Penulis: Raisul Amin Loamena*
KULIAHALISLAM.COM – Dalam satu abad terakhir ini, kehidupan kita di tandai dengan fenomena krisis lingkungan yang begitu mengerikan, mulai dari kepunahan massal hingga munculnya penyakit yang berskala global. Perubahan iklim telah menjadi pusat perhatian yang utama.
Hal ini di sebabkan oleh efek dunia rumah kaca, polusi plastik, hingga paparan radiasi nuklir. Catatan proxy jelas menunjukkan bahwa episode pemanasan rumah kaca, polusi plastik, paparan radiasi nuklir mengakibatkan semakin meningkatnya pemanasan air laut.
Didalam perkembangan periode peperangan yang sedang berlangsung, antara Palestina-Israil, Rusia-Ukraina, efek terhadap kehidupan begiu terlihat. Bahkan Real Climat, salahsatu jurnal ekologis Belanda mencatat bawa Emisi CO2 akibat peperangan Palestina-Israil, Rusia-Ukraina telah sangat mengganggu siklus iklim alami, sehingga dalam 100 tahun terakhir, manusia telah lebih dari membatalkan pedinginan alami selama 5000 tahun sebelumnya karena siklus presisi. Suhu global sekarang sudah begitu memprihatinkan dari kapan pun menurut sejarah peradaban manusia.
Seperti kenyataan, ungkapan Michael Stark dalam sampul bukunya. Seolah-olah mewakili keganasan penduduk bumi. Ungkapanya “selamat datang di neraka bumi bayi, engkau akan temukan perubahan iklim, bit coin, katrel, Tiongkok, demokrasi, keberagaman, disgenik, kesetaraan, peretas, HAM, Islam, liberalisme, kemakmuraan, WEB, kekacauan, kelaparan, penyakit, kekerasan, kecerdasan buatan, perang. Inilah bumi. Peperangan adalah hal yang tidak bisa dielakkan. Walau begitu, manusia tetap menganggap bahwa dia benar. Selamat datang di neraka bumi.
Ungkapan di atas tidak bisa kita salahkan, karena memang begitu kenyataannya. Ungkapan itu di eksplorasi lebih lanjut oleh Lourens JJ Meijer dalam dalam tulisannya yang berjudul ‘More Than 1000 Rivers Account For 80% of Global Riverine Plastic Emissions Into the Ocean.”
Kita sedang hidup dalam zaman Eosen, Sebagai penanda utama, Zaman eosen adalah analogi potensial untuk menggambarkan keadaan iklim saat ini maupun di masa depan. Eosen awal di tandai dengan konsentrasi pemanasan yang tinggi, (R. Van Der Plogger: 2023) yang menyebabkan terjadinya puncak pemanasan iklim secara global.
Diantara faktor yang paling menonjol efek ini di sebabkan karena menurunya keprihatinan politik dan ekonomi seputar bahan fosil dan emisi gas rumah kaca dari industri dan pertanian. Mungkin tidak akan mengherankan jika perubahan iklim mendominasi agenda perubahan global. Kita bisa mengatakan ini karena banyaknya dimensi perubahan global antropogenik yang paling krisis, kompleks dan menantang hingga hilangnya keanekaragaman hayati, (S.Naeem : 2022).
Selain dari faktor politik maupun faktor ekonomi dalam pertarungan global, tingkat kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup juga menjadi faktor yang menentukan kondisi bumi. Kesadaran menentukan apakah bumi akan bernasib baik atau buruk.
Sebagai contoh, India adalah negara yang menghadapi beban perubahan iklim yang memprihatinkan. Faktor utamanya adalah karena tidak ramah lingkungan warga negara india. Tercatat mulai dari tahun 1901 sampai 2018, rata-rata kenaikan suhu di India sudah mencapai 0,7 derajat Cecius. Dan negara tersebut mengalami peristiwa ekstrim hampir untuk setiap hari pada tahun 2022.
Menurut sebuah analisis yang dilakukan oleh organisasi non pemerintah sains dan lingkungan di New Delhi pada bulan November 2022 kemarin, hujan lebat, banjir dan tanah longsor adalah peristiwa yang sering terjadi. Selain itu, perubahan iklim dan pertambahan penduduk yang signfikan juga menjadi ancaman karena akan mengurangi stok terhadap ketersediaan air, (Pedma, 2022).
