Pernah nggak sih kamu merasa bingung menemukan arah kiblat? Misalnya lagi di gunung, gelap gulita, dan Kompas Handphone tiba-tiba mati. Ditengah kebingungan itu, mungkin ada terlintas apa menghadap kemana saja boleh?
Menariknya, pertanyaan ini sudah muncuk jauh sebelum Kompas ditemukan. Bahkan para ulama besar pernah berdebat soal satu ayat yang berbunyi:
وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ١١٥
“Hanya milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115)
Ayat pendek ini ternyata mengandung diskusi yang Panjang dan dalam. Dua mufassir populer Imam al-Qurtubi dan Fakhr al-Din al-razi bahkan membahasnya dari prespektif yang sangat berbeda. Dari perbedaan itu, kitab isa memahami bahwa Islam itu bukan hanya aturan, tapi juga cara berpikir, merenungkan dan mencari makna.
Perbedaan dua tokoh ini sekaligus menunjukkan bahwa satu ayat bisa dibaca dari banyak arah. Bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal logika, bahasa, dan spiritualitas.
Al-Qurtubi adalah ulama Andalusia yang mengembara ke banyak kota seperti Mesir, Iskandariyah, dan Kairo. Ia dikenal sebagai ahli fiqih dan tafsir. Tafsirnya Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān Adalah tafsir yang sangat “membumi”, dalam persoalan sifat Allah, ia mengikuti pendekatan salaf menghindari penafsiran antropomorfis dan menegaskan ketidakserupaan Allah, semua dibedah dari sisi hukumnya.
Ayat al-Qurṭubi lebih praktis dan fokus pada hukum, riwayat, dan kesimpulan yang jelas. Ia menulis sebagai ulama lapangan yang dekat dengan persoalan masyarakat. Fakhr al-Din al-Razi adalah tokoh utama teologi Asy’ariyah. Ia belajar filsafat Yunani, logika, ilmu kalam, sampai astronomi.
Tafsirnya Mafātīḥ al-Ghaib, tebalnya luar biasa dan penuh argumen logika. Al-Razi membaca ayat bukan hanya sebagai teks hukum, tetapi sebagai pintu menuju filsafat ketuhanan.
Karena itu tafsirnya sering sangat panjang. Bayangkan seorang pemikir yang kalua ditanya satu hal, dia menjawab sepuluh kemungkinan, delapan bantahan, dan tiga kesimpulan. Itulah al-Razi.
Apa sih yang sebenarnya diperdebatkan dari Ayat ini? Ayat ini terlihat sederhana, tapi memuat tiga isu besar:
1. Bolehkan salat menghadap arah mana saja?
2. Apa arti “Wajah Allah” Benarkah Allah punya wajah fisik?
3. Apa maksud Allah menegaskan timur dan barat milik-Nya?
Menurut al-Qurtubi ayat ini turun dekat dengan isu perbuhan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, salat sunnah di atas kendaraan saat safar, dan kondisi orang salah menentukan arah saat gelap. Ia mengutip banyak Riwayat sahabat dan thabi’in, ia menggunakan pendekatan tradisional dan kuat dalam unsur Riwayat.
Sedangkan al-Razi juga setuju dengan riwayat-riwayat itu, tetapi ia langsung memecah pembahasannya menjadi beberapa masalah besar. Ia mencari makna terdalam dari konteks ayat, termasuk kemungkinan filosofi di balik pertanyaan Allah tentang arah.
Menurut al-Qurtubi “Wajah” adalah Majas.
Karena wajah adalah bagian paling tampak dan mulia. Maksudnya, Allah tentu bukan makhlik yang punya wajah fisik. Jadi, “wajah Allah” lebih ke kemuliaan-Nya, eskistensi-Nya, tujuan ibadah. Dengan kata lain, Yang penting bukan wajah fisik, tetapi arah pengabdianmu.
Menurut al-Razi “wajah” bisa empat makna.
Inilah yang membuat tafsir al-Razi kaya banget. Ia menawarkan empat kemungkinan.
1. Wajah bermakna kepemilikan, seperti “rumah Allah” (bukan berarti Allah tinggal di rumah itu)
2. Wajah bermakna niat dan orientasi, seperti ayat Nabi Ibrahim: “Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan”
3. Wajah bermakna keridaan Allah, yaitu tujuan tinggi seorang hamba
4. Wajah bermakna dzat Allah, tapi dalam makna metaforis, bukan fisik
Razi menegaskan bahwa memahami “wajah Allah” secara fisik adalah kesalahan fatal karena akan menyerupakan Allah dengan makhluk.
Al-Qurtubi menegaskan bahwa ayat ini tidak bisa untuk salat wajib. Menurutnya ini tidak membatalkan ketentuan kiblat, ayat ini hanya berlaku dalam kondisi tertentu seperti salat sunnah ketika safar, kondisi tidak tahu arah, atau keadaan darurat.
Sedangkan al-Razi menyatakan bahwa mempunyai tiga kemungkinan: Mansukh (dibatalkan), jika dianggap membolehkan salat kemana saja; Nasikh (menghapus ketentuan sebelumnya), jika terkait perubahan kiblat; tidak bicara hukum sama sekali, tetapu bicara teologi tentang kekuasaan Allah.
Ayat ini menegaskan bahwa seluruh arah adalah milik Allah. Baik al-qurtubi maupun al-Razi sepakat bahwa ini adalah penegasan tauhid rububiyyah, bantahan pada Yahudi Nasrani yang mengklaim arah tertentu sebagai “milik Tuhan”, pengingat bahwa Tuhan tidak terikat ruang.
Apa pelajaran untuk hidup kita hari ini?
Ibadah bukan hanya soal arah fisik, tetapi rah hati. Kita kadang rebut soal hal teknis, padahal yang paling penting adalah niat dan keikhlasan. Melihat Qurtubi dan Razi membahas ayat yang sama tapi dari prespektif berbeda mengajarkan kita bahwa Islam tidak tunggka, ia hidup dari dialog.
Jangan memaksakan arah, karena semua arah adalah milik Allah. Ayat ini mengingatkan bahwa kita tidak boleh gampang menyalahkan ibadah orang lain, apalagi dalam kondisi mereka sudah berusaha maksimal. Arah bukanlah tujuan, melainkan Allah lah tujuan.
Perbandingan tafsir Qurtubi dan Razi tentang QS. Al-baqarah: 115 bukan hanya perbandingan akademik. Ia adalah cermin tentang bagaimana manusia mendekati Tuhan dengan cara yang berbeda. Qurtubi mengajarkan ketegasan hukum, sedangkan Razi mengajarkan keluasan berpikir. Dan keduanya bertemu pada satu titik bahwa Allah tidak terikat ruang. Yang terpenting adalah bagaimana manusia mengarahkan dirinya kepada-Nya.
Artikel ini bukan sekedar tentang arah kiblat, tapi tentang arah hidup. Dan arah terbaik menuju Dia ke manapun wajahmu menghadap.
Daftar Pustaka
Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kutub.
Al-Razi. Mafatih al-Ghayb. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi. Ibn ‘Asyur.

