Catatan perjalanan mahasiswa PAI UIN Raden Mas Said Surakarta dalam menelusuri sejarah dan keteladanan Sunan Pandanaran di Bayat, Klaten.
Sabtu pagi, 11 Oktober 2025, udara Surakarta terasa sejuk ketika kami, mahasiswa PAI kelas 5A UIN Raden Mas Said Surakarta, bersiap untuk melaksanakan kegiatan outing class mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia.
Tujuan kami adalah sebuah tempat yang sarat nilai sejarah dan spiritual, yaitu Makam Ki Ageng Pandanaran atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bayat, di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kegiatan ini dipimpin langsung oleh dosen kami, Bapak Raha Bistara, yang sejak awal telah menekankan bahwa perjalanan ini bukan sekadar wisata religi, melainkan juga perjalanan ilmu dan spiritual.
Kami berkumpul di kampus tercinta pada pagi hari. Setelah doa bersama, kami berangkat dengan penuh semangat menuju Klaten melalui jalur Jogja–Solo. Perjalanan sekitar lima puluh menit itu terasa begitu singkat karena diwarnai canda, tawa, dan pemandangan alam yang memukau.
Di kanan kiri jalan, hamparan sawah menghijau, pepohonan rindang, serta gunung yang berdiri gagah seolah menyambut langkah kami. Rasa lelah tergantikan oleh kekaguman akan lukisan kebesaran Tuhan di sepanjang perjalanan.
Setibanya di Kecamatan Bayat, kami langsung merasakan nuansa religius yang kental. Komplek makam Bayat berada di sebuah bukit Jabalkat yang terletak di Desa Paseban sekitar 10 km dari pusat kota Klaten, berada pada ketinggian 860 m di atas permukaan laut.
Pada tahun 2010 komplek makam ini telah ditetapkan menjadi situs cagar budaya nasional dengan nomor SK Menteri Nomor PM.57/PW.007/MKP/2010. Di sekitar area pintu masuk, suasana tampak hidup dengan deretan stand dagang yang menjajakan berbagai produk lokal mulai dari makanan tradisional hingga pernak-pernik khas Klaten.
Layaknya seorang perempuan, saya pun tak kuasa menahan diri untuk membeli beberapa cendera mata kecil, bukan sekadar oleh-oleh, melainkan simbol dukungan terhadap ekonomi warga sekitar. Saya merasa bahwa tempat ini bukan hanya tempat spiritual, tetapi juga menjadi pusat pemberdayaan masyarakat. Di sinilah harmoni antara agama dan ekonomi rakyat benar-benar terasa nyata.
Beberapa saat kemudian, Bapak Raha Bistara tiba dan mengajak kami berkumpul di pendopo bawah, dekat pintu masuk area pemakaman. Beliau membuka materi pengantar dengan penuh semangat, seraya menekankan pentingnya memahami sejarah Walisongo bukan hanya dari sisi agama, tetapi juga sosial dan budaya.
Dalam tangannya, beliau membawa sebuah buku karya George Quinn berjudul Wali Berandal Tanah Jawa, yang berisi tentang kajian terhadap Islamisasi dan budaya ziarah diberbagai makam di sepanjang pulau Jawa dengan keragaman dan kontradiksinya.
Sunan Pandanaran memiliki nama asli Ki Ageng Pandanaran II. Ia adalah putra Bupati pertama Semarang, Ki Ageng Pandanaran I, dan sempat menjabat sebagai Bupati Semarang kedua pada masa Kesultanan Demak. Dalam masa mudanya, beliau dikenal sebagai pejabat yang berwibawa dan kaya raya. Namun di balik kekuasaannya, perlahan muncul sifat cinta dunia yang berlebihan.
Suatu ketika, beliau bertemu Sunan Kalijaga, seorang wali yang terkenal dengan dakwah simbolik dan sarat makna. Dalam pertemuan itu, Sunan Kalijaga menegurnya dengan lembut, bahwa kekayaan dan jabatan bukan tujuan hidup, melainkan amanah yang harus membawa manfaat bagi sesama.
Teguran spiritual itu menggugah hati Ki Ageng Pandanaran. Ia pun meninggalkan jabatan dan kekayaannya, lalu berkelana untuk mendalami ilmu agama. Perjalanan rohaninya membawanya ke wilayah selatan Jawa Tengah, tepatnya Bayat, Klaten, di mana ia menetap, mengajar, dan menyebarkan Islam hingga akhir hayatnya. Karena ketekunannya berdakwah di wilayah Bayat, masyarakat mengenalnya sebagai Sunan Bayat.
Sisi menarik dari sosok Sunan Bayat adalah metode dakwahnya yang lembut dan sederhana. Beliau mengajarkan Islam melalui pendekatan budaya dan ekonomi rakyat. Ia tidak memaksa masyarakat untuk langsung meninggalkan tradisi lokal, melainkan menyelipkan nilai-nilai tauhid di dalamnya.
Selain itu, Sunan Pandanaran dikenal mendirikan pesantren kecil di Bayat, tempat ia membimbing masyarakat sekitar untuk belajar mengaji, bertani, dan berdagang dengan prinsip keislaman. Metode dakwahnya meniru gaya Sunan Kalijaga yang tidak menggurui, tapi menghidupkan nilai Islam dalam keseharian masyarakat. Inilah yang membuat ajaran Islam mudah diterima dan berkembang di wilayah Klaten dan sekitarnya hingga kini.