Konsidi ini mewakili seluruh negara di Dunia, karenanya salahsatu Jurnal Nature India menerbitkan salahsatu artikel pada agustus 2022 yang berjudul “Diagnsing erarth: the scienscia behind the ICC’s Upcoming Climate report.” Bukan hanya India, seluruh dunia mengalami hal yang sama, walaupun India masuk dalam kategori memprihatinkan, tulisnya.
Oleh karena itu ada satu persiapan PBB dalam menjemput bencana Pemanasan Global yang berkelanjutan yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2100. Komitmen itu muncul untuk mengekang emisi gas rumah kaca, karena menilai kemunginan besar, kesepakatan di Paris pada 2015 tentang pembatasan pemanasan global hingga 1,5-2 derajat diatas tingat pra-industri dinilai gagal.
Rasa prihatin akibat krisis lingkungan membuat seorang direktur komunikasi iklim Amerika Susan Joy Hassol menulis dalam salahsatu jurnal Scientific America dengan judul tulisan “the righ words are crucial to solving climate change.”
Artikel tersebut menggambarkan bagaimana rasa prihatinnya kepada kondisi iklim global, dirinya menulis “to inspire people, we need to tell a story not of sacrifice and deprivation but of opportunity and improvement in our lives, our health and our well-being-a story of human flourishing in a post fossil-fuel-age.”
Kira-kira terjemahan bebasnya “untuk menginspirasi orang, kita perlu menceritakan kisah, bukan tentang pengorbanan dan perampasan, tetapi tentang peluang dan kesejahteraan kita, kisah tentang manusia yang berkembang di zaman bahan bakar-pasca-fosil yang mencoba merebut kondisi alam dengan keserakahannya, sehingga menyebabkan alam kehilangan kestabilannya.” Hingga ahirnya, dampak itu juga di rasakan oleh manusia. Sungguh manusia itu adalah orang bodoh.
Ungkapan tersebut menunjukkan tentang kebodohan manusia, bahwa manusia telah hidup dengan damai, namun keserakahan selalu menghampiri sehingga menjadikan alam marah dan mengeluarkan semua amarahnya.
Perubahan iklim, pemanasan global akibat emisi rumah kaca, kekacauan akibat peperangan nuklir, semuanya di sebabkan oleh keserakahan manusia semua. Manusia bahkan menghendaki pikiran yang akan menghancurkan keberadaannya di bumi.
Perlunya Pertobatan Ekologis Manusia
Untuk menghindari keganasan alam semesta, manusia perlu melakukan pertobatan ekologis. Istilah pertobatan ekologis pertamakali di gunakan dalam greja katolik roma pada masa kepausan Yohanes Paulus II pada 17 Januari 2001 dengan mengambil firman Tuhan dalam (Kejadian 1:28, Niv 21).
“Bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar Allah dan mereka diberikan suatu informasi oleh Allah ‘ berbuahlah dan berlipat ganda, penuhi bumi dan taklukkan: kuasai ikan-ikan di laut, atas burung di udara, dan atas setiap makhluk hidup yang merayap di bumi.” Pesan ini ialah pesan spritual cosmologis bahwa seluruh rangkaian ciptaan tuhan di alam semesta untuk manusia sesuai dengan perkataan “Penuhi Bumi dan Taklukkan seluruh makhluk hidup” dalam Kejadian 1:28.
Pesan di atas juga relatif sama dengan pesan yang telah Allah turunkan dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 29 “bahwa Allah Meniptakan segala yang berada di Bumi untukmu.” Dalam beberapa literatur yang di tulis oleh Sayyid Qutub, A-Syawkani dan juga Maharati menafsirkan ayat tersebut dan bahwa mereka sepakat bumi di ciptakan untuk melengkapi kebutuhan manusia.
Kembali pada istilah pertobatan ekologis, walaupun Paus Yohanes Paulus II mencatat bahwa relasi tersebut bukanlah relasi Mutlak, melainkan hamba, dia menekankan bahwa sejauh ini “umat manusia telah mengecewakan harapan Tuhan” dengan menghancurkan daratan lembah, mencemari air dan udara serta merusak habitat bumi. Bahwa kenyataan ini jugalah yang menjadi kekhawatiran para malaikat pada saat di ciptakannya manusia untuk menjadi khalifah di Bumi dalam keyakinan islam.
