Opini

Kezaliman di Era Kontemporer dalam Konteks Keindonesiaan: Sebuah Tinjauan Ma’na Cum Maghza

5 Mins read

Kezaliman dapat didefinisikan sebagai tindakan atau perilaku yang menyimpang secara fundamental dari prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran universal, yang berdampak pada timbulnya penderitaan, ketidaknyamanan, atau kerugian, baik secara fisik, psikis, maupun sosial terhadap individu maupun kelompok dalam masyarakat.

Dalam perspektif etika Islam, istilah ẓulm (kedholiman) tidak hanya dipahami sebagai kejahatan sosial dalam hubungan antarmanusia, tetapi juga mengandung dimensi pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan yang memiliki nilai transenden, karena secara langsung bertentangan dengan kehendak Ilahi dan prinsip tauhid yang menegaskan keadilan sebagai landasan utama hubungan manusia dengan sesama dan dengan Tuhan.

Lebih dari sekadar perilaku tidak adil dalam ruang interpersonal, kedholiman juga meliputi tindakan kolektif dan struktural yang menyebabkan terampasnya hak-hak dasar manusia, seperti hak atas keadilan hukum, hak atas kehidupan yang layak, serta hak atas pengakuan dan perlindungan sebagai warga negara.

Dalam konteks kebangsaan Indonesia, praktik-praktik kedholiman yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan baik dalam bentuk ketimpangan sosial-ekonomi, diskriminasi sistemik, maupun penyalahgunaan kekuasaan merupakan tantangan serius bagi terwujudnya keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh ideologi Pancasila, khususnya sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” dan konstitusi negara sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan demikian, kedholiman tidak hanya menjadi permasalahan moral atau spiritual semata, melainkan juga merupakan hambatan struktural dalam mencapai tatanan masyarakat yang berkeadaban, egaliter, dan berorientasi pada penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia secara menyeluruh.

Upaya memberantas kedholiman, oleh karena itu, harus dilakukan melalui pendekatan multidisipliner yang menyatukan nilai-nilai keislaman, prinsip-prinsip konstitusional, serta partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dalam memperjuangkan keadilan substantif di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kezaliman dalam Perspektif Normatif dan Konstitusional

Dalam kerangka normatif dan konstitusional, bangsa Indonesia secara eksplisit menegaskan komitmennya terhadap nilai-nilai keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Komitmen ini tercermin secara tegas dalam sila kelima Pancasila, yaitu “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” serta dalam ketentuan-ketentuan konstitusional yang termaktub dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal-pasal tersebut mengatur hak-hak dasar warga negara, seperti hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, persamaan kedudukan di hadapan hukum, jaminan sosial, serta perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan. Prinsip-prinsip tersebut secara ideal membentuk fondasi normatif yang kokoh bagi terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban.

Baca...  Internalisasi Nilai Nasionalis-Religius Pangeran Diponegoro dalam Menangkal Intoleransi di Indonesia

Namun demikian, dalam praktiknya, pelaksanaan nilai-nilai tersebut sering kali menemui hambatan serius dalam realitas sosial-politik dan hukum yang dihadapi bangsa ini. Ketimpangan antara norma konstitusional dengan kenyataan empiris menunjukkan bahwa kedholiman—dalam bentuk ketidakadilan struktural, penyalahgunaan kekuasaan, dan marginalisasi kelompok tertentu—masih terjadi secara meluas.

Kondisi ini mengindikasikan adanya disonansi antara idealisme konstitusional dengan implementasi kebijakan yang seharusnya menjamin hak-hak seluruh warga negara secara adil dan merata. Dengan kata lain, terdapat jurang yang menganga antara nilai ideal yang diusung oleh negara dan pelaksanaannya di tingkat operasional dalam sistem pemerintahan, hukum, dan pelayanan publik.

Dalam perspektif teologis Islam, kedholiman merupakan tindakan yang tidak hanya mencederai prinsip keadilan manusiawi, tetapi juga menyalahi hukum ilahiah. Al-Qur’an secara tegas mengutuk segala bentuk kedholiman. Sebagaimana firman Allah Swt:

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka…” (QS. Hud: 113).

Ayat dalam Surah Hūd ayat 113 mengandung makna yang sangat mendalam dan bersifat peringatan tegas, tidak hanya bagi individu yang secara langsung melakukan tindakan kedholiman, tetapi juga bagi mereka yang bersikap permisif, acuh, atau bahkan secara implisit memberikan dukungan terhadap eksistensi sistem serta struktur sosial yang memungkinkan praktik ketidakadilan untuk terus berlangsung.

