KULIAHALISLAM.COM – Apa yang dibanggakan kita sebagai warga masyarakat kota Bima. Memang kita melihat semarak warga menyelenggarakan kegiatan lomba sepakbola mini, mini soccer dan sepakbola besar. Tetapi, agenda kegiatan lomba itu sekadar rutinitas simbolik balaka.
Memang, kita gelar lomba olahraga voly antar Daerah tetapi hanya sekedar rutinitas musiman pemuas dahaga sesaat warga masyarakat. Memang, kita melihat pemerintahan Daerah menyelenggarakan festival, pameran dan kegiatan di berbagai bidangnya masing-masing untuk meraup pendapatan, menarik investor dan wisatawan asing atau warga lokalitas.
Artinya, pemerintahan Daerah walikota Bima dalam menata tata ruang wilayah, cenderung menata secara sembrono seadanya, rutinitas seremonial hanya memperbaiki kulit luar tetapi mengabaikan kualitas infrastruktur tersebut.
Dalam persoalan pembangunan suatu Daerah, kita gemar sekali dalam mengucapkan slogan tetapi culas dalam kenyataan, kita meng-klaim diri dengan sebutan sebagai kota Bima kota religius, kota berbudaya, kota pendidikan, kota mandiri dan kota Bermartabat, dan jargon politik sebagainya. Maka, slogan jargon itu semua hanya sebagai pemanis dibibir saja tetapi pahit dalam program tindakan nyata.
Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur daerah di wilayah kota Bima ini hanya sekedar seremonial simbolik belaka, sebagai bahan pencitraan supaya terlihat ada aktivitas proyek dan pembagian jatah tender, barang jasa, pengadaan dan keuntungan yang didapatkan. Bahkan, pembangunan infrastruktur daerah cenderung mengejar target, dengan kualitas pembangunan yang sembrono seadanya.
Lebih-lebih, orientasi pembangunan di wilayah Daerah adalah semata-mata untuk meraup pendapatan yang sebanyak-banyaknya di setiap bidang sesuai target-target tahunan.
Tetapi tidak memberikan dampak manfaat langsung bagi perubahan nasib hajat hidup warga masyarakat secara jangka panjang. Bahkan, mengarah kepada sesuatu kerusakan, alienasi sosial dan keterpisahan warga masyarakat dari lingkungan hidup sekitarnya.
Pembangunan daerah masih cenderung pada sesuatu yang materialistis (insfratruktur, gedung-gedung) tetapi mengabaikan aspek moralitas etika (jiwaraga, kebatinan), sosialitas (interaksi, kerjasama) dari warga masyarakat.
Sejak diberlakukannya desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, pembangunan daerah menjadi bagian penting dalam mengakselerasi pembangunan nasional. Pembangunan daerah dilakukan dengan mengakomodasi berbagai kepentingan daerah maupun mandat secara nasional. Pemerintah daerah memegang peranan kunci dalam mendorong pembangunan yang lebih tanggap terhadap kebutuhan dan potensi daerah. Melalui pembangunan daerah, pemerintah juga dapat mendorong masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dengan penerapan pendekatan partisipatif, pembangunan di daerah pun lebih mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Pembangunan berdimensi jamak, meliputi aspek sosial, ekonomi, ekologi dan institusi.
Pilar utama pembangunan adalah aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Keberhasilan pembangunan selain dicirikan oleh peningkatan pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan, juga mesti ada jaminan keberlanjutan. Pembangunan merupakan upaya berkesinambungan dalam menciptakan keadaan yang dapat menyediakan lebih banyak alternatif yang sah (valid) bagi setiap warga Negara untuk mencapai aspirasinya yang paling humanis, umumnya aspirasi humanis itu dinyatakan sebagai peningkatan kesejahteraan masyarakat (society welfare).
Keterbelakangan dan ketertinggalan yang terjadi pada suatu daerah merupakan kondisi objektif yang harus dipikirkan dalam setiap proses pembangunan. Bagaimanapun proses pembangunan menghasilkan konsekuensi. Upaya menanggulangi keterbelakangan masyarakat dapat dilakukan melalui usaha yang mendasar, yakni secara sektoral, segmental (bagian) dan spatial (lokasi/ruang/tempat). Paradigma kita dalam melakukan pendekatan pemberdayaan masyarakat menjadi kata kunci untuk keluar dari problem keterbelakangan dalam konteks pembangunan daerah. Dalam proses pemberdayaan masyarakat, pemerintah daerah dituntut memformulasi konsep yang jelas dan terarah bagi arah pembangunan dan pengembangan daerah dengan beragam potensi yang dimilikinya untuk kemudian digunakan dan dimanfaatkan menuju kemakmuran masyarakat di wilayah daerah secara nyata.
