(sumber gambar: Fitratul Akbar) |
Oleh: Fitratul Akbar*
KULIAHALISLAM.COM – Pemerintah baik pusat
maupun daerah terlihat gagap menghadapi wabah korona. Pemerintah bukan hanya
kesulitan dalam penggalangan fasilitas kesehatan untuk merawat korban virus
korona, tetapi juga dalam menyantuni sangat banyak warga terdampak. Bantuan
sembako dan uang dari pemerintah tidak mudah disalurkan karena komplikasi dan
kekusutan birokrasi di pusat dan daerah. Ada juga pejabat pemerintah di pusat
dan daerah yang berusaha mendapat keuntungan politis dan pencitraan dari bantuan
dana negara—bukan duit pribadi.
Jutaan warga terdampak
dan nestapa beruntung mendapat bantuan sembako dan dana dari berbagai pihak
non-pemerintah, tegasnya masyarakat sipil (civil
society). Masyarakat sipil yang juga disebut ‘masyarakat madani’ atau
‘masyarakat kewargaan’ dengan cepat memberikan bantuan kepada rumah sakit milik
pemerintah dan swasta yang kekurangan alat-alat medis untuk menangani mereka
yang terjangkiti korona. Civil society
juga sangat giat menyantuni mereka yang terdampak. Mereka tidak terbelenggu
administrasi dan birokrasi; mereka relatif bebas dari negara dan menjadi
‘jembatan’ di antara masyarakat dan negara. Masyarakat sipil Indonesia terkenal
dinamis dan hidup (vibrant).
Masyarakat madani di
negeri ini memainkan peran penting, baik di masa damai maupun susah. Berkat
masyarakat sipil yang kuat dan hidup, Indonesia dapat menjalani transisi dari
kekuasaan otoritarian ke demokrasi secara damai pada 1998-1999. Dalam masa susah
di tengah wabah korona kembali masyarakat madani menunjukkan peran pentingnya.
Mereka terwakili dalam individu dan kelompok warga yang banyak terlibat dalam
asosiasi dan organisasi yang eksis sejak dari tingkat RT/RW sampai lingkungan
lebih luas. Banyak masyarakat sipil Indonesia berbasis agama, khususnya Islam.
Karena itu, dewasa ini
banyak muncul gerakan kedermawanan berbasis komunitas atau biasa yang disebut
dengan Islamic-based civil society. Mereka terdiri dari ormas Islam, yayasan
atau kepenyantunan sosial atau lembaga advokasi filantropi (BAZ atau LAZ). Di
tengah wabah korona yang menyebar ke berbagai pelosok tanah air, Indonesia
beruntung memiliki tradisi gotong royong yang lama dan kuat. Dalam tradisi ini
para warga—atas dasar ajaran Islam yang dianut mayoritas penduduk—memberi dan
berbagi (giving and sharing) sembako,
dana, waktu dan tenaga untuk orang atau kelompok warga yang kesulitan dan
membutuhkan bantuan.
Seperti contohnya,
Indorelawan berkolaborasi bersama puluhan komunitas di 46 titik wilayah
Indonesia untuk mendistribusikan bantuan sembako untuk pekerja informal. Ada
juga perkumpulan ibu yang tergabung dalam Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
(PKK) dan Pengelola Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Jakarta Utara
yang membuka donasi dan mendistribusikan paket sembako ke warga sekitar yang
membutuhkan.
Selain itu, sejumlah
komunitas di Kota Solo, yang diinisiasi oleh komunitas Joli Jolan, yang setiap
Sabtu siang membagikan masker, makanan, dan sabun cair gratis kepada warga
sekitar. Tidak hanya itu, mereka juga membagikan paket gizi peningkat daya
tahan tubuh, yang terdiri dari nasi, sayur, ayam, buah, dan susu, pada sore
hingga malam hari. Juga, ada juga gerakan besar bernama Gerakan Memakai Masker
Gratis (GEMAS) (@gemas.official) dan Masker Kain Untuk Semua
(@maskerkainuntuksemua) yang mengajak berbagai kalangan, mulai dari public
figure hingga organisasi, untuk ikut bergerak bersama.
