Muktazilah salah satu aliran teologi Islam yang menempati posisi penting dalam sejarah intelektual Islam. Aliran ini dikenal kental nuansa doktrin teologis dan rasionalitasnya dalam memahami ajaran agama. Rasionalitas tersebut berpengaruh pada cara berpikir tentang logika, etika, serta metode memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. (Kontekstualisasi Akal Dan Wahyu: Pemikiran Tafsir Mu’tazilah Dalam Peradaban Islam, Spectrum: Journal of Islamic Studies, No.1, Vol.1, 2025)
Salah satu tokoh yang berpengaruh dari aliran ini adalah Qadi ‘Abd al-Jabbar al-Hamdzani (w.1025 M). Pemikirannya tidak hanya menjelaskan doktrin teologi muktazilah, tetapi juga membela al-Qur’an dari berbagai kritik yang muncul dari kelompok lain. Karya monumentalnya, Tanzih al-Qur’an ‘an al-Mata’in merupakan tafsir al-Qur’an yang berupaya menjernihkan ayat-ayat yang dianggap bermasalah secara bahasa maupun teologi. Artikel ini mengajak pembaca menyelami bagaimana ushul al-khomsah atau lima prinsip dasar teologi muktazilah tampak nyata dalam penafsiran Qadi ‘Abd al-Jabbar.
Biografi Singkat al-Qadi Abdul Jabbar
Nama lengkapnya adalah ‘Imad al-din Abu Hasan al-Qudah Abdul Jabbar al-Hamzani. Beliau lahir di Asadabadi, daerah pegunungan Hamazan, wilayah khurasan. Beliau lahir sekitar tahun 320 H / 932 M dan wafat pada tahun 415 H / 1025 M. Gelar al-Qadi yang melekat pada namanya merupakan julukan yang dikenal dan diberikan oleh kalangan muktazilah.
Sejak kecil, sekitar usia tujuh tahun, beliau belajar al-Qur’an di Kuttab (Lembaga Pendidikan). Kemudian mempelajari hadis kepada para ulama hadis, seperti Abu Bakar Muh}ammad bin Zakariya di Hamazan. Setelah itu, melanjutkan pendidikan ke Isfahan, lalu sekitar tahun 346 H / 957 M menuju ke Bashrah untuk mempelajari tafsir, hadis, fikih, usul fikih dan ilmu kalam.
Perpindahannya dari Isfahan ke Bashrah menjadi titik balik yang mengantarkannya dari mazhab Asy’ari menjadi Mu’tazili. Hal demikian dikarenakan di masa itu Bashrah merupakan wilayah yang cukup dominan dengan aliran muktazilah dan menjadi pusat kajian Islam terbesar. Perpindahan ini juga dikarenakan hubungan erat dengan gurunya di Bashrah seperti Abu ‘Abdillah Ali al-Basri dan ‘Ali Abu Ishaq bin ‘Ayyas. (al-Mufassirun Hayatihim wa Munhajihim, Jilid 2, Hal. 667).
Selayang Pandang Kitab Tafsir Tanzih al-Qur’an ‘an al-Mata‘in
Secara etimologi, judul kitab Tanzih al-Qur’an ‘an al-Mata‘in diartikan sebagai pembersihan Al-Qur’an dari penyimpangan-penyimpangan. Hal ini sesuai dengan latar belakang penulisannya yang bertujuan untuk membedakan dan menjelaskan serta menunjukkan kesalahan kelompok tertentu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. kelompok yang dimaksud disini adalah ahlussunnah yang dianggap oleh al-Qadi memiliki penafsiran yang tidak sesuai dengan pendekatan rasional muktazilah. (Maqashid Syar ‘Ah Prespektif Mutazilah: Tela’ah Penafsiran Al Qadi Abdul Jabbar Dalam Tanzih Al-Quran ‘An Al-Mataha’in, Minaret: Journal Of Religious Studies, No.1, Vol. 2, 2023)
Tafsir ini sesuai dengan tartib mushafi, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah al-Nas. Penafsirannya ringkas dan tidak mencakup seluruh ayat. Pola penafsiran yang digunakan ialah pemaparan masalah lalu pemberian jawaban sesuai perspektif akidah Muktazilah. Dengan demikian, tafsir ini sebagai bentuk pembelaan terhadap al-Qur’an sekaligus peneguhan ushul al-Khomsah.
Ushul al-Khamsah: Lima Pilar Rasionalisme Muktazilah
Lima pilar atau al-uṣūl al-khamsah merupakan fondasi teologis utama yang membentuk bangunan pemikiran Mu‘tazilah. Dr. Ghalib bin Ali al-Awwaji dalam Firaq Mu‘asirah Tantansibu ila al-Islam wa Bayan Mawqif al-Islam minha menjelaskan bahwa lima pilar ini yang membedakan muktazilah dengan aliran teologis lainnya. (Kitab Firaq Mu‘asirah Tantansibu ila al-Islam wa Bayan Mawqif al-Islam minha, Jilid 3, Hal. 1178).
Berikut Ushul Khomsah muktazilah; pertama, Tauhid (keesaan mutlak Allah). Aliran Muktazilah menolak segala bentuk yang menyerupakan Tuhan dengan Makhluk. Kedua, al-‘Adl menurut muktazilah Allah mustahil berbuat zalim dan manusia bebas memilih dan bertanggung jawab atas konsekuensi pilihannya. Ketiga, al-Wa’d wa al Wa’id (janji dan ancaman Tuhan), yakni Tuhan tidak mungkin mengingkari janjinya dan semua janji dan ancaman siksa harus dipenuhi.
