Baru-baru ini tengah viral ceramah seorang tokoh agama terkenal yang bernama Miftah Maulana Habiburrahman yang sering di kenal dengan sebutan Gus Miftah. Dalam video yang berdurasi sekitar 25-an detik itu Gus Miftah dengan sangat keras mengeluarkan kata “goblok “ kepada seorang penjual es teh yang sedang menjajakan dagangannya kepada para jama’ah pengajian.
Atas hal tersebut kemudian banyak memunculkan kontroversi dalam khalayak masyarakat Indonesia. Menanggapi atas kejadian tersebut kuasa hukum Gus Miftah, Herdian Saksono juga mengatakan bahwa apa yang di katakan Gus Miftah merupakan sebuah intermizo yaitu cara dakwah Gus Miftah untuk menarik para perhatian jamaah.
Lebih daripada itu Habib Zaidan Tahya yang pada saat kejadian berada di samping Gus Miftah juga memberikan pernyataan bahwa apa yang di lakukan oleh Gus Miftah merupakan sebuah spontanitas dan hal tersebut juga merupakan corak dakwah dari Gus Miftah yang memang agak ceplas-ceplos (spontan) dalam berbicara.
Menanggapi hal itu penulis sebagai netizen sedikit ingin memberikan opini dari beberapa wacana yang penulis pahami. Ada beberapa hal yang saya tidak sependapat dengan apa yang telah terjadi. Apa yang di lakukan oleh beliau merupakan sebuah kesalahan yang sangat fatal.
Penulis tidak bisa memungkiri apa yang di katakan oleh Gus Miftah merupakan sebuah spontanitas dan intermizo semata-mata untuk menarik perhatian para jamaah. Akan tetapi, yang menjadi problem mendasar dalam kejadian ini adalah tidak semua orang bisa memaknai apa yang di katakan oleh Gus Miftah dan juga tidak semua orang mampu menahan malu di katain (goblok) sedemikian rupa oleh beliau, walaupun itu dengan dalih atas nama bercanda.
Terlebih lagi pada pada saat kejadian tersebut berada dalam khalayak umum (publik). Nampaknya, Gus Miftah tidak paham akan konteks yang terjadi pada saat itu. Sedikit kurang meyakinkan apabila sekelas Gus Miftah yang tidak paham mana ruang privat dan mana ruang publik. Hehehe..
Kemudiaan jika di tarik kejadian tersebut dengan menggunakan perspektif etika dalam konsep Jslam misalnya. Tidak akan menemukan sebuah wacana khusus yang menghalalkan atau minimal memperbolehkan (mubah) kelakuan tersebut. Dalam Islam kita sudah masyhur dengan konsep “al-adabu Fauqol ilmi“ bahwa adab (tatakrama) lebih tinggi derajatnya daripada ilmu.
Lebih-lebih jika kita menggunakan perspektif sebab di utusnya nabi yang tertuang dalam hadis misalnya “innama buistu li utammima makarimal akhlak“ sesungguhnya saya di utus untuk menyempurnakan ahlak manusia.
