Pembalasan dendam Diponegoro. Demikian judul buku yang saya baca pada 2024 setelah mendapat tugas filsafat sejarah. Buku tersebut demikian dibeli oleh seorang teman baik yang mengetahui minat saya akan suatu sejarah. Sempat ingin membeli buku Ramalan Diponegoro atau berencana akan meminjam The History Of Java di perpustakaan, buku yang diberikan ini telah menyelamatkan saya.
Diponegoro. Setahu kedunguan saya, itu adalah nama jalan di salah satu kawasan di pusat kota Surabaya. Terdapat jajaran bangunan metropolitan di sekujur tubuh Diponegoro itu. Tetapi untuk kali ini, inilah Diponegoro. Seseorang yang jauh tidak kita kenal, namun namanya masih kian terkenal.
Buku setebal 655 halaman dengan lukisan Boschbrand tahun 1849 yang menjadi koleksi di galeri nasional Singapura karya pelukis Raden Saleh di sampul mukanya dan dicetak pertama kali oleh Nederlands Letterenfonds Dutch Foundation For Literature pada bulan November 2023 yang lalu. Kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia lalu dipasarkan.
Buku ini dalam edisi terjemahan Indonesia kemudian diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro yang menjabat menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1993 hingga 1998 sebagai anggota menteri kabinet Pembangunan IV dalam pemerintahan Soeharto.
Beliau merupakan penggagas kurikulum 1994 di Indonesia, termasuk sistem CBSA dan juga buku LKS. Kata pengantar lain yang dimuat dalam buku terjemahan Indonesia cetakan pertama juga oleh Dr. Bondan Kanumoyoso, S.S, M.Hum., yang merupakan sejarawan, kurator, lektor dan akademisi UI.
Saat penulisan buku ini berlangsung beliau tengah menduduki jabatan sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia yang bermakara putih. Keduanya sangat kompeten dalam hal ini.
Terdapat tiga bab berisi prolog buku, yang pembukanya adalah acara peringatan korban perang di Den Haag. Den Haag adalah sebuah kota tua yang mendekap kejamnya sejarah kolonialisme Belanda. Bila Amsterdam adalah ibukota mereka, Den Haag adalah leluhurnya, yang menyimpan apik segala sejarah yang pernah menumpahinya, menyumpahinya, dan melukainya.
Den Haag adalah kota yang tidak sempurna tapi keras kepala. Sekeras kemauan lepas dari penjajah, sekuat doa untuk merdeka. Sepanas api yang beranjak mengusir pergi, sederas air yang mendorongnya larung dalam raung. Belanda pada masa pencerahan sungguh telah remuk meluluhlantakkan bangsa yang dijajahnya, dan Den Haag menjadi tempatnya Nederland untuk menebus dosa kepada mereka di masa lalu kelamnya.
Pembalasan Dendam Diponegoro
Buku ini yang saya miliki berjudul demikian. Intinya mengarah kepada tragedi Perang Jawa antara Pangeran Diponegoro dengan Williem Hendrik de Kock, gubernur yang menjabat pada tahun 1825-1830 dan memerangi orang-orang lokal Hindia Belanda yang membangkang kepada pemerintah.
Meskipun demikian, namun Bossenbroek menulis buku ini secara objektif. Dengan pendekatan keilmuan sejarah yang mengakar kuat, Bossenbroek “menanggalkan” Belandanya untuk mengungkap sejarah seperti apa Perang Jawa Diponegoro. Abad ke-19 yang sebelumnya menurut bangsa barat adalah masa kejayaan yang membuncah, di abad ini telah banyak dikritisi dan dikaji oleh akademisi.
Perlawanan yang dilakukan oleh Diponegoro ialah terobosan nakal pada masa itu, yang tidak lazim. Ini adalah sebuah penghormatan kepada Raden Mas Ontowiryo atau dikenal Pangeran Diponegoro. Dalam rihlah per babnya kita disuguhi integrasi antara tokoh Belanda, De Kock dengan reformis bangsa dan agama, Pangeran Diponegoro sang santri ksatria Mataram, anak turun dari Sultan Agung.