Kenyataan ini tidak luput
dari perhatian pengamat asing. Misalnya Shane Preuss dalam artikelnya ‘Indonesia and COVID-19: What the World is
Missing’ (The Diplomat, April 24, 2020) menyatakan, ketika pemerintah
Indonesia terseok (stumbled),
masyarakat sipil bangkit menyelamatkan. Preuss mengritik pemerintah dan
pengamat asing yang cenderung meremehkan Indonesia dengan hanya melihat kinerja
pemerintah yang gagap dan lelet. Dalam keadaan susah, Indonesia bisa memiliki
ketahanan bertahan berkat masyarakat sipil.
Untuk pertama kalinya,
Indonesia melesat menempati posisi puncak Charities
Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018 dengan skor 59 persen.
Indonesia naik satu peringkat menduduki posisi teratas. Pada tahun 2017,
Indonesia berada di posisi kedua CAF
World Giving Index. Berdasarkan buku laporan CAF World Giving Index 2018,
A Global View of Giving Trends, yang dipublikasikan pada Oktober 2018, skor
Indonesia untuk membantu orang lain sebesar 46 persen, berdonasi materi 78
persen, dan melakukan kegiatan sukarelawan 53 persen. “Laporan tahun 2018
sangat menggembirakan bahwa jutaan orang membantu orang lain dan menyumbangkan
waktu mereka menjadi sukarelawan. Beberapa negara memang menunjukkan, penurunan
tajam dalam tingkat pemberian donasi. Kita harus melihat dengan cermat untuk
menganalisis alasan yang mungkin terjadi,” tulis Direktur Eksekutif
Charities Aid Foundation, John Low dalam kata pengantar pada laporan tersebut.
Pencapaian Indonesia di
peringkat pertama menggeser posisi Myanmar. Pada CAF World Giving Index 2018, Myanmar turun ke peringkat 9, setelah
sebelumnya memegang posisi teratas sejak tahun 2014. Skor Myanmar menurun sejak
tahun 2017. Donasi sumbangan uang turun dari 91 persen menjadi 88 persen,
membantu orang lain turun dari 53 persen menjadi 40 persen serta melakukan
kegiatan sukarelawan turun dengan jumlah terbesar dari 51 persen menjadi 34
persen. Nilai membantu orang asing dan menjadi sukarelawan adalah yang terendah
dicatat bagi Myanmar oleh CAF World
Giving Index. Setelah krisis Rohingya mencapai puncak sepanjang 2017, sulit
menyimpulkan, masalah negara telah berkontribusi pada masyarakat Myanmar kurang
mau atau kurang mampu berdonasi dan membantu sesama.
Ada juga negara-negara
yang baru masuk menjadi peringkat 20 besar CAF
World Giving Index 2018. Posisi kedua dan ketiga dalam CAF World Giving Index 2018 diikuti Australia dan Selandia Baru.
Amerika Serikat menduduki peringkat keempat. AS naik satu peringkat sejak tahun
2016. Dua negara lain yang melakukan debut dan masuk 20 besar CAF World Giving Index 2018 adalah
Singapura (peringkat ketujuh) dan Haiti (peringkat ke 14). Singapura yang masuk
peringkat didorong oleh peningkatan sukarelawan dan membantu orang lain.
Kita tahu bahwa pandemi
ini tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan tetapi juga sektor ekonomi.
Masyarakat yang bekerja di sektor informal pada khususnya merasakan dampak
langsung dengan penurunan penghasilan harian. Solidaritas masyarakat pun
tergerak untuk membantu para pekerja sektor informal ini seperti pedagang kaki
lima, buruh harian, atau bahkan tunawisma. Mereka yang bergerak untuk membantu
pekerja sektor informal, mengajak masyarakat untuk terlibat dengan berdonasi.
Dengan demikian, kita
pernah melihat di linimasa media sosial beragam penggalangan dana yang
diinisiasi oleh individu, komunitas maupun perusahaan. Donasi yang terkumpul
kemudian digunakan untuk penyediaan sembako seperti beras, minyak, gula pasir,
telor, dan lain-lain dengan tujuan dapat membantu memenuhi kebutuhan rumah
tangga para penerima manfaat. Nah, agar gerakan pembagian sembakonya semakin
berdampak, kamu juga bisa membeli bahan-bahan sembako dari pedagang toko
kelontong, dengan ini kamu juga membantu roda perekonomian lokal untuk berputar
kembali.
*)Penulis Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah,
Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang. Redaktur Pelaksana
Kuliah Al-Islam.