Peringatan ini mencakup seluruh bentuk keterlibatan, baik yang bersifat aktif maupun pasif, langsung maupun tidak langsung, dalam menopang atau membiarkan berlangsungnya praktik kezaliman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam realitas sosial-politik kontemporer, makna ayat tersebut menjadi sangat relevan mengingat bahwa bentuk-bentuk kedholiman tidak lagi hanya bersifat individual atau kasat mata, melainkan telah melembaga dalam kerangka sistemik yang kompleks dan sering kali tersembunyi.

Struktur yang bersifat institusional baik dalam bentuk regulasi, kebijakan publik, maupun praktik birokrasi sering kali secara tidak sadar turut diperkuat oleh partisipasi warga negara yang tidak kritis, baik karena ketidaktahuan, ketidakpedulian, maupun karena adanya keterpaksaan dalam struktur yang hegemonik.

Dalam konteks ini, masyarakat sebagai entitas kolektif dapat secara tidak langsung menjadi bagian dari mekanisme yang mempertahankan status quo ketidakadilan, tanpa menyadari bahwa mereka turut berkontribusi dalam memperkuat sistem yang zalim.

Oleh karena itu, pesan utama dalam ayat tersebut tidak sebatas pada larangan eksplisit terhadap perilaku zalim, melainkan juga merupakan seruan normatif dan etis bagi umat manusia untuk menjauhkan diri dari keterlibatan—baik secara ideologis, struktural, maupun kultural—dalam sistem yang menyuburkan atau membiarkan kedholiman terjadi.

Baca...  Kenaikan Pajak PPN 12% Membuat Warga Resah

Seruan ini bersifat menyeluruh dan multilevel, mencakup baik dimensi mikro seperti perilaku individual dan relasi interpersonal, maupun dimensi makro seperti kebijakan negara, sistem hukum, dan konfigurasi ekonomi-politik yang bersifat eksploitatif atau diskriminatif.

Dengan demikian, pemahaman terhadap fenomena kedholiman harus ditransformasikan dari sekadar fokus pada aspek perilaku individu menjadi analisis yang lebih menyeluruh terhadap bagaimana struktur sosial, politik, dan hukum turut mereproduksi ketidakadilan.

Pendekatan semacam ini diperlukan untuk merumuskan strategi pemberantasan kedholiman yang tidak hanya bersifat reaktif terhadap gejala permukaan, tetapi juga transformatif terhadap akar masalahnya.

Strategi ini harus berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan substantif yang terkandung dalam ajaran Islam, serta nilai-nilai konstitusional yang menjadi dasar negara Indonesia, agar dapat menciptakan tatanan masyarakat yang lebih adil, setara, dan berkeadaban.

Manifestasi Kezaliman dalam Kehidupan Sosial Indonesia

Kedholiman masa kini tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik atau penindasan yang eksplisit. Ia kerap tampil dalam bentuk struktural dan sistemik. Di Indonesia, berbagai bentuk kedholiman tampak nyata dalam:

Ketimpangan Sosial dan Ekonomi: Berdasarkan data BPS (2023), indeks gini Indonesia masih berada pada kisaran 0,39 yang menunjukkan ketimpangan distribusi kekayaan yang signifikan.

Penyalahgunaan Kekuasaan: Praktik korupsi dan nepotisme yang merusak tatanan birokrasi dan menghambat pelayanan publik.

Diskriminasi Minoritas: Berbagai kelompok rentan, seperti masyarakat adat, minoritas agama, dan difabel, masih menghadapi perlakuan tidak adil.

Ketidakadilan Hukum: Fenomena “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas” masih menjadi kritik utama dalam sistem peradilan di Indonesia.

Dalam sudut pandang ma’na cum maghza, semua bentuk tersebut merupakan manifestasi dari dholim yang tidak hanya merusak relasi antarwarga negara, tetapi juga mencederai keutuhan moral bangsa.

Krisis Nilai dan Kehancuran Kohesi Sosial

Maraknya hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi politik di media sosial menjadi indikasi melemahnya kontrol sosial dan rapuhnya etika publik. Hal ini berkontribusi pada krisis kepercayaan terhadap institusi, sekaligus memperkuat struktur kedholiman yang sulit dilawan secara individual.

