Penulis: Roma Wijaya*
KULIAHALISLAM.COM – Pada perkembangan pergerakan ataupun organisasi berasaskan Islam di dunia mengalami perkembangan sangat pesat, terlihat dari berbagai macam pergerakan yang muncul mulai era klasik sampai era kontemporer. Artikel dari Barbara D. Metcalf mengambil salah satu pergerakan Islam yang sudah tersebar luas hampir di seluruh negara yaitu Jamaah Tabligh. (Metcalf, 1993)
Jamaah tabligh memulai memproklamirkan Islam sejak tahun 1920-an yang memiliki misi fundamental yakni tabligh/dakwah. Dengan berlandaskan terjemahan Alqur’an dan hadis dalam segala praktik-praktik ritual keagamaan. Bagaimana teks khususnya hadis hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sebagai pengamalan.
Konsepsi yang diberikan oleh Barbara D. Metcalf yaitu; adanya proses internalisasi teks tertulis atau yang telah didengar sampai teks tersebut diamalkan dalam kehidupan muslim. Kemudian proses pengaplikasian teks mengakami tiga tahapan. (Metcalf, 1993) Yaitu;
Pertama, semua translation/terjemahan atau ringkasan teks hadis mampu mengkontruksi sebuah framework/kerangka kerja untuk mendapatkan kuasa melakukan kritik budaya dan kesesuaian dengan generasi pilihannya. Bukan hanya terkait model beragama dalam arti sempit, tetapi menyangkut berbagai isu loyalitas dan prilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, teks merupakan produk budaya yang terikat dengan konteks budaya yang saling bersaing, dengan misi menghilangkan alternatif baik teks tertulis maupun lisan, perkumpulan, dan sebagainya.
Ketiga, semua teks dalam penerapannya memiliki kontribusi terhadap pembentukan komunitas, tergantung dengan siapa ketika kita membacanya.
Secara sederhana sebagaimana dipahami dari konsepsi living khususnya, hadis yang diungkapkan oleh Barbara Metcalf adalah teks hidup merupakan proses dimana teks saling berkaitan tidak berdiri sendiri, dengan melalui proses pemahaman bahasa/linguistik, kemudian menelisik konteks budaya teks, setelah itu akan terlihat bahwa praktik teks mampu membentuk sebuah komunitas (apa praktik yang dilakukan oleh komunitas tersebut). (O’Connor, 2001, p. 78)
Penggunaan teks yang sebenarnya mengingatkan kita pada model klasik dalam banyak hal. Faza’il, secara signifikan, bukanlah satu buku di antara sekian banyak buku yang dimiliki oleh kebanyakan peserta. Ini bukanlah sebuah gerakan yang mendorong untuk membaca secara keseluruhan.
Sejauh ini, bahkan dibandingkan dengan para pembaharu Deobandi pada akhir abad ke-19, yang merupakan pewarisnya, kaum Tabligh mendorong semacam penyempitan dan intensifikasi penggunaan teks.
Kita ingat bagaimana seorang Deobandi seperti Mauland Ashraf ‘Al Thanawi, dalam ringkasannya untuk para gadis dan perempuan yang ditulis pada pergantian abad, mengulas sebuah daftar panjang publikasi untuk memandu para pembaca melalui proliferasi judul baru .
Maulana Zakariyya merupakan tokoh penting dalam menuliskan risalah-risalah penting jamaah tabligh ditulis tahun 1928 dan 1940. Kemudian diserap dalam sebuah kurikulim bernama “tabligh nisab” (kurikulum tabligh) atau fazailil a’mal (pahala amal).
Maulana Zakariyya dikenal sebagai syakih atau ketua pengajar hadis di akademik reformis yaitu Mazahrul Ulum di Saharanpur. Karya yang dikarang oleh tokoh jamaah tabligh mencakup praktik-praktik peribadatan, seperti pelaksanaan salat, pembacaan Alqur’an, penyebutan nama Allah/zikir, berpuasa, praktik haji ke Makkah, dan amal saleh. (Metcalf, 1993, p. 585)
Maulana Zakariyya menggunakan frase Sufi di seluruh buku ini, dengan mengutip ayat-ayat Persia tertentu yang membedakan cinta duniawi yang fana dengan cinta sejati yang penuh gairah kepada Yang Ilahi.
Iqbal dan jurnalis lain pada periode ini membawa bahasa dan psikologi baru ke dalam politik Islam seperti yang dipahami oleh penutur bahasa Urdu, mengungkapkan argumen politik dalam bahasa Sufi yang menyerukan ikatan emosional kohesi band. Maulana Zakariyya mengatakan bahasa itu untuk pertunjukan lain.
Misalnya, dalam petikan panjang dari buku Keutamaan Alqur’an, ia merangkai ayat-ayat cinta, memuji keindahan sang kekasih dan kepedihan hati sang kekasih, untuk menegaskan bahwa segala sesuatu yang lain tak ada apa-apanya dibandingkan cinta kepada Alqur’an.
Maulana menuturkan sebuah ungkapan bahwa (Kandhalawi, 1990, p. 10):
Jika Anda didorong oleh hasrat untuk bangsa, jika Anda menyukai topi Turki hanya karena bagi Anda itu adalah pakaian Islami asli, jika Anda sangat tertarik dengan slogan-slogan nasionalis, jika Anda mempromosikannya dengan segala cara, jika Anda menerbitkan artikel di surat kabar. Menerbitkan dan memberikan “keputusan” di majelis [Anda harus tahu bahwa] Nabi Allah mengatakan kepada kami bahwa kami harus melakukan yang terbaik untuk menyebarkan Alqur’an. Pada titik ini, tidak ada salahnya untuk menyampaikan keluhan berikut kepada para pemimpin nasional kita: Bantuan apa yang Anda berikan untuk menyebarkan Alquran?
Dari konsepsi living yang disampaikan oleh Barbara D. Metcalf dalam artikelnya menunjukkan praktik yang dilakukan oleh jamaah tabligh yang mengacu pada teks-teks Alqur’an dan khususnya hadis.
Sebagaimana ritual-ritual yang terdapat pada buku Fadhail Amal seperti membaca Alqur’an, salat, pergi haji dan sebagainya yang telah melalui proses internalisasi. Begitupun bahasa menjadi unsur dalam sebuah pemaknaan teks yang akan dipraktikkan pada segala aktivitas yang memiliki relasi dengan nilai/teks tersebut.
Referensi
Kandhalawi, M. M. Z. (1990). Faza’il A’mal. Kutub Khana Faizi.
Metcalf, B. D. (1993). Living Hadith in the Tablighi Jama’at. The Journal of Asian Studies, 52(3), 584–608. http://www.jstor.org/stable/2058855
O’Connor, K. M. (2001). Amulets. In J. D. McAuliffe (Ed.), Encyclopaedia of the Qur’ān (pp. 77–79). Brill.
*) Roma Wijaya adalah dosen yang bekerja di Perguruan Tinggi Islam Syubbanul Wathon Magelang pada program studi Alqur’an dan Tafsir. Roma telah menulis beberapa artikel jurnal yang telah terindeks secara nasional dan tulisan di media online, serta berpartisipasi dalam beberapa konferensi internasional sebagai panelis.