(Sumber Gambar: Fitrah) |
Oleh: Fitratul Akbar*
KULIAHALISLAM.COM – Dunia pendidikan di Indonesia dalam kurun terakhir
mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Berbagai media memberitakan
tentang aksi radikalisme dan intoleransi yang cenderung mengalami peningkatan.
Hal tersebut berdasarkan pada hasil survey yang dirilis oleh Wahid Institut
bahwa radikalisme mengalami peninngkatan di tengah masyarakat.
Sebanyak 600
ribu dari total 150 juta jiwa orang yang disurvey terpapar radikalisme. Pada
sisi lain, terjadi peningkatan aksi intoleransi 46% menjadi 54% atau meningkat
8%.[1] Sedangkan
survey PPIM merilis hasil bahwa peningkatan radikalisme justru kebanyakan
terjadi di lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi. Irnisnya,
ternyata tindakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh para peserta didik, akan
tetapi juga dilakukan oleh para guru dan dosen agama.[2]
Sementara itu,
Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan agama di
Indonesia harus mampu mengantarkan peserta didik untuk memiliki kecerdasan
kognitif terkait pengetahuan keagamaan dan berbudi luhur. Pesan undang-undang
tersebut menyiratkan bahwa dalam pendidikan agama seharusnya mampu mengantarkan
peserta didik untuk memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai
agama yaitu kasih sayang, kedamaian, toleransi, dan kelembutan.
Pendidikan
agama tidak hanya mengandung ajaran agar seorang hamba bermuamalah dengan baik
kepada sang pencipta (Tuhan) yaitu hablu minallah, akan tetapi lebih dari itu
manusia adalah mahluk sosial yang juga harus mampu bermuamalah dengan sesama
atau hablu minannas. Keduanya, baik secara vertikal maupun horizontal harus
seimbang, karena diantara manifestasi ibadah adalah berbuat baik antarsesama
manusia dan alam semesta.[3]
Berdasarkan temuan
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada tahun 2010 di Provinsi Jakarta
sebanyak 48,9% siswa Jabodetabek terlibat pada aksi radikalisme (Arifin and
Rizal, 2017). Lembaga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
menginformasikan beberapa pondok pesantren mengajarkan radikalisme dan
berpotensi santrinya menjadi terorisme (B, 2018). Hasil survei Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) mengemukakan sebanyak 31% mahasiswa bersikap intolerance bahkan
pehamanan mahasiswa dinilai rendah terhadap kebhinekaan dan keragaman budaya
(Ma`arif, 2019).
Informasi dari surat kabar dan media elektronik menyatakan
bahwa paham radikalisme agama telah sampai pada kalangan intelektual dan para
mahasiswa (Anwar, 2021b). Kemenristek Dikti menyebutkan terdapat 10 Perguruan
Tinggi (PT) terpapar radikalisme sejak lama meskipun berbagai upaya untuk
menangkal paham tersebut dilakukan namun belum berhasil (Ariefana and Saleh,
2019).[4]
Kasus yang paling menghangat dari tindakan intoleransi
yang dipicu oleh paham keagamaan adalah yang terjadi di Solo, yaitu penyerangan
terhadap ritual midodareni dari seorang warga di Solo Sabtu tanggal 8 Agustus
tahun 2020 kemarin. Secara lebih spesifik di lembaga pendidikan, kasus
intoleransi juga tidak bisa dihindari keberadaannya. Hasil riset yang dilakukan
oleh PPIM UIN Ciputat melalui metode survei juga menjelaskan bahwa sikap
keberagamaan di lembaga pendidikan baik pada tingkat dasar, menengah hingga
pendidikan tinggi secara nasional di Indonesia menunjukkan hasil yang
mengagetkan.
Dalam survei tersebut dikatakan bahwa aksi intoleran guru sebagai
mencapai 69.3 %. Guru di Indonesia mulai dari tingkat TK/RA hingga SMA/MA
memiliki opini intoleran dan radikal yang tinggi. “Secara umum, persentasenya
sudah di atas 50% guru yang memiliki opini yang intoleran. Sebanyak 46.09%
memiliki opini radikal. Sedangkan jika dilihat dari sisi intensi-aksi, walaupun
lebih kecil nilainya dari pada opini, namun tetap hasilnya mengkhawatirkan.
Sebanyak 37.77% guru intoleran dan 41.26% yang radikal.