Ketakutan tersebut tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 30 yang mempertanyakan apa sebabnya Tuhan menciptakan manusia yang akan menumpahkan darah dan berbuat kerusakan di bumi. Namun ada pesan tersembunyi yang ingin malaikat mencari tahu sendiri dengan ilmu pengetahuan yang di berikan oleh tuhan terhadapnya, sehingga tuhan menyatakan bukankah saya adalah mengetahui apa sekalian yang tidak kalian ketahui.
Menyambung pembahasan pertobatan ekologis, mengutip apa yang di tulis dalam buku The Ten Green Commandments of laudato si, salahsatu buku yang di tulis oleh seorang pendeta yang bernama Joshtrom Kureethadam, dirinya juga merupakan kepala kantor ekologi dan penciptaan vatikan.
Dalam tulisannya ia kemukakan “pertobatan ekologis ialah panggilan untuk kembali kepada sang pencipta,” berpaling pada tuhan dengan semangat rendah hati dan tulus, mengakui tuhan sebagai sumber segala sesuatu dan manusia merupakan sumber penghancur.
Oleh karena itu, pertobatan ekologis merupakan suatu keharusan bagi manusia untuk mengakui kesalahannya karena telah menghancurkan alam semesta dan segera bertindak untuk memperbaiki hubungan dengan tuhan melalui media alam semesta.
Melalui penilaian terhadap tulisan di atas, pertobatan ekologis itu ialah proses perubahan hati dan pikiran menuju lebih mencintai tuhan dan sesama penciptaan. Ini merupakan suatu proses dimana kita menyadari bahwa kita memiliki andil dalam penyebab dan solusi dari krisis sosial-lingkungan. Dalam proses ini kita bekerja untuk membina komunitas dan memulihkan serta merawat rumah kita bersama, yakni Bumi.
Selama beberapa dekade akhir, akibat krisis lingkungan, kepunahan massal terhadap sepsies makhluk hidup di bumi semakin berkembang. Kepunahan massal inilah yang membuat seluruh dunia merasa khawatir.
Menjawab kehawatiran akibat kepunahan massal tersebut, Pada 7 Desember 2022 di laksanakan konverensi keanekaragaman hayati bagian II di Palais des Congres Kanada di Montreal. Kesepakatan dalam hasil konverensi PBB tersebut mengambil keputusan untuk menghentikan penghilangan keanekaragaman hayati di tahun 2030 dan mengembalikanya pada tahun 2050. Diantara cara untuk menghentikan kepunahan massal spesies di Bumi adalah dengan mengekang emisi gas rumah kaca, membantu perdamaian agar peperangan tidak mestinya berlanjut sampai menyebabkan kepunahan massal.
Dalam perkembangan ini, muncul pemikiran bahwa bakti dan kasih ternyata bukan hanya di tujukkan kepada sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta. Lewat Paus Fransiskus Laudato (2015) di nyatakan bahwa Bumi dan semesta adalah ibu yang akan menyediakan segala yang di butuhkan oleh manusia. Tanaman, hewan dan makhluk hidup dan makhluk mati yang ada di alam semesta adalah saudara dan saudari bagi umat manusia.
Secepat mungkin, pertobatan ekologis harus di segerakan. Pertobatan ekologis di mulai oleh diri sendiri dengan menyadari bahwa kerusakan alam semesta sesungguhnya adalah karena ulah tangan manusia.
Mengutip pernyataan Sebuah peribahasa kuno Tiongkok (Qiānlǐ zhī xíng, shǐ yú zúxià) yang secara harfiah berarti perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah. Ungkapan ini memberitahu kita betapa pentingnya langkah pertama dalam melakukan hal apapun. Langkah pertama ini merupakan keharusan terhadap diri sendiri.
Pertobatan ekologis harus dimulai dari kesadaran bahwa “ kita memiliki dimensi kontemplatif dengan alam semesta,” menghancurkan alam semesta adalah mengakhiri kehidupan di dunia, bukan hanya tumbuh-tumbuhan, melainkan juga manusia dan hewan.
*) Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Bima. Pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan komisariat IMM Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Bima. Pegiat Ilmu Hukum dan Filsafat.
Editor: Adis Setiawan