KULIAHALISLAM.COM – Muktazilah merupakan salah satu
aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri
utama yang membedakan aliran ini dengan aliran teologi Islam adalah
pandangan-pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil ‘Aqliah
(akal) dan bersifat filosofis sehingga sering disebut aliran rasional Islam.
Muktazilah didirikan oleh Ulama bernama Wasil bin Ata pada tahun 100 H/718 M.
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan
aliran Murijiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar.Menurut kaum Khawarij, orang mukmin
yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi melainkan sudah menjadi
kafir. Sementara itu kaum Murijiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa
besar itu tetap sebagai mukmin bukan kafir.
Menghadapi dua kontroversi itu,
Wasil bin Ata yang merupakan murid Imam Hasan al-Basri, mengeluarkan pendapat
bahwa orang mukmin yang berdosa besar itu berada di antara keimanan dan
kekafiran, oleh karena itu di akhirat nanti ia disiksa kemudian dimasukan Allah
ke surga.
Pendapat Wasil bin Ata kemudian
menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni Al-Manzilah bain al-manzilataian
(Posisi di antara kedua posisi). Wasil bin Ata meninggalkan gurunya. Imam Hasan
al-Basri berkata : “ I’tazala ‘anna Wasil (Wasil menjauhkan diri dari
kita)”.
Menurut Imam Syahristani, dari kata I’tazala ‘anna Wasil itulah
lahirnya istilah Muktazilah artinya orang yang memisahkan diri. Selain nama
Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut Ahl-Tauhid (golongan
pembela tauhid), kelompok Ahl al-‘Adl (pendukung paham keadilan) dan kelompok
Kadariah.
Pihak lawan menyebut kelompok ini
dengan golongan Free Will atau Free Act karena mereka menganut prinsip bebas
berkehendak dan berbuat. Pada awalnya, aliran ini tidak mendapat sambutan umat
Islam karena orang muslim yang awam sulit menerima pemahaman Muktazilah yang
bersifat rasional dan filosofis.
Alasan lain karena dianggap Muktazilah tidak
berpegang teguh pada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.Kelompok ini medapat dukungan yang
kuat pada masa Dinasti Abasiyah di Irak, era pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (813-833 M). Kedudukan Muktazilah
semakin kokoh setelah Al-Ma’mun menyatakannya sebagai Mazhab resmi negara. Hal
ini disebabkan Khalifah Al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar dengan ilmu filsafat.
Dalam fase kejayannya, Muktazilah
sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada
kelompok lain. Pemaksaan ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah
(Inquistion). Minnah ini timbul sehubungan dengan pemahaman Khalq
Al-Qur’an. Kaum Muktazilah berpendapat bahwa Qur’an adalah Kalam Allah yang
tersusun dari suara-suara dan huruf.
Al-Qur’an adalah mahluk, dalam arti
diciptkan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia suatu yang baru, jadi btidak
Kadim. Jika Al-Qur’an dikatakan Kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada
yang Kadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik.
Khalifah Al-Ma’mun menginstruksikan
agar semua aparat pemerintahan Dinasti Abbasiyah harus berpaham Muktazilah.
Banyak Ulama yang ditangkap dan disiksa karena menolak pemahaman Muktazilah
diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Bahkan banyak ulama yang dieksekusi
mati seperti Al-Buwaiti dan Al-Khuzzai. Peristiwa ini berakhir ketika Khalifah
Al-Ma’mun dan Al-Wasiq digantikan Khalifah Al-Mutawakkil (memerintah 847-861
M).
Khalifah Al-Mutawakkil mengganti
mazhab negara dari Muktazilah menjadi aliran Asy’ariyah. Mazhab Muktazilah
berkembang pesat kembali pada masa Dinasti Buwaihi di Baghdad.
Akan tetapi akhirnya
Dinasti Buwahi berhasil dihancurkan oleh Bani Seljuk pada masa pemerintahan Alp
Arslan dan Nizam al-Mulk sebagai Perdana Menterinya. Pemahaman Muktazilah
sempat hilang ratusan tahun namun abad ke-20 M, pemahaman Muktazilah bangkit
kembali dan dipelajari diberbagai universitas di Dunia Islam.
Doktrin muktazilah dikenal dalam bentuk lima ajaran dasar yang populer dengan istilah Al-Usul al-Khamsah. Kelima ajaran ini adalah ajaran-ajaran yang disepakati oleh seluruh pengikut Muktazilah. Walaupun demikian, dalam memberikan penjelasan-penjelasan mengenai ajaran-ajaran besar itu seringkali tidak dapat perbedaan diantara sama tokoh Muktazilah memberikan peranan besar pada akal manusia.
Tauhid
Ajaran pertama muktazilah ini berarti meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah yang Maha Esa. Dia merupakan Zat yang unik, tidak ada serupa dengan-Nya. Golongan mu’tazilah menganggap Konsep Tauhid mereka paling murni sehingga mereka senang disebut sebagai Ahl at-Tauhid (Pembela Tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah, golongan muktazilah menafikan segala sifat sehingga mereka sering disebut dengan golongan Nafy as-Sifat.
Yang mereka maksudkan dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan adalah bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat yang berdiri di luar Zat-Nya, karena itui dapat membawa pada adanya yang qadim selain Tuhan. Semua yang dimaksudkan oleh golongan lain sebagai sifat-sifat Tuhan yang melekat pada Zat Tuhan, bagi golongan muktazilah disebut bukan sifat Tuhan. Tegasnya, kaum mubtazilah enggan mengakui adanya sifat Tuhan dalam pengertian sesuatu yang melekat pada Zat Tuhan.
