Candi pari merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang terletak di Desa Candipari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Lokasinya cukup strategis, hanya sekitar 2 KM dekat dengan pusat semburan Lumpur Lapindo. Keberadaan candi ini memberikan sentuhan sejarah yang menarik di tengah kawasan yang kini lebih dikenal karena fenomena alamnya.
Berdasarkan tulisan pada batu yang terdapat di atas gerbangnya, candi pari dibangun pada tahun 1293 Saka atau sekitar 1371 Masehi. Peninggalan ini berasal dari masa kejayaan kerajaan Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350–1389 Masehi). Periode ini dikenal sebagai salah satu masa keemasan dalam sejarah Indonesia, ketika Majapahit mencapai puncak pengaruhnya di nusantara.
Melalui oral history dari warga setempat, terdapat cerita menarik tentang asal-usul candi pari. Dulu, di desa Kedung Suko, ada dua pemuda yang membangun sawah dengan bibit yang mereka dapatkan dari Ki Gedhe Penanggungan, yakni Jaka Walangtinunu dan Jaka Pandelegan. Persawahan yang mereka kelola tumbuh subur, dan ketika musim paceklik melanda, kerajaan meminta pasokan padi kepada mereka karena lumbung padi kerajaan kosong.
Jaka Walangtinunu beserta istrinya, Nyai Walang Sangit diminta untuk menghadap ke istana oleh patih kerajaan. Setelah itu, Jaka Pandelegan dan istrinya, Nyai Walang Angin, diminta untuk datang ke istana. Namun, Jaka Pandelegan dan istrinya menolak untuk meninggalkan desa, dan secara misterius menghilang saat dijemput paksa oleh patih kerajaan. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa Jaka Pandelegan, maka Raja Hayam Wuruk kemudian memerintahkan pembangunan candi pari, yang menurut cerita, tempat ia bersembunyi dan menghilang ada di dalam lumbung padi.
Bentuk dan Gaya Arsitektur Candi Pari
Candi pari memiliki panjang sekitar 16,86 meter, dengan lebar 14,10 meter, dan tinggi 13,40 meter. Jika dibandingkan dengan candi-candi lain peninggalan kerajaan Majapahit, bentuknya memang tampak lebih pendek dan melebar. Hal ini memberikan kesan arsitektur yang berbeda dari kebanyakan candi di era tersebut.
Material utama yang digunakan untuk membangun candi pari adalah batu bata merah, yang menjadi ciri khas arsitektur pada masanya. Gerbang candi ini menghadap ke arah barat dan dilengkapi dengan ambang pintu serta penutup gerbang yang terbuat dari batu andesit.
Pada ketiga sisi tubuh candi, tepat di atas relung, terdapat pahatan sangka bersayap. Diduga bahwa pahatan ini mengindikasikan bahwa candi pari berfungsi sebagai tempat pedharmaan atau penyimpanan abu jenazah raja. Namun, ada juga pendapat yang berbeda, yang menyatakan bahwa candi pari lebih dimaksudkan sebagai tempat pemujaan terhadap Dewi Sri, Dewi Padi.
Dalam penelitian NJ Krom pada Inleading Tot de Hindoe Javansch Khust mengungkapkan bahwa arsitektur candi pari dipengaruhi oleh gaya dari Champa, Vietnam. Pengaruh ini terlihat jelas pada bentuk dan ornamen candi tersebut.
Berdasarkan kakawin Nagarakertagama, tercatat bahwa Champa dan Jawa memiliki hubungan yang cukup dekat. Hubungan ini berperan dalam membawa pengaruh seni dan budaya Champa ke Jawa, termasuk dalam pembangunan candi pari. Namun, gaya arsitektur jawa masih mendominasi pada bangunan ini.
Dengan usia lebih dari enam abad, candi pari tidak hanya menjadi saksi bisu sejarah, tetapi juga menunjukkan kemampuan arsitektur dan seni bangunan masyarakat pada masa itu. Kekokohannya yang masih terjaga hingga kini menjadi bukti betapa majunya peradaban di masa lampau.