihab melanjutkan penjelasannya secara konkrit yang menjadi ciri-ciri bahwasannya suatu kaum adalah kaum yang moderat tentang ajakan kebaikan. Antara pengetahuan dan pengamalan terdapat suatu keterikatan yang erat.
Akan berkurang pengetahuan seseorang bilamana ia tidak mengingatkan atau mengajak orang lain. Maka dari itu, seorang yang bisa menggabungkan antara keduanya akan mendapatkan hasil yang maksimal dari apa yang ia kerjakan.
Munasabah ayat tentang Islam Wasathiyah QS. Al-Baqarah: 143;
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. Umat pertengahan berarti umat pilihan, terbaik, adil, dan seimbang, baik dalam keyakinan, pikiran, sikap, maupun perilaku.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Kata وَسَطًا dalam firman Allah diatas bermakna adil atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ayat tersebut memperjelas bahwa wasathiyah merupakan karakter utama dari esensial ajaran Islam. Dalam Islam sangatlah menjunjung tinggi sikap “tengah-tengah” dalam pengertian adil, proposional, dan berimbang.
Pada teks ayat diatas, terdapat pembahasan tentang kiblat umat manusia. Lalu apa kaitannya dengan kata وَسَطًا ? Bukan tanpa alasan pembahsan mengenai arah kiblat ini diletakkan setelah pembahasan “ummatan wasatha”, menurut Quraish Shihab terdapat keterkaitan (munasabah) didalamnya, “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu wahai umat Islam ummatan wasathan (pertengahan) moderat dan teladan, sehingga dengan demikian keberadaan kamu dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada dipertengahan pula.” (Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alqur’an)
Pandangan Islam tentang kehidupan dunia dan akhirat adalah berdampingan. Yang berarti tidak terlalu mengedepankan dan sampai terjebak dalam materialisme, namun juga tidak melulu tentang spiritualisme.
Bentuk kesuksesan yang dicapai dalam hal akhirat tak luput dari kepercayaan dan perbuatan yang dikerjakan selama didunia. Ketika memandang kearah langit, namun kaki tetap berpijak ke bumi, ajaran Islam menganjurkan penganutnya dalam hal mencari hal yang bersifat duniawi, namun tetap memperhatikan nilai-nilai samawi.
Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa posisi Ka’bah berada tepat ditengah bumi. Hal ini bermakna posisi pertengahan menjadikan manusia itu berada pada garis lurus yang tidak memihak ke kanan dan kiri, suatu hal yang dimana mengantar dan mengqiyaskan manusia untuk berlaku adil.
Allah sebenarnya Maha Mengetahui atas perilaku hamba mana yang mengikuti ajaran Rasul dan siapa yang membelot (tidak patuh), tetapi Dia ingin menguji manusia, siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot sehingga pengetahuan-Nya yang telah ada sejak zaman azali itu terbukti didunia nyata dan bukan hanya Dia mengetahui sendiri, tetapi yang diuji dan orang lain itu mengetahui juga. Jadi, ketetapan Allah itu pasti kecuali hamba tersebut memang ingin merubahnya dengan iktiyar dan do’anya sehingga Allah ridlo dan mengabulkan apa yang diinginkannya.
*) Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Editor: Adis Setiawan