Merampas Raden Saleh
Dendam ini dikonotasikan ke dalam lukisan Raden Saleh yang diadopsi menjadi sampul muka buku. Lukisan yang dipenuhi kata-kata “Let the roar of the tiger lead the way” biar auman harimau yang menuntun jalan ditambah hewan harimau, banteng, kerbau dan elang memancarkan kemelut aksi di tengah bara api yang menghanguskan sekitar mereka.
Lukisan ini adalah lukisan terakhir Raden Saleh dari total tiga belas lukisan Raden Saleh yang pernah diakuisisi oleh Kerajaan Belanda. Tetapi, nyatanya mahakarya seniman luhur Indonesia itu dijual oleh cucu Ratu Juliana. Galeri Nasional Singapura yang membeli lalu kemudian lekas memamerkan mahakarya mahaindah dari Indonesia.
Kini Belanda kehilangan benda berharga itu, oleh bangsa yang didirikan Rafles sendiri, Singapura. Mereka tidak bisa mengambil alih kembali lukisan tersebut dikarenakan sesuai dengan perjanjian mengenai ekspedisi ekspor-impor yang kedua belah pihak telah sepakati dulu di kota Groningen. Setelah keris Diponegoro, bahkan lukisan seniman Raden Saleh pun dirampas oleh aristokrat imperialis barat.
Latar belakang
Apabila Rafles telah menjabat memimpin Hindia Belanda dan melahirkan sejarah tanah jawa (The History Of Java) yang tiada orang lain sebaik itu dalam memaparkan sejarah berdasarkan data, maka Bossenbroek juga demikian.
Semangat menulis yang ditularkan oleh keduanya sangat menginspirasi kita sebagai putra bangsa untuk memiliki autentisitas dan atensi yang sedemikian tinggi untuk membuat historiografi dari sudut pandang masyarakat kami sendiri. Bossenbroek sangat inspiratif. Bossenbroek ingin menggali kembali sejarah Belanda di Hindia Timur (sekarang Indonesia), terutama peran Belanda dalam perang kolonial yang kurang dibahas di luar Indonesia.
Diponegoro menjadi tokoh sentral karena karismanya dan dampak besarnya pada masyarakat Jawa. Buku Bossenbroek sering menempatkan peristiwa-peristiwa seperti Perang Jawa dalam perspektif sejarah global, membandingkan perang ini dengan konflik serupa seperti Perang Boer atau Revolusi Amerika.
Dia ingin menunjukkan bagaimana kolonialisme di Asia Tenggara mencerminkan tantangan dan dilema moral imperialisme abad ke-19. Bossenbroek ingin mengungkap bagaimana hubungan antara Belanda dan Indonesia dibentuk oleh konflik kolonial, yang memengaruhi pandangan masyarakat kedua bangsa hingga kini.
Menengok sejarah secara akademis, alih-alih dendam yang tak habis-habis. Bossenbroek memiliki banyak minat pada abad ke-19. Di mana pada abad itu, perang Jawa meletus. Perang ini menggugah minat risetnya sebagai akademisi ahli sejarah dan hatinya tertambat di Pangeran Diponegoro, pemuda alim putra mahkota Mataram yang bermukim di desa Tegalrejo.
Kepenulisan
Martin Bossenbroek lahir pada tahun 6 Agustus 1953 di Amsterdam, Belanda dan memperoleh gelar doktor dalam bidang sejarah dari Universitas Utrecht. Minatnya terhadap sejarah kolonial, terutama yang melibatkan Belanda, muncul dari pendidikan akademisnya yang berfokus pada sejarah modern dan global.
Ketertarikannya pada Perang Jawa didorong oleh keinginannya untuk mengeksplorasi salah satu perang kolonial paling berdarah dalam sejarah Belanda dan menghubungkannya dengan pola imperialisme global.
