(Sumber Gambar: dok, Redaksi Kuliah Al-Islam) |
KULIAHALISLAM.COM – Ibadah Puasa di bulan Ramadhan, tujuannya sebagaimana dinyatakan di dalam al-Qur’an adalah jelas, yaitu agar orang yang menjalankannya meraih derajat taqwa. Sebulan penuh, di bulan Ramadhan, orang beriman diwajibkan berpuasa, yaitu meninggalkan makan minum, berhubungan suami isteri, dan atau hal lainnya yang membatalkannya, sejak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari.
Pada saat berpuasa, kegiatan yang sehari-hari boleh dilakukan, maka dilarang melakukannya. Sesuatu yang pada saat tidak berpuasa boleh menikmatinya, tetapi pada saat berpuasa, sekalipun sesuatu dimaksud tersedia, maka dilarang mengkonsumsi atau menikmatinya. Kenikmatan itu supaya ditunda hingga saat diperbolehkannya.
Pada saat berpuasa itu, keinginan yang menuntut segera dipenuhi, maka harus ditunda terlebih dahulu. Kesediaan menunda kenikmatan itulah yang harus dipenuhi oleh orang yang berpuasa. Mereka tidak makan, minum dan berhubungan suami isteri di siang hari, bukan oleh karena tidak ada yang dimakan dan juga yang diminum, atau tidak ada isteri atau suami, melainkan oleh karena yang bersangkutan sedang berpuasa, maka semua kenikmatan itu harus ditunda terlebih dahulu.
Keberhasilan atau lulus dalam menunda kenikmatan dan segala hal yang membatalkan puasa itu maka menjadikan seseorang memperoleh derajat yang mulia di sisi Allah, yaitu taqwa. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak hal penting yang seharusnya meniru hakekat puasa, agar seseorang meraih sukses dalam kehidupannya. Orang yang ingin berhasil hidupnya, dalam bidang apa saja, maka membutuhkan kemampuan menunda dulu kenikmatan yang ingin segera diraih atau dirasakan.
Menunda kenikmatan itu, sebagaimana puasa, ternyata akan memperoleh sukses di masa depan yang lebih besar dan lebih banyak jumlahnya. Seorang mahasiswa misalnya, agar cita-citanya berhasil, belajarnya sukses dan kelak menjadi orang yang bermanfaat, maka harus berani dan mampu menunda dahulu berbagai kesenangan atau kenikmatan yang sebenarnya bisa dinikmati segera. Menurut penuturan orang tua atau orang yang arif dahulu, seseorang yang ingin mendapatkan derajat tinggi dan mulia, maka harus berani hidup prihatin.
Sedangkan yang dimaksud hidup prihatin itu adalah adanya kesediaan mengurangi atau menahan dorongan hawa nafsu, misalnya menghindar dari terlalu banyak makan, minum, dan tidur. Pada batas-batas tertentu, nasehat tersebut ternyata terbukti kebenarannya. Para mahasiswa yang mampu bertahan hidup sederhana, atau katakanlah secukupnya, ternyata benar, pada umumnya di kemudian hari, usaha mereka sukses. Sebaliknya, mahasiswa yang mengikuti hawa nafsu berlebih-lebihan, hidup berfoya-foya tanpa batas, dan tanpa terkendali, ternyata banyak yang gagal.
Demikian pula, pejabat pemerintah, mereka yang mampu berpuasa, dalam pengertian selalu menahan diri dari mengikuti hawa nafsu, tidak selalu mengambil sesuatu, dan apalagi yang bukan haknya, umumnya akan selamat. Pejabat dimaksud akan disenangi atau dicintai oleh bawahannya, sehingga sikapnya yang arif itu akan menumbuhkan kreatifitas, etos atau semangat kerja orang-orang yang dipimpinnya. Institusi atau birokrasi yang dipimpin akan selalu mengalami kemajuan, bergerak dinamis, dan meraih prestasi yang diinginkan. Hal itu disebabkan karena pejabat dimaksud berani melakukan puasa, dalam arti meninggalkan sesuatu yang seharusnya bisa dinikmatinya.
Makna hakekat puasa juga bisa dijadikan pegangan oleh berbagai profesi apapun, tidak terkecuali sebagai politikus, pedagang, pengusaha, petani, pelajar dan lain-lain. Sebagai politikus, mereka akan benar-benar berjuang untuk rakyat. Mereka tidak ingin mendapatkan fasilitas yang berlebihan, sekalipun hal itu misalnya memungkinkan, tetapi justru sebaliknya, Apa yang diperoleh, sebagiannya diperuntukkan bagi siapa saja yang masih mengalami kekurangan. Maka artinya, politikus dimaksud berani berpuasa atau menunda kenikmatan yang seharusnya dirasakan, demi sukses kariernya di masa depan.
Tidak terkecuali adalah para petani juga melakukan hal tersebut. Pada saat tanamannya memerlukan perawatan, maka mereka berani berpuasa dulu. Uang yang dimiliki bukan digunakan untuk bersenang-senang, misalnya sehari-hari berpesta, pergi ke warung, dan seterusnya, melainkan berpuasa terlebih dahulu. Sementara, uangnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan tanamannya, misalnya untuk membeli pupuk, obat-obatan, upah buruh, dan lain-lain, agar tanamannya subur, terhindar dari penyakit, supaya kelak menghasilkan panen yang melimpah.
Berpuasa memang memiliki makna strategis untuk meraih sukses dalam usaha apa saja di masa depan. Orang yang kebetulan menjadi pejabat, dan tidak mampu menangkap dan mengambil pesan hakekat puasa, dan apalagi melakukan penyimpangan, korupsi misalnya, maka akan gagal dan diberhentikan dari jabatannya itu. Demikian pula, seorang pengusaha, oleh karena tidak mampu menangkap pesan puasa, hingga modalnya justru digunakan untuk memenuhi tuntutan hawa nafsu atau kenikmatan hari ini, maka usahanya bangkrut atau gulung tikar. Tidak berbeda dengan pejabat dan juga pengusaha, adalah mahasiswa oleh karena tidak mampu mengendalikan diri, atau tidak mampu menangkap pesan hakekat puasa, maka juga mengalami kegagalan.
Akhirnya, hakekat berpuasa sebenarnya adalah mengingatkan kepada siapa saja yang ingin meraih sukses hidupnya, maka harus mampu menunda kenikmatan atau kesenangannya. Pesan atau nasehat kebanyakan orang tua dahulu, bahwa sukses atau keberhasilan hanya akan diraih oleh orang yang mampu hidup prihatin, ternyata benar. Maka, siapapun yang menghendaki hidupnya sukses, ternyata kuncinya adalah adanya kesediaan menangkap makna hakekat ibadah berpuasa ramadhan dan mengimplementasikan dalam kehidupan.