Ke empat, al-Manzilah baina al-Manzilatain yakni pelaku dosa besar bukan mukmin sepenuhnya tetapi juga bukan kafir. Status moralnya berada diantara dua posisi. Dan yang kelima, Amar Ma’ruf nahi Munkar, yakni setiap muslim wajib menegakkan keadilan sosial dan melawan kemungkaran.
Ushul Khamsah dalam Penafsiran Qadi Abd al-jabbar
Dalam Tanzih al-Qur’an, kelima prinsip ini tampak jelas dalam beberapa penafsiran beliau:
Tauhid, penafsiran QS. al-Qiyamah [75]: 22-23
وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۚ
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. (karena) memandang Tuhannya”.
Dalam menafsirkan ayat ini Al-Qadi memulai dengan memulai pertanyaan “apakah ini dalil terkuat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat?. Kemudian memberikan jawaban dan menafsirkan ayat ini yang dimaksud adalah memandang kepada pahala dan anugerah-Nya, bukan melihat zat secara langsung atau dalam bentuk jism (fisik). Hal Ini untuk menolak konsep ru’yah Allah secara inderawi yang diyakini sebagian kelompok, demi menjaga kemurnian tauhid. (Tanzih Al-Qur’an ‘an al-Mata’in, Hal. 447)
al-Adl, Penafsiran QS. al-Kahfi [18]: 28.
……وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا…..
“Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas”.
al-Qadi menafsirkan ayat وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ menolak makna literal bahwa Allah benar-benar “melalaikan” hati seseorang, karena hal itu bertentangan dengan keadilan Tuhan. Sebaliknya, kelalaian disebut sebagai kondisi yang berasal dari manusia sendiri, sementara Allah hanya “menemukan” mereka dalam keadaan lalai dan kemudian mencela mengikuti hawa nafsu mereka. (Tanzih Al-Qur’an ‘an al-Mata’in, Hal. 623) Penafsiran ini menegaskan bahwa Allah tidak menciptakan keburukan dan manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas kelalaiannya dan sejalan dengan prinsip keadilan Tuhan dalam teologi Mu‘tazilah.
Al-Wa’d dan al- Wa’id, Penafsiran QS. al-Zalzalah [99]:7-8.
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ
“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya.”
al-Qadi dalam tafsirnya menegaskan bahwa balasan amal tergantung pada kesahihan amal terebut. Menurutnya, pahala hanya diberikan kepada ketaatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan beriman, dan bersih dari kekufuran atau kefasikan yang dapat membatalkan nilai suatu amal. (Tanzih Al-Qur’an ‘an al-Mata’in, Hal. 477) Dengan demikian, kebaikan orang kafir atau orang fasik tidak menghasilkan pahala, sebab tertutupi oleh maksiat yang lebih besar.
Manzilah baina al-Manzilatain, penafsiran Q.S al-Sajdah [32]:18.
اَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًاۗ لَا يَسْتَوٗنَ
“Apakah orang mukmin sama dengan orang fasik (kafir)? (Pastilah) mereka tidak sama”.
al-Qadi menafsirkan ayat ini bahwa Allah telah menegaskan dengan jelas perbedaan antara mukmin dan fasik sehingga keduanya tidak mungkin disamakan. Penekanan bahwa orang fasik tidak berada pada kedudukan yang sama dengan mukmin namun tetap tidak disebut kafir. (Tanzih Al-Qur’an ‘an al-Mata’in, Hal. 349) Menurut Muktazilah, pelaku dosa besar keluar dari kategori mukmin tetapi belum masuk ke dalam kategori kafir; ia berada pada posisi teologis di antara keduanya dan kelak akan mendapat balasan sesuai kadar dosanya.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar, penafsiran QS. al-Maidah [5]: 79.
كَانُوْا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُّنْكَرٍ فَعَلُوْهُۗ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ
“Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sungguh, itulah seburuk-buruk apa yang selalu mereka lakukan”.
al-Qadi menafsirkan ayat ini masih berkaitan dengan ayat sebelumya yang menegaskan kewajiban amar ma‘ruf nahi munkar sebagai prinsip akidah yang tidak boleh ditinggalkan, karena meninggalkannya menjadi sebab turunnya murka dan azab Allah sebagaimana terjadi pada Bani Israil. Selain itu, larangan berloyalitas kepada orang kafir dan fasik juga termasuk penerapan nahi munkar, sehingga prinsip ini menjadi fondasi penting bagi terjaganya masyarakat dan kebenaran seseuai aliran Mu‘tazilah. (Tanzih Al-Qur’an ‘an al-Mata’in, Hal. 146).
Melalui Tanzih al-Qur’an ‘an al-Mata‘in, Qaḍi ‘Abd al-Jabbar menunjukkan bagaimana lima pilar rasionalisme Muktazilah bekerja secara nyata dalam penafsiran al-Qur’an. Dengan demikian, tafsirnya menjadi bukti kuat bagaimana rasionalitas dan teologi Muktazilah berpadu dalam membaca serta membela kemurnian al-Qur’an.