Kalau Tuhan dikatakan mempunyai sifat Maha Mengetahui maka yang Maha Mengetahui itu bukanlah sifatnya melainkan Zat-Nya. Selain itu, Konsep Tauhid muktazilah ini membawa pada penolakan paham Antropomorfisme. Tuhan bagi mereka tidak boleh dipaksa sama dengan makhluk-Nya seperti mempunyai tangan dan muka.
Karena itu ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik (ayat-ayat Tajasum) harus ditakwilkan sedemikian rupa. Paham ini juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti.
Al-‘Adl
Al-‘Adl (paham keadilan). Paham keadilan Tuhan dalam ajaran mu’tazilah membawa pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim kepada hamba-Nya. Dari sini timbul ajaran As-Salah wa al-Aslah.
Maksudnya, Tuhan wajib berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia, diantaranya Tuhan tidak boleh memberi beban yang terlalu berat kepada manusia, Tuhan wajib mengirimkan Rasul dan nabi-nabi untuk menuntun kehidupan manusia di muka bumi dan Tuhan wajib memberi daya pada manusia agar dia dapat mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Al-Wa’d Wa al-Wa’id
Al-Wa’d wa Al-Wa’id (janji ancaman). Menurut mu’tazilah, Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga Dan menepati ancamannya mencampakkan orang kafir dan orang berdosa ke dalam neraka. Meskipun Tuhan sanggup memasukkan orang berdosa besar ke dalam surga dan menjerumuskan orang mukmin ke dalam neraka namun Tuhan mustahil melakukan itu karena bertentangan dengan keadilan-Nya.
Paham ini erat kaitannya dengan pandangan mereka bahwa manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya melalui daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya. Oleh karena itu manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Jika manusia memilih untuk beriman dan berbuat baik maka kepadanya dijanjikan pahala masuk surga sedangkan kalau mereka ingkar dan berbuat dosa, Tuhan mengancam dengan neraka.
Al-Manzilah Bain al-Manzilatain
Al-Manzilah Bain al-Manzilatain (Posisi di antara dua posisi). Paham ini merupakan ajaran dasar yang timbul di kalangan muktazilah. Paham ini timbul setelah terjadi peristiwa antara Wasil bin Atta dan Imam Hasan Al Basri. Bagi muktazilah, orang yang berdosa Dosa bukan termasuk kafir dan bukan pula Mukmin lain kan berada diantara keduanya, menempati posisi antara mukmin dan kafir yang disebut fasik.
Orang yang berdosa besar tidak dapat dikatakan Mukmin lagi karena telah menyimpang dari ajaran Islam sementara itu belum pula dapat digolongkan sebagai kafir karena masih mempercayai Allah dan Rasul-Nya.
Jika orang-orang yang mendapat predikat fasik meninggal tanpa sempat bertobat maka mereka akan dicampakkan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya hanya saja siksaan yang mereka peroleh lebih ringan dibandingkan siksaan orang kafir.
Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al Munkar
Al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al Munkar ( Perintah agar mengerjakan kebajikan dan melarang kemungkaran). Dalam prinsip muktazilah, setiap muslim wajib menegakkan perbuatan yang Ma’ruf serta menjauhi perbuatan yang mungkar.
Berpegang pada ajaran ini, kaum muktazilah dalam sejarah pernah melakukan pemaksaan ajaran kepada golongan lain yang dikenal dengan peristiwa yaitu memaksakan pendapatnya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Tuhan.
Tokoh-Tokoh Muktazilah
Aliran muktazilah melahirkan banyak pemuka dan tokoh-tokoh penting di dunia Islam. Karena pusat pengembangan Muktazilah berada di Basrah dan kemudian di Baghdad, pemuka agamanya pun terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok ulama Basra dan kelompok Baghdad.
Pertama, Wasil bin Ata merupakan ulama yang pertama kali meletakkan kerangka dasar ajaran mu’tazilah. Kedua, Abu Huzail al-Allaf merupakan ahli filsafat Islam. Dia antara lain membuat penjelasan mengenai pengertian Nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan maha mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya bukan sifat-Nya.
Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasan-Nya dan kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan bukan sifat-Nya. Penjelasan ini dimaksudkan olehnya untuk menghindari adanya yang Kodim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat berarti sifat-Nya itu qadim. Dengan demikian ada banyak yang qadim. Ini akan membawa pada kemusyrikan. Ajaran yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
Dengan pengetahuannya tentang yang baik dan buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan.
Ketiga, An-Nazzam. Pendapat yang tak penting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Dia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini dia berbeda pendapat dengan Abu Huzail al-Allaf. Selain itu ia berpendapat bahwa perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna sedangkan Tuhan jauh daripada yang demikian.
Dia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat Alquran yang menurutnya mukjizat Alquran terletak pada kandungannya bukan pada gaya bahasa dan retorikanya.
Keempat, Al-Jubba’i. Al-Jubba’i merupakan guru Imam Abu Hasan al-Asy’ari pendiri aliran Asy’ariyah. Pendapatnya yang terkenal adalah mengenai kalam Allah, sifat Allah kewajiban manusia dan daya akal. Mengenai sifat Allah ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat kalau dikatakan Tuhan berkuasa dan mengetahui berarti Tuhan berkuasa dan mengetahui melalui esensi-Nya bukan dengan sifat-Nya.
Sumber : Ensiklopedia Islam
2 Comments