Setiap pemerintahan Daerah memiliki visi misi dan tujuan yang ingin wujudkan dalam masa periode kepemimpinannya, pun pemerintahan memiliki prioritas, agenda dan gaya dalam merealisasi wujudkan program kerja startegis bagi pembangunan infrastruktur berkelanjutan.
Pemerintahan Daerah walikota Bima, gemar membangun infrastruktur alun-alun kota, instruktur rumah sakit, perbaikan sungai dan drainase, renovasi sekolah-sekolah, dan lain sebagainya. Tetapi, kegiatan pembangunan infrastruktur di setiap sudut kota tersebut hanya sebagai proyek musiman, meraup keuntungan dan menjaga kepentingan politik, yang bersifat jangka pendek musiman bagi nasib hidup warga masyarakat semuanya. Karena itu, pembangunan infrastruktur daerah terus berjalan aktivitas di atas puncak gunung, di pinggiran pantai dan di pojok-pojok kota.
Proyek perbaikan drainase di jalan perbatasan kota, di jalanan lorong kampung-kampung. Perbaikan penggalian sungai-sungai besar di pusat kota, di wilayah pinggiran dan kali Romo di tengah kampung warga, pembangunan infrastruktur jalanan, gedung-gedung sekolah, lembaga sosial dan perawatan fasilitas umum. Puncak Gunung-gunung dihancurin ratakan, tepian lautan-lautan di timbunan reklamasi, jalanan-jalanan kota di perluas lebarkan, alun-alun pusat kota di revonasi penataan, festival pameran semarak diselenggarakan.
MENATA KEMANA DAERAH?
Oleh: FitrahTA
Mungkin, kita semua seringkali mendengar beragam slogan dan jargon yang di lontarkan warga masyarakat pribumi, orang-orang pendatang dan orang-orang luar bahwa kota Bima adalah kota yang agamis religius, kota perdagangan bisnis, kota pendidikan dan kota kebudayaan bermartabat. Dan ragam lainnya.
Tetapi, dalam realitas sosial kita menemukan bahwa secara geografis sosiologis wilayah kota Bima hanya dipandang sebagai daerah persinggahan bagi orang-orang, orang-orang luar dan wisatawan yang berkunjung ke pulau Bali, pulau lombok, dan pulau Sumbawa yang mau berkunjung menyeberangi ke wilayah Timur seperti labuan Bajo, Manggarai, Flores Timur, Sumba, Kupang, Rote dan lainnya.
Dengan kata lain, bahwa secara geografis sosiologis bahwa wilayah Daerah kota Bima adalah lebih cenderung dikenal sebagai Daerah transitas, persinggahan, dan wisatawan oleh orang-orang yang luar bertransmigrasi antar wilayah dan antar pulau di sekitaran-nya.
Maknanya, wilayah Daerah kota Bima hanya mengandalkan pendapatan dalam wilayah regionalnya saja, seperti pendapatan retribusi pajak, industri perdagangan, bisnis lokalitas, wisatawan dan sektor internal tambahan lainnya namun hanya sebahagian kecil untuk mengharapkan pendapatan dan retribusi dari sektor yang ada di bidang-bidang eksternalitas.
Kebijakan Pemerintahan
Adalah setiap pemimpin kepala Daerah itu memiliki visi misi, program strategis dan prioritas dalam menjalankan amanah kekuasaan di lembaga birokrasi pemerintahan.
Namun, ada satu hal yang sangat nampak sekali terkait karakter moralitas buruk dari pemimpin kepala Daerah dalam menjalankan program strategis tersebut adalah mereka ingin tampil sebagai seorang pemimpin Daerah yang merasa berkuasa, berjasa, dan pahlawan dalam menata segala aspek di wilayah Daerah ini, apakah menyangkut kepentingan politik, Politisi-politisi dan dinastik oligarkis tertentu atau nasib hidup seluruh warga masyarakat.
Semacam, seolah-olah ada tekad ambisius dan tendensius untuk menorehkan peninggalan (legacy) dalam bentuk program kerja yang bombastis. Maka, untuk mewujudkan hasrat ambisius tersebut bahwa mereka berbuat perundangan-undangan, regulasi dan aturan yang berpihak kepada posisi jabatannya, memaksakan kehendak, dan bahkan bertindak mendiskriminasikan aspirasi dari masyarakat.
Karena itu, seolah-olah nampak sekali ingin mereka ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuasaan, otoritas dan kewenangan untuk mencoba mengatur, memerintahkan dan mengarahkan perilaku warga masyarakat agar mengikuti segala komando dan instruksinya.
Dengan mengeluarkan surat pengumuman, himbauan, dan edaran yang menganggu aktivitas hidup warga masyarakat. Lebih-lebih mengancam dengan memberikan denda, hukuman, atau kehilangan akses lainnya.