Dari hasil temuan
tersebut terdapat tiga faktor dominan yang mempengaruhi tingkat opini dan
intensi-aksi intoleransi dan radikalisme guru.
Pertama, pandangan
Islamis. Sebanyak 40.36% guru setuju bahwa seluruh Ilmu pengetahuan sudah ada
dalam al-Quran, sehingga tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu yang bersumber dari
Barat.
Kedua, faktor demografi,
yaitu jenis kelamin, sekolah madrasah vs negeri, status kepegawaian,
penghasilan, dan usia. Hasilnya, guru perempuan memiliki opini yang lebih
intoleran dan radikal. Lebih jauh dijelaskan bahwa guru madrasah lebih
intoleran daripada guru sekolah. Ini dipengaruhi karena di madrasah tempat
proses pembelajaran memiliki iklim dan lingkungan yang homogen. Di lembaga
pendidikan Islam seperti madrasah, guru hanya mengajar siswa muslim dan berinteraksi
dengan guru muslim saja.
Ketiga, faktor
kedekatan dengan ormas dan sumber pengetahuan keislaman. Data yang dirilis
tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 45.22% guru merasa dekat dengan organisasi
NU dan Muhammadiah sebanyak 19.19%. Kondisi ini lebih lanjut disebutkan bahwa
guruguru yang dekat dengan NU dan Muhammadiah cenderung lebih memiliki opini
dan intensi-aksi yang toleran dari pada mereka yang merasa dekat dengan ormas
Islam yang selama ini dinilai radikal.
Hasil survei tersebut
semakin menguatkan bahwa ancaman intoleransi semakin kuat dalam ranah kehidupan
berbangsa dan bernegara dan sekaligus menjadi tantangan berat bagi institusi
pendidikan Islam. Kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa masa depan
bangsa akan dihantui oleh sikap intoleran yang dalam kondisi tertentu akan
cepat menyulut api konflik apabila tidak segera diantisipasi. Walaupun tidak
sepenuhnya benar, karena adanya anggapan dari sebagian masyarakat yang menilai
bahwa riset tersebut terlalu berlebihan dan terkesan memojokkan umat Islam.
Munculnya berbagai kasus intoleransi yang dipicu oleh eksklusivitas paham
keagamaan tersebut memang tidak bisa dibantah. Untuk itu, kemunculan wajah
Islam di ruang publik selain menampilkan wajah moderat, namun pada saat yang
lain menjadi tidak ramah, ekstrem, dan diskriminatif karena faktor pemahaman keagamaan
yang tidak toleran tersebut. Tentu saja, pernyataan yang terakhir ini tidaklah
tepat karena wajah Islam yang sebenarnya adalah penuh kasih sayang sebagaimana
misi untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh alam semesta.
[1] TimRed MI,
―Survei Wahid Institute: Intoleransi-Radikalisme Cenderung Naik,‖ 18 Januari,
2020, https://mediaindonesia.com/read/detail/284269-survei-wahid-institute-intoleransi-radikalisme-cenderung-naik.
[2]
Addi
M Idhom and Terry Muthahhari, ―Survei {UIN} Jakarta: Intoleransi Tumbuh Di
Banyak Sekolah Dan Kampus – {Tirto.ID},‖ Tirto.Id (Tirto.id, 2017); PPIM UIN
Jakarta, ―Survei PPIM 2018: Menyibak Intoleransi Dan Radikalisme Guru,‖
Ppim.Uinjkt.Ac.Id, 2018,
https://conveyindonesia.com/survei-ppim-2018-menyibakintoleransi-dan-radikalisme-guru/;
PPIM UIN Jakarta, ―Survei PPIM_ 58 Persen Siswa Berpandangan Radikal,‖ 2020.
[3] Umar Al Faruq
dan Dwi Noviani: Pendidikan Moderasi Beragama Sebagai Perisai Radikalisme di
Lembaga Pendidikan. Jurnal TAUJIH Program Studi Jurnal Pendidikan Islam
Pendidikan Agama Islam Vol. 14 No. 01 Januari-Juni 2021 IAI Al-Qur‘an Al-Ittifaqiah
Indralaya. HlM 61.
[4] UPAYA MEMBANGUN
SIKAP MODERASI BERAGAMA MELALUI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA MAHASISWA PERGURUAN
TINGGI UMUM Rosyida Nurul Anwar1 , Siti Muhayati2, Universitas PGRI Madiun.
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam Volume 12. No. 1 2021. Hlm 3.