Setelah mendengarkan pengantar tersebut, kami bersiap menaiki tangga menuju kompleks makam. Menurut warga setempat, jumlah anak tangganya ada sekitar 152, dan setiap langkah seolah menjadi simbol perjalanan spiritual yang penuh perjuangan. Konon katanya, kalau bisa menghitung jumlah anak tangga secara pasti, hajatnya dapat terkabul.
Di puncak tangga terdapat langar atau mushola, kami disunnahkan mengambil wudhu sebelum memasuki area utama makam, sebagai tanda penyucian diri lahir dan batin. Menariknya, di sepanjang jalan menuju cungkup makam terdapat lima gapura, masing-masing memiliki nama dan makna filosofis yang berbeda.
Beberapa di antaranya bernama: Gapura Segara Muncar, Gapura Pangrantunan, Gapura Panemut, Gapura Pamuncar, Gapura Bale Kencur, dan yang terakhir adalah Gapura Dhudha yang letaknya terpisah (berada di pintu masuk sebelum menaiki tangga). Sementara pada beberapa pintu terlihat ukiran naga dan burung, simbol transformasi spiritual dari kekuasaan duniawi menuju kebijaksanaan rohani.
Sembari berjalan, kami diberi materi tambahan oleh Bapak dosen. Beliau memaparkan bahwa, sebuah makam yang nisannya terdapat ornamen bulan, itu berarti sosok ulama atau kyai sekitar awal abad 15-16 masehi. Kemudian apabila terdapat makam yang dikelilingi gambar tiga kepala ikan, itu tandanya makam seorang tokoh ulama sufi syattariyah.
Susunan makam juga mempunyai arti tersendiri, apabila letaknya semakin ke atas mendekati area bukit, berarti makam tersebut merupakan keturunan sunan atau masih berkerabat dekat dengan sunan. Komplek makam Sunan Bayat terbagi menjadi enam halaman, yang masing-masing dipisahkan oleh tembok keliling dan pintu masuk. Cungkup makam Sunan Bayat terletak pada halaman terakhir yang merupakan halaman tertinggi dan tersuci.
Ketika akhirnya kami tiba di makam Sunan Pandanaran, suasana menjadi hening dan penuh kekhusyukan. Kami berzikir dan berdoa bersama. Anehnya, di tengah keheningan itu beberapa dari kami mulai merasa sangat mengantuk dan mata terasa berat.
Konon, menurut warga sekitar, rasa kantuk itu sering dirasakan para peziarah sebagai tanda adanya ketenangan batin yang mendalam di tempat tersebut. Entah sugesti atau kenyataan, namun bagi saya, suasana itu terasa benar-benar damai seolah seluruh hiruk pikuk dunia menguap bersama embusan angin di Bayat.
Terdapat kisah menarik mengenai karomah Sunan Bayat. Saat itu beliau mengisi air wudhu dari sumber air sungai ke padasan atau gentong tempat menyimpan air wudhu, menggunakan keranjang bambu yang berlubang. Namun ajaibnya tidak ada air yang menetes sama sekali.
Kemudian kisah selanjutnya, memindahkan Masjid Golo yang ada di atas Gunung Jabalkat ke Lereng bawah. Dikisahkan suara adzan masjid tersebut yang terlalu kuat dan keras, lalu terdengar oleh Raden Patah yang berada di Demak, padahal jaraknya ratusan kilometer. Tentu saja suara yang terlalu keras itu mengganggu, kemudian Raden Patah meminta Sunan Bayat untuk menurunkan suara adzan.
Menyanggupi permintaan tersebut, Sunan Bayat kemudian memindahkan masjid yang berada di puncak Jabalkat, dengan karomahnya beliau menarik masjid tadi hingga sampai di lereng gunung bagian bawah, hingga saat ini masjid tersebut masih ada dan digunakan untuk beribadah.
Usai berdoa, kami menuju langar atau mushola yang masih berada di atas untuk melaksanakan salat zuhur. Setelah itu, kami menuruni tangga dan kembali ke pendopo sambil menikmati semilir angin pegunungan.
Beberapa teman sibuk memotret panorama dan arsitektur bangunan khas Jawa kuno yang berdiri gagah di kawasan itu. Di akhir kegiatan, kami mengabadikan momen kebersamaan dengan foto bersama, disertai refleksi penutup oleh Bapak Raha Bistara.
Beliau mengingatkan bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin bagi kita untuk meneladani semangat para wali yang menyebarkan Islam dengan penuh kebijaksanaan, keikhlasan, dan budaya santun.
Ziarah ini bukan sekadar perjalanan akademik, tetapi juga perjalanan jiwa. Kami pulang dengan hati yang penuh renungan, bahwa dakwah tidak harus dengan pidato lantang atau kekuasaan besar, melainkan dengan keteladanan, kerendahan hati, dan kasih sayang.
Seperti halnya Sunan Bayat, yang meninggalkan kemewahan dunia demi menjadi penerang bagi masyarakat di lereng Bayat. Di sanalah, kami belajar bahwa ilmu, sejarah, dan spiritualitas ternyata dapat berpadu indah dalam langkah-langkah kecil yang menuntun pada kebesaran Allah Swt.

