Pada pemilihan umum (pemilu) 2024, pemilih dari generasi Z dan milenial mendominasi. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pemilih gen Z dan milenial mencapai 56% atau sekitar 116,5 juta dari 204,8 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Dari jumlah tersebut, tak heran jika para calon presiden dan calon wakil presiden berlomba-lomba mendapatkan hati pemilih muda. Namun apakah generasi muda peduli terhadap isu politik?
Sebagai generasi yang sejak lahir sudah disuguhi dengan kecanggihan teknologi, tentu generasi muda saat ini sangat mudah dalam mengakses informasi, terlebih tentang isu politik. Data penggunaan media sosial menurut databoks.katadata.co.id adalah pengguna aktif didominasi oleh usia 18-34 tahun sebanyak 54,1%.
Tak heran jika para calon kandidat berusaha menarik perhatian para pemilih muda melalui semua laman media sosial, mulai dari membuat XSpaces . Sayangnya, menurut survei litbang kompas, sebanyak 12,3% gen Z memantapkan pilihannya secara spontan saat meberikan hak pilihnya di bikik suara. Fenomena ini cukup menjadi bukti bahwa ketertarikan generasi muda untuk peka terhadap isu politik sangat rendah.
Hal ini tentu bukan tanpa alasan, mengingat para pemangku pemerintah sendiri yang membuat generasi muda enggan berpartisipasi bahkan jengkel jika mendengar isu politik.
Banyak generasi muda yang merasa bahwa sistem politik cenderung korup dan tidak transparan, sehingga mereka skeptis terhadap kemampuan politikus dan pemerintah untuk membawa perubahan nyata. Pengalaman melihat janji-janji politik yang tidak terpenuhi atau isu-isu korupsi yang terus muncul memperkuat anggapan ini.
Merasa tidak diwakilkan oleh sistem politik dan tidak merasakan dampak langsung dari keterlibatan politik di kehidupan sehari-hari mereka, juga menjadi salah satu alasan mengapa generasi muda apatis terhadap isu politik.
Dalam dunia yang sangat kompetitif, banyak dari mereka lebih fokus pada pengembangan diri dan karier, sehingga perhatian terhadap isu politik menjadi sekunder. Ditambah lagi, adanya stigma bahwa politik adalah dunia yang penuh dengan konflik dan intrik, membuat mereka enggan terlibat.
Namun, tidak semua generasi muda bersikap apatis. Ada kelompok kecil yang justru menjadi penggerak perubahan, baik melalui advokasi, gerakan sosial, maupun keterlibatan dalam organisasi politik.
Hal ini menunjukkan bahwa apatisme politik di kalangan generasi muda bukanlah realitas tunggal, melainkan fenomena yang dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, dan budaya.
Mengatasi apatisme politik di kalangan generasi muda membutuhkan pendekatan yang inovatif. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat perlu menciptakan ruang yang inklusif dan transparan untuk melibatkan mereka.
Edukasi politik yang relevan dengan kehidupan sehari-hari generasi muda dapat membantu meningkatkan pemahaman mereka tentang pentingnya partisipasi politik. Selain itu, para pemimpin politik juga perlu membangun kembali kepercayaan publik melalui tindakan nyata, bukan sekadar retorika.
Paradigma apatisme politik di kalangan generasi muda adalah tantangan sekaligus peluang. Dengan pendekatan yang tepat, generasi ini dapat menjadi kekuatan besar dalam membawa perubahan positif di masa depan, mengingat potensi besar yang mereka miliki. Membangkitkan kesadaran politik mereka adalah investasi yang berharga untuk demokrasi yang lebih sehat dan berkelanjutan.