1250, antara Tentara Salib yang dipimpin oleh Louis IX, Raja Perancis, dan
pasukan Ayyubiyah pimpinan Emir Fakhr-ad-Din Yusuf, Faris ad-Din Aktai dan
Baibars al-Bunduqdari. Pada pertengahan abad ke-13, Tentara Salib merasa yakin
bahwa Mesir sebagai jantung pasukan dan gudang senjata Islam, merupakan
hambatan bagi ambisi mereka untuk merebut Yerusalem, dimana sebelumnya telah
lepas dari genggaman mereka untuk kedua kalinya pada tahun 1244. Pada tahun
1245, selama Konsili Lyon Pertama, Paus Innosensius IV memberikan dukungan
penuhnya bagi Perang Salib Ketujuh yang sedang dipersiapkan oleh Louis IX, Raja
Perancis.
Tujuan Perang Salib Ketujuh adalah untuk menghancurkan
Dinasti Ayyubiyah di Mesir dan Suriah, dan merebut kembali Yerusalem. Untuk
memuluskan rencana, Tentara Salib meminta Mongol untuk menjadi sekutu mereka
melawan kaum Muslim, dimana strategi tentara Salib menyerang dunia Islam dari
barat, dan pasukan Mongol menyerang dari sisi timur. Güyük yang kala itu
menjadi Khan Agung Mongol, mengatakan kepada utusan Paus bahwa Paus dan
raja-raja Eropa harus tunduk kepada Kekaisaran Mongol, bila hendak menjalin
aliansi. Aliansi ini sebelumnya merupakan sesuatu yang masuk akal: mengingat Mongol
cenderung bersimpati kepada Kekristenan karena keberadaan orang-orang Kristen
Nestorian di istana Mongol. Sementara Bangsa Franka (bangsa Eropa Barat dan
mereka yang berada di negara-negara Tentara Salib di Syam juga terbuka terhadap
gagasan untuk memperoleh bantuan dari Timur, yang salah satunya disebabkan oleh
legenda Presbiter Yohanes, raja Timur yang diyakini akan datang untuk membantu
Tentara Salib di Tanah Suci.Muslim juga merupakan musuh bersama Franka dan
Mongol. Namun, walaupun telah bertukar pesan, hadiah, dan duta selama beberapa
dasawarsa, aliansi ini tidak pernah terwujud.
Bayang-bayang kemenangan tentara salib membuat euphoria berlebih
dikalangan tentara musuh, Namun Mesir waktu itu mempunyai para ulama besar yang
memiliki keikhlasan untuk berjihad di jalan Allah. Mereka antara lain, Syeikh
Al Islam Izuddin bin Abdissalam, Majduddin Al Qausyairi, Muhyiddin bin Suraqah,
Majuddin Al Akhmimi, Abu Hasan As Syadzili serta para ulama lainnya. Para ulama
itu melakukan tugas yang juga tidak jauh dari mara bahaya, dimana mereka datang
dari berbagai wilayah di Mesir untuk bergabung bersama mujahidin di Al
Manshurah. Syeikh sufi Abu Hasan As Syadzili, meski usianya sudah udzur dan
dalam kondisi buta, ia merupakan ulama yang datang pertama kali ke Al
Manshurah.
Mereka itulah para ulama sufi atau sufi ulama yang bergabung
di tenda-tenda pasukan untuk membimbing dan memberikan motivasi kepada mereka,
memberi kabar gembira dengan kemenangan atau kesyahidan. Sedang di malam
harinya, para ulama berkumpul dalam satu tenda bermunajat kepada Allah dengan
shalat dan doa-doa mereka untuk memperoleh kemenangan.
Kapal-kapal Perang Salib Ketujuh, dipimpin oleh
saudara-saudara Raja Louis, Charles d’Anjou dan Robert d’Artois, berlayar dari
Aigues-Mortes dan Marseille menuju Siprus selama musim gugur 1248, dan kemudian
ke Mesir. Kapal-kapal memasuki perairan Mesir dan pasukan Perang Salib Ketujuh
mendarat di Damietta pada Juni 1249. Louis IX mengirim sepucuk surat kepada
as-Salih Ayyub.Emir Fakhr ad-Din Yusuf,
komandan garnisun Ayyubiyah di Damietta, mundur ke kamp Sultan di Ashmum-Tanah,menyebabkan
kepanikan besar di kalangan penduduk Damietta, yang melarikan diri dari kota,
meninggalkan jembatan yang menghubungkan tepi barat Sungai Nil dengan Damietta
tetap utuh. Jatuhnya Damietta menyebabkan keadaan darurat umum (disebut
al-Nafir al-Am النفير العام) diumumkan, dan penduduk setempat dari Kairo dan
dari seluruh Mesir pindah ke zona pertempuran. Selama berminggu-minggu, kaum
Muslim menggunakan taktik gerilya melawan kamp-kamp Tentara Salib; banyak
Tentara Salib ditangkap dan dikirim ke Kairo. Ketika pasukan Tentara Salib
diperkuat dengan kedatangan Alphonse de Poitiers, saudara ketiga Raja Louis IX,
di Damietta, Tentara Salib disemangati oleh berita kematian sang Sultan
Ayyubiyah, Salahudiin Al Ayubi. Tentara Salib memulai pawai mereka menuju
Kairo. Shajar al-Durr, istri dari sultan salahuddin, menyembunyikan berita
kekalahan tersebut selama beberapa waktu dan mengirim Faris ad-Din Aktai ke
Hasankeyf untuk memerintahkan Turanshah untuk segera pulang. Pada akhirnya sang
putra legenda jihad salahuddin al ayubi naik takhta dan memimpin pasukan Mesir
di pertempuran selanjutnya, Fariskur; dimana akhirnya tentara salib mengalami
kekalahan telak dengan penawanan raja mereka Louis IX.
Referensi:
1)
Salim, Sholah.” Risalah Al Qusyairiyah dan
Serangan Pasukan Salib ke Mesir”, 08 Agustus 2016 ,Hidayatullah.com diakses
pada 08 Februari 2023.
2)
https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Al_Mansurah