Di sinilah makna kedholiman harus dilihat secara mendalam: bukan hanya sebagai tindakan perorangan, tetapi sebagai sistem yang menyuburkan ketimpangan dan ketidakberdayaan. Dalam perspektif Islam, keadilan bukan sekadar nilai hukum, melainkan prinsip dasar dalam menjaga maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan syariat), seperti perlindungan terhadap jiwa, akal, harta, agama, dan keturunan.

Baca...  Urgensi Penerapan Pola Hidup Sehat Dikalangan Gen Z

Urgensi Kesadaran Kritis dan Perlawanan Kolektif

Pendekatan ma’na cum maghza mendorong masyarakat untuk tidak hanya memahami fenomena kedholiman secara tekstual, tetapi juga menangkap makna sosialnya dan membangun kesadaran kritis. Melawan kedholiman bukan semata-mata aksi politik, tetapi bagian dari tanggung jawab keimanan dan kemanusiaan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW:

“Tolonglah saudaramu yang dholim maupun yang terdholimi…” (HR. Bukhari).

Makna maghza dari hadis ini mengajarkan bahwa menolong pelaku kedholiman adalah dengan mencegah atau menghentikan kedholimannya.

Menafsirkan Kezaliman sebagai Ma’na Mutaharrik di Era Kontemporer

Dalam konteks Indonesia masa kini, kedholiman tidak dapat lagi dimaknai secara sederhana sebagai perbuatan individu yang melanggar norma keadilan, melainkan harus dipahami sebagai realitas sosial yang kompleks dan terstruktur, yang melekat dalam sistem sosial, politik, hukum, dan ekonomi. Pendekatan ma’na cum maghza menawarkan kerangka tafsir yang tidak berhenti pada dimensi tekstual dan normatif, tetapi mengedepankan pemaknaan yang lebih dalam dan kontekstual terhadap dinamika kedholiman dalam tatanan masyarakat kontemporer.

Melalui pendekatan tersebut, kedholiman dipandang sebagai gejala sistemik dari krisis multidimensi, yang ditandai oleh ketimpangan distribusi sumber daya, penyalahgunaan otoritas, ketidaksetaraan di hadapan hukum, serta peluruhan nilai-nilai etika publik.

Oleh karena itu, pemaknaan ma’na mutaharrik terhadap fenomena ini meniscayakan pergeseran dari sikap diam menjadi kesadaran kritis dan keterlibatan aktif dalam perubahan sosial. Kesadaran ini harus berlandaskan pada prinsip keadilan substantif, sebagaimana tercermin dalam ajaran Islam dan nilai-nilai dasar yang diamanatkan dalam konstitusi negara.

Lebih lanjut, pesan teologis dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW menggarisbawahi pentingnya menjauhi kezaliman serta menolak segala bentuk struktur yang melanggengkan praktik ketidakadilan. Hal ini menuntut partisipasi masyarakat secara aktif dalam membongkar sistem yang menindas dan membangun alternatif tata kelola yang lebih adil, inklusif, dan manusiawi.

Dengan demikian, kedholiman harus diposisikan bukan hanya sebagai persoalan etika individual atau pelanggaran hukum semata, melainkan sebagai tantangan struktural dan epistemologis yang memerlukan respons kolektif, berbasis kesadaran spiritual, moral, dan politik. Pemahaman ini menjadi fondasi bagi terbentuknya gerakan sosial yang transformatif dan berkelanjutan dalam rangka mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia yang adil, sejahtera, dan berperadaban tinggi.

1 posts

About author
Mahasiswa STAI Syubbanul Wathon Magelang
Articles
Related posts
Opini

Dampak Penambangan Nikel terhadap Ekosistem Laut Raja Ampat: Ancaman bagi Keanekaragaman Hayati dan Masyarakat Lokal

2 Mins read
Raja Ampat di Papua Barat Daya merupakan salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Dengan lebih dari 550 jenis…
KeislamanOpini

Seks dan Islam 

2 Mins read
Membahas masalah seks tidak akan pernah habis. Pembahasan masalah ini akan terus mengalir dan menarik selama manusia masih menghuni planet bumi ini….
EsaiOpiniPendidikan

Remaja Problematik, Tanggung Jawab Siapa?

3 Mins read
KULIAHALISLAM.COM-Beberapa waktu lalu publik mengomentari kebijakan salah satu pejabat daerah B telah membuat kebijakan kontroversi,dimana sekumpulan anak-anak yang “dipandang nakal” disatukan untuk…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PDM Solo Gandeng SUMU Gelar Pelatihan Digital Marketing

Verified by MonsterInsights