Khilafah HTI (Sumber gambar : Tangkapan layar kanal YouTube CNN Indonesia) |
KULIAHALISLAM.COM – Gus Dur menegaskan bahwa jika Islam
diubah menjadi ideologi politik, ia akan menjadi sempit karena dibingkai dengan
batasan ideologis dan platform politik.
Pemahaman apapun yang berbeda apalagi
bertentangan dengan pemahaman mereka, dengan mudah akan dituduh bertentangan
dengan Islam itu sendiri, karena watak dasar tafsir ideologi memang bersifat
menguasai dan menyeragamkan.
Dalam bingkai inilah, aksi-aksi pengkafiran maupun
pemurtadan sering dan mudah dituduhkan terhadap orang atau pihak lain.
Perubahan ini dengan jelas mereduksi, mengamputasi, dan mengebiri pesan-pesan
luhur Islam dari agama yang penuh dengan kasih sayang dan toleran menjadi
seperangkat batasan ideologis yang sempit dan kaku.
Kelemahan pokok para penganut
formalisasi syariat dalam bentuk negara adalah, mereka tidak mempertimbangkan
kenyataan bahwa Islam adalah sebuah agama yang multiinterpretatif, membuka
kemungkinan kepada banyak penafsiran mengenainya.
Meskipun pada tingkat yang
paling umum hanya ada satu Islam, bentuk dan ekspresinya beragam, dari satu
individu Muslim ke individu Muslim lainnya.
Karena itu, bisa dipahami jika
model teoritis di atas tidak bisa menjelaskan kenyataan bahwa banyak santri
yang tidak saja bergabung dengan pengelompokan-pengelompokan politik non-Islam,
melainkan juga menolak agenda-agenda politik rekan-rekan mereka sesama Muslim
yang bergabung dengan partai-partai Islam.
Gagasan-gagasan formalisasi Islam dalam
kehidupan bernegara, dalam banyak konteks sebenarnya bersifat utopis, karena
tidak saja karena pendekatan mono-religius tidak sejalan dengan karakter
politik bangsa Indonesia, tetapi juga karena sejumlah gagasan itu miskin
kontekstualisasi dan sama sekali tidak mempertimbangkan faktor-faktor
sosiologis masyarakat Indonesia.
Sehingga lebih nampak sebagai utopia dari pada
visi yang realistis. Fenomena kegagalan Islam Politik,
tampaknya, bukan kekhasan Indonesia. Penggulingan Presiden Mesir Mohammad
Mursi, tokoh Ikhawanul Muslimin, pada 1 Juli 2013 menjadi contoh menarik.
Selama
1 tahun berkuasa, pemerintahannya terjebak pada nalar syariatik, yakni
mengganti Konstitusi lama dengan Konstitusi Syariah. Padahal, bukan Syariah
yang menjadi jawaban krisis multidimensional pasca penggulingan Presiden Hosni
Mobarak dua tahun lalu.
Kebijakan-kebijakan Morsi yang syariatik dijawab
oleh ketidakpuasan rakyat dengan kudeta militer. Disamping itu, masih cukup dominan
kalangan Muslim berpandangan bahwa, Islam tidak mengemukakan suatu pola baku
tentang teori negara yang harus dijalan oleh ummah.
Islam sebagai agama tidak
menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim, karena logika
tentang kecocokan agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar
soal-soal yang selalu akan berubah oleh kekuatan evolusi, harus diserahkan
kepada akal manusia untuk memikirkannya, dibentuk menurut kepentingan umum dan
dalam kerangka prinsip-prinsip umum yang telah digariskan agama ini.
Syahdan, menurut aliran pemikiran ini,
bahkan istilah negara pun tidak dapat ditemukan dalam al-Quran. Meskipun
terdapat berbagai ungkapan dalam al-Quran yang merujuk atau seolah-olah merujuk
kepada kekuasaan politik dan otoritas, ungkapan-ungkapan ini tidak ada
pengaruhnya bagi teori politik.
Bagi mereka jelas bahwa al-Quran bukanlah buku
tentang ilmu politik. Yang ada adalah bahwa al-Quran
mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etisis, mengenai
aktivitas sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup
prinsip-prinsip tentang keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan.
Untuk
itu, kalangan yang berpendapat demikian, sepanjang negara berpegang pada
prinsip-prinsip seperti itu, maka mekanisme yang diterapkannya sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam.
Dengan argumentasi semacam ini,
pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertian formal dan ideologis tidaklah
sungguh-sungguh penting. Yang terpenting adalah bahwa negara menjamin tumbuhnya
nilai-nilai dasar seperti itu.