Perjalanannya membuat historiografi Diponegoro adalah melalui meneliti arsip-arsip di Nationaal Archief (Arsip Nasional) di Den Haag, Belanda, yang menyimpan dokumen resmi dari era Hindia Belanda. Arsip ini mencakup surat-surat, laporan militer, catatan pemerintah kolonial, dan korespondensi pribadi pejabat Belanda selama Perang Jawa (1825–1830).
Untuk melengkapi perspektif, Bossenbroek juga mengakses manuskrip dan catatan dari Indonesia, termasuk Babad Diponegoro, autobiografi yang ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro selama pengasingannya di Manado. Dokumen ini penting karena memberikan pandangan langsung dari tokoh utama.
Dia memanfaatkan karya-karya sebelumnya tentang Perang Jawa, termasuk studi buku utama The History Of Java karya Thomas Rafles dan Ramalan Diponegoro oleh Indonesianis Peter Carey yang telah mengupas Diponegoro secara mendalam. Ia juga membaca penelitian lain tentang dinamika sosial dan politik Jawa saat itu.
Salah satu pendekatan khas Bossenbroek adalah membandingkan konflik yang ia pelajari dengan perang-perang lain. Dalam kasus Perang Jawa, ia melihat persamaan dengan Perang Boer yang pernah secara tragis melanda benua Afrika.
Bossenbroek tidak hanya bergantung pada dokumen tertulis. Ia melakukan perjalanan ke lokasi-lokasi terkait untuk memahami lanskap dan konteks budaya. Mengunjungi langsung untuk menyekap sejarah dalam tawanan kornea. Ia mengunjungi tempat-tempat yang menjadi lokasi penting Perang Jawa, seperti Yogyakarta dan Magelang, untuk memahami geografi dan budaya setempat.
Mengkaji bagaimana peristiwa ini direkam dalam ingatan kolektif masyarakat Belanda, termasuk artefak dan koleksi museum. Bossenbroek berusaha menyeimbangkan narasi kolonial dengan sudut pandang rakyat Indonesianis. Ia membaca dokumen lokal dan mencoba memahami motivasi Diponegoro dari sisi religius, budaya, dan politik.
Setelah menyelesaikan penelitian, Bossenbroek mulai “mencatat” dengan gaya naratif khasnya, yang memadukan kejujuran sejarah dengan alur cerita yang memikat.
Inspirasi
Perjalanan seorang Martin Bossenbroek begitu inspiratif. Bagaimana seorang akademisi dan pegiat sejarah dari Utrecht Belanda menyempatkan waktu di persinggahan hidupnya untuk menggali artefak keilmuan yang bangsa Indonesia sendiri, reformis negeri sendiri belum ada yang tergugah berkutat meriset nenek moyang sendiri dari akar rumput.
Cendekiawan bangsa kita cenderung bangga dengan riset-riset bodong garapan joki, menjadi dosen dengan seperempat hati karena kalah saing untuk jadi pejabat akademisi, berkutat seperempat otak untuk menyarjanakan mahasiswa tanpa keinginan untuk bangkit, membuat karya hasil dari akademisi Indonesia untuk Indonesia.
Sistem berpikir para intelek yang masih mudah terkoyak dan robek. Jauh, bangsa Belanda yang menjajah telah membuat banyak tulisan yang tak lekang oleh sejarah. Sedang masyarakat Indonesia masih harus menengadah, membeli buku terjemahan yang membahas bangsanya sendiri, dengan perasaan tercabik berdarah.
Bangsa yang menengadah akan terus-menerus lemah dan menjadi remah-remah. Tidak jadi apa-apa. Jadilah insan yang cerdas, guna menyiapkan amunisi tempur Indonesia emas. Jadilah akademisi yang mengabdi, bukan hanya mengajar pulang dan ulangi lagi. Indonesia telah tertinggal, mari mengejar. Atas nama Diponegoro, jangan diam dikalahkan oleh cendekiawan bangsa Dandels. Mari imbangi.