Bahkan di katakan dalam kitab بريقة محمودية
قَالَ الْغَزَالِي النِّسَانُ إِنَّمَا خُلِقَ لَكَ لِتُكْثِرَ بِهِ ذِكْرَ اللَّهِ وَتِلَاوَةَ كِتَابِهِ وَتُرْشِدَ بِهِ الْخَلْقَ إِلَى طَرِيقِهِ أَوْ تُظهِرَ بِهِ مَا فِي ضَمِيرِكَ مِنْ حَاجَاتِ دِينِكَ وَدُنْيَاكَ فَإِذَا اسْتَعْمَلْته لِغَيْرِ مَا خُلِقَ لَهُ فَقَدْ كَفَرْت نِعْمَةَ اللَّهِ فِيهِ وَهُوَ أَغْلَبُ أَعْضَائِكَ وَلَا يَكْبُ النَّاسَ فِي النَّارِ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ فَاسْتَظْهِرْ بِغَايَةِ قُوَّتِكَ حَتَّى لَا يَكْبَكَ فِي قَعْرِ جَهَنَّمَ وَفِي الْحَدِيثِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمَ الْكَلِمَةَ لَا يَرَى بِهَا بَأْسًا لِيُضْحِكَ بِهَا الْقَوْمَ» أي: لأجل أن يُضْحِكَهُمْ وَإِنَّهُ لَيَقَعَ بِهَا أَبْعَدَ مِنَ السَّمَاءِ أَي يَقَعُ فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِنْ وُقُوعِهِ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ فَعَلَى الْعَاقِلِ ضَبْطُ جَوَارِحِهِ فَإِنَّهَا رَعَايَاهُ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى – إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَ مسئولا) [الإسراء: 36] وَإِنَّ مِنْ أَكْثَرِ الْمَعَاصِي عَدَدًا وَأَيْسَرِهَا وُقُوعًا آتَامَ اللَّسَانِ إِذْ آفَاتُهُ تَزِيدُ عَلَى عِشْرِينَ وَمِنْ ثَمَّةَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا) [الأحزب:٧٠]
(تَنْبِيهُ) أَخَذَ الشَّافِعِيُّ مِنْ هَذَا الْخَبَرِ أَنَّ اعْتِيَادَ حِكَايَاتٍ تُضْحِكْ أوْ فِعْلَ خَيَالَاتِ كَذَلِكَ رَادُّ لِلشَّهَادَةِ وَصَرَّحَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُ حَرَامٌ وَآخَرُونَ أَنَّهُ كَبِيرَةً وَخَصَّهُ بَعْضَ بِمَا يُؤْذِي الْغَيْرَ كُلَّهُ مِنْ الفيض
“Lisan itu sesungguhnya diciptakan untukmu agar kamu dapat memperbanyak dzikir kepada Allah, membaca kitab-Nya, dan memberi petunjuk kepada makhluk-Nya agar mereka dapat menemukan jalan-Nya. Atau kamu mengungkapkan apa yang ada dalam hatimu yang berkaitan dengan kebutuhan agamamu maupun duniamu. Jika kamu menggunakannya untuk selain hal tersebut, maka kamu telah mengingkari nikmat Allah yang ada pada lisan tersebut. Lisan adalah salah satu anggota tubuh yang paling mudah menyebabkan seseorang jatuh ke dalam kesesatan, dan tiada yang mengantarkan manusia ke dalam neraka kecuali hasil dari perkataan mereka. Maka, berhati-hatilah menggunakan lisanmu dengan sekuat tenaga, agar kamu tidak terjatuh ke dalam api neraka. Dan dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa seorang pria berbicara dengan satu kata yang menurutnya tidak membahayakan, hanya untuk membuat orang lain tertawa, namun kata tersebut bisa menyebabkan dirinya jatuh lebih jauh daripada jatuhnya benda dari langit ke bumi, yakni terjatuh ke dalam neraka. Oleh karena itu, orang yang bijak seharusnya menjaga semua anggota tubuhnya, karena semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya. Sebagaimana firman Allah dalam Alqur’an: ‘Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban’ (Al-Isra: 36). Dan termasuk salah satu dosa yang paling banyak dilakukan dan paling mudah jatuh ke dalamnya adalah dosa lisan, karena akibat dari perkataan yang salah dapat lebih banyak daripada 20 jenis dosa lainnya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar kita berbicara dengan perkataan yang benar dan tepat (Al-Ahzab: 70).” Penjelasan Tambahan: Imam Syafi’i mengambil pelajaran dari hadits ini, bahwa kebiasaan berbicara yang hanya untuk membuat orang tertawa atau untuk berbuat hal-hal yang tidak bermanfaat, dapat dianggap sebagai perbuatan yang haram atau setidaknya dosa besar, terutama jika perkataan tersebut menyakiti orang lain.”
Oleh karenanya sangat kurang etis menurut penulis untuk memberikan label biasa/lumrah dalam fenomena ini. Terlebih lagi, itu di lakukan oleh orang yang di kultuskan sebagai “gus” orang yang paham agama. Semoga atas kejadian ini menjadikan kita sadar akan pentingnya kesamaan derajat manusia di hadapan tuhan dan menyadarkan kita bahwa tidak sesuatu yang spesial di hadapan tuhan selain ketakwaan. Selaras dengan yang di ungkapkan oleh boy candra “segelas es teh yang dijual di antara rintih hujan demi menafkahi kelurga barangkali jauh lebih baik dibanding doa-doa yang dikirim dalam keangkuhan.”