Jika demikian, maka tidak ada alasan teologis
atau religious untuk menolak gagasan-gagasan politik mengenai kedaulatan
rakyat, negara-bangsa sebagau unit wilayah yang sah, dan prinsip-prinsip umum
teori politik modern lainnya. Dengan kata lain, sesungguhnya tidak ada landasan
yang kuat untuk meletakkan Islam dalam posisi yang bertentangan dengan sistem
politik modern.
Sebagaimana kalangan penggusung
formalisasi syariat lainnya, pada dasarnya muncul karena melihat kegagalan umat
Islam. Tepatnya pada pertengahan abad ke-19, umat Islam diliputi oleh rasa
rendah diri atau, karena kondisi ini mereka berusaha untuk mengadakan
konpensasi atau melarikan diri dengan bermacam-macam cara.
Diantaranya adalah
dengan mengingat kejayaan-kejayaan Islam dan peninggalan nenek moyang, yang
kemudian melahirkan apa yang disebut dengan adab al-fakhir wa al-tamjid
(sastra kebanggaan dan kejayaan).
Akibatnya berdampak dan sangat
berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat Islam yang sangat besar dalam
menafsirkan al-Quran. Ada juga pandangan karena ketidakberdayaan menghadapi
arus panas itu.
Golongan formalisasi syariat ini mencari dalil-dalil agama
untuk menghibur diri dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Jika
sekadar menghibur, barangkali tidak akan menimbulkan banyak masalah.
Tetapi
sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui
berbagai cara. Maka benturan dengan golongan Muslim yang tidak setuju dengan
cara-cara mereka tidak dapat dihindari.
Apa yang menjadi landasan Hibut Tahrir
menegakkan khilafah pun dalam konteks ini masih debatebel, karena biar
bagaimanapun konsepsi yang dibangun Hizbut Tahrir lahir dari ijtihad pendirinya
terhadap nash al-Quran.
Dibanding dengan ormas yang telah lama berdiri
di Indonesia, Hizbut Tahrir belum memberikan kontribusi yang berarti bagi
bangsa, bahkan justru gagal mentransformasikan nalar syariatik dalam
sistem dan institusi politik yang lebih baik, karena masih terjebak pada
konsepsi fikih abad pertengahan Islam.
Ini memperkuat argumentasi bahwa menjadi
formalisasi syariat tidak sepenuh menjadi solusi. Meski begitu, harus diakui juga bahwa
memang demokrasi di Indonesia belum berjalan sebagaimana mestinya.
Hadirnya
kalangan fundamentalis, disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita
kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang
merata bagi seluruh rakyat. Korupsi yang masih menggurita adalah bukti nyata
dari kegagalan itu. Semua orang mengakui kenyataan pahit ini.
Namun, karena pengetahuan golongan
fundamentalis ini sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang
tidak sederhana, maka mereka mengambil jalan pintas bagi tegaknya keadilan,
dalam hal ini melaksanakan syari’at Islam melalui kekuasaan.
Jika secara
nasional belum mungkin, maka diupayakan melalui Peraturan Daerah. Dibayangkan
dengan pelaksanaan syari’ah ini, Tuhan akan meridhoi Indonesia.
Sebenarnya
ekspresi-ekspresi seperti itu di dorong oleh niat yang tulus, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa semuanya itu kurang dipikirkan secara matang dan pada
kenyataannya lebih bersifat apologetik.
Anehnya, semua kelompok fundamentalis
ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga negara yang demokratis untuk
menyalurkan cita-cita politiknya.
Fakta ini dengan sendirinya membeberkan satu
hal; bagi mereka bentrokan antara teori dan praktik tidak menjadi persoalan.
Dalam ungkapan lain, yang terbaca disini adalah ketidakjujuran dalam berpolitik
secara teori demokrasi diharamkan, dalam praktik digunakan, demi tercapainya
tujuan.
Masalah Indonesia, bangsa muslim
terbesar di muka bumi, tidak mungkin dipecah oleh otak-otak sederhana yang
memilih jalan pintas. Kadang-kadang dalam bentuk kekerasan.
Penulis sadar bahwa
demokrasi yang sedang dijalankan sekarang ini di Indonesia sama sekali belum
sehat, dan jika tidak cepat dibenahi, bisa menjadi sumber malapetaka buat
sementara. Tetapi untuk jangka panjang, tidak ada pilihan lain, kecuali melalui
sistem demokrasi yang sehat dan kuat, Islam moderat dan inklusif akan tetap
membimbing Indonesia untuk mencapai tujuan kemerdekaan.