Selain itu, seolah-olah mereka tampil sebagai seorang yang serba tahu meskipun sok tahu aspirasi keluhan warga, serba kuasa meskipun sok kuasa terkait nasib hidup warga, serba kewenangan meskipun sok menyalagunakan wewenang kepada harkat martabat warga.
Dengan kata lain, bahwa pemimpin kepala Daerah saat ini, alih-alih bekerja pengabdian untuk menata kondisi Daerah semakin beradab, memberdayakan nasib hajat hidup warga, dan mewujudkan impian kemajuan masyarakat namun yang terjadi adalah malahan mereka yang berbuat mengancam, mendiskreditkan, menyusahkan, menindas rendahkan harkat martabat sesama manusia, umat beragama dan warga masyarakat dalam bernegara.
Kemana Arah Pembangunan Daerah?
Mungkin, kita semua seringkali mendengar beragam slogan dan jargon yang di lontarkan warga masyarakat pribumi, orang-orang pendatang dan orang-orang luar bahwa kota Bima adalah kota yang agamis religius, kota perdagangan bisnis, kota pendidikan dan kota kebudayaan bermartabat. Dan ragam lainnya.
Tetapi, dalam realitas sosial kita menemukan bahwa secara geografis sosiologis wilayah kota Bima hanya dipandang sebagai daerah persinggahan bagi orang-orang, orang-orang luar dan wisatawan yang berkunjung ke pulau Bali, pulau lombok, dan pulau Sumbawa yang mau berkunjung menyeberangi ke wilayah Timur seperti labuan Bajo, Manggarai, Flores Timur, Sumba, Kupang, Rote dan lainnya.
Dengan kata lain, bahwa secara geografis sosiologis bahwa wilayah Daerah kota Bima adalah lebih cenderung dikenal sebagai Daerah transitas, persinggahan, dan wisatawan oleh orang-orang yang luar bertransmigrasi antar wilayah dan antar pulau di sekitaran-nya.
Maknanya, wilayah Daerah kota Bima hanya mengandalkan pendapatan dalam wilayah regionalnya saja, seperti pendapatan retribusi pajak, industri perdagangan, bisnis lokalitas, wisatawan dan sektor internal tambahan lainnya namun hanya sebahagian kecil untuk mengharapkan pendapatan dan retribusi dari sektor yang ada di bidang-bidang eksternalitas.
Kebijakan Pemerintahan
Adalah setiap pemimpin kepala Daerah itu memiliki visi misi, program strategis dan prioritas dalam menjalankan amanah kekuasaan di lembaga birokrasi pemerintahan.
Namun, ada satu hal yang sangat nampak sekali terkait karakter moralitas buruk dari pemimpin kepala Daerah dalam menjalankan program strategis tersebut adalah mereka ingin tampil sebagai seorang pemimpin Daerah yang merasa berkuasa, berjasa, dan pahlawan dalam menata segala aspek di wilayah Daerah ini, apakah menyangkut kepentingan politik, Politisi-politisi dan dinastik oligarkis tertentu atau nasib hidup seluruh warga masyarakat.
Semacam, seolah-olah ada tekad ambisius dan tendensius untuk menorehkan peninggalan (legacy) dalam bentuk program kerja yang bombastis. Maka, untuk mewujudkan hasrat ambisius tersebut bahwa mereka berbuat perundangan-undangan, regulasi dan aturan yang berpihak kepada posisi jabatannya, memaksakan kehendak, dan bahkan bertindak mendiskriminasikan aspirasi dari masyarakat.
Karena itu, seolah-olah nampak sekali ingin mereka ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki kekuasaan, otoritas dan kewenangan untuk mencoba mengatur, memerintahkan dan mengarahkan perilaku warga masyarakat agar mengikuti segala komando dan instruksinya.
Dengan mengeluarkan surat pengumuman, himbauan, dan edaran yang menganggu aktivitas hidup warga masyarakat. Lebih-lebih mengancam dengan memberikan denda, hukuman, atau kehilangan akses lainnya.
Selain itu, seolah-olah mereka tampil sebagai seorang yang serba tahu meskipun sok tahu aspirasi keluhan warga, serba kuasa meskipun sok kuasa terkait nasib hidup warga, serba kewenangan meskipun sok menyalagunakan wewenang kepada harkat martabat warga.
Dengan kata lain, bahwa pemimpin kepala Daerah saat ini, alih-alih bekerja pengabdian untuk menata kondisi Daerah semakin beradab, memberdayakan nasib hajat hidup warga, dan mewujudkan impian kemajuan masyarakat namun yang terjadi adalah malahan mereka yang berbuat mengancam, mendiskreditkan, menyusahkan, menindas rendahkan harkat martabat sesama manusia, umat beragama dan warga masyarakat dalam bernegara.

