Keislaman

Ketika Akal Bertemu Wahyu: Mengapa Tafsir Al-Razi dan Tabatabai Sama-sama Diperdebatkan

4 Mins read

Dalam tradisi intelektual Islam, tafsir bukan sekadar upaya menjelaskan lafaz-lafaz Al-Qur’an, melainkan juga arena perjumpaan antara teks wahyu, nalar rasional, serta horizon teologis dan filosofis para mufassir. Di dalam gelanggang panjang itu, dua karya yang kerap menjadi rujukan sekaligus perdebatan adalah Mafātīḥ al-Ghayb karya Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān karya Allāmah Muḥammad Ḥusayn Ṭabāṭabā’ī.

Keduanya sama-sama memadukan akal dan wahyu, tetapi cara mereka mengintegrasikan keduanya sangat berbeda sehingga memunculkan kritik yang juga berasal dari arah yang berbeda. Membandingkan kritik yang ditujukan kepada kedua mufassir ini bukan hanya membantu memahami dinamika tafsir, tetapi juga memperlihatkan pertarungan ide tentang batas rasio, otoritas teks, dan posisi teologi dalam penafsiran.

Al-Rāzī, seorang mutakallim dan pemikir rasional abad ke-6 H/12 M, memproduksi tafsir yang sering dianggap sebagai simbol puncak tradisi kalām. Ia memasukkan argumen filosofis panjang, analisis logis, kosmologi, bahkan perdebatan internal mazhab dalam menafsirkan ayat-ayat Qur’an. Akibatnya, Mafātīḥ al-Ghayb sering dianggap bukan sekadar tafsir, melainkan ensiklopedia intelektual yang mencakup hampir seluruh disiplin ilmu pada masanya.

Di satu sisi, keluasan itu merupakan kekuatan yang membuat tafsirnya tetap relevan dalam berbagai wacana akademik modern. Namun di sisi lain, para ulama tradisional sejak dulu mengkritik al-Rāzī karena dianggap terlalu spekulatif yakni ia sering berputar dalam diskusi metafisika dan logika yang jauh dari makna tekstual ayat.

Pembaca yang menginginkan penjelasan ayat justru terkadang menemukan argumentasi filosofis yang tampak melampaui batas wajar tafsir (Fitri, 2025). Lebih jauh, gaya polemis al-Rāzī (menyerang pandangan Mu’tazilah, mengkritik pendapat filsuf, dan menimbang berbagai posisi teologis) membuat sebagian ulama menilai bahwa tafsirnya lebih menonjolkan debat kalām ketimbang bimbingan spiritual atau pedagogis.

Kritik ini tidak selalu keliru, tetapi juga tidak sepenuhnya adil, mengingat konteks intelektual abad ke-12 memang dipenuhi perdebatan teologis yang mengharuskan pemikir Muslim merumuskan argumen rasional yang kokoh. Pembela al-Rāzī menegaskan bahwa dengan menyediakan argumentasi filosofis mendalam, ia justru memperkuat posisi Islam dalam menghadapi tantangan pemikiran zamannya. Di tangan al-Rāzī, tafsir menjadi medan rasionalisasi wahyu, bukan sekadar pengulangan riwayat (Husna Maulida & Bashori, 2025).

Baca...  Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Siapa Yang Harus Dijadikan Pemimpin

Sementara itu, Ṭabāṭabā’ī yang hidup pada abad ke-20 menghadapi tantangan berbeda yakni modernitas, perkembangan ilmu sosial, dan kebutuhan mendamaikan tradisi Qur’ani dengan tuntutan filsafat Islam kontemporer. Melalui al-Mīzān, ia menawarkan metode yang memadukan tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an dengan pembacaan filosofis yang berakar pada Mulla Ṣadrā, Avicenna, dan tradisi filsafat teosofis Persia.

Karya ini memiliki ciri sistematis yaitu ia berusaha mengurai struktur tematik ayat, menautkan ayat dengan ayat, dan membingkai pesan Qur’an secara koheren dalam struktur moral-eksistensial. Banyak akademisi modern memuji ketepatan metodologis dan konsistensi filosofis al-Mīzān. Namun kritik yang diterimanya umumnya datang dari dua arah.

Pertama, beberapa ulama Sunni mempersoalkan penggunaan riwayat Ahl al-Bayt dan penekanan isu-isu tertentu seperti imamah yang dianggap mengusung perspektif Syiah. Kritik ini berangkat dari kegelisahan bahwa tafsir tersebut membawa corak sektarian yang membuatnya kurang representatif bagi pembaca Sunni.

Kedua, beberapa sarjana merasa bahwa kecenderungan filsafat dalam al-Mīzān membuat sebagian penjelasannya terlalu metafisik dan kurang berpijak pada makna literal-tekstual. Kritik seperti ini tentu tidak dapat dilepaskan dari perdebatan panjang tentang sejauh mana filsafat boleh digunakan dalam tafsir.

Namun para pembela Ṭabāṭabā’ī berpendapat bahwa metode filosofisnya tidak dimaksudkan untuk menggantikan teks, melainkan untuk memperdalam pemahaman terhadap struktur makna internal al-Qur’an. Oleh karena itu, al-Mīzān sering dianggap sebagai salah satu tafsir paling koheren yang mampu menjembatani kebutuhan spiritual, rasional, dan sosial pembaca modern (Ramadhan & Mala, 2022).

Perbedaan sifat kritik terhadap kedua mufassir ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap tafsir sering kali lebih mencerminkan perbedaan visi tentang apa itu tafsir yang ideal. Kritik terhadap al-Rāzī mengandalkan standar normatif-tekstual bahwa tafsir seharusnya lebih dekat dengan riwayat dan menghindari spekulasi filosofis yang dianggap bukan bagian dari disiplin tafsir murni.

Baca...  Bisakah Wahyu Dipahami Secara Kontekstual Tanpa Mengabaikan Keasliannya?

Sedangkan kritik terhadap Ṭabāṭabā’ī lebih identitas-teologis, yang menjelaskan bahwa penafsirannya dianggap membawa warna mazhab tertentu. Pada titik ini, tampak bahwa perdebatan bukan hanya soal argumen, tetapi juga tentang siapa yang menafsirkan dan dari tradisi mana ia berbicara.

Meski demikian, reduksi semacam itu mengabaikan kenyataan bahwa baik al-Rāzī maupun Ṭabāṭabā’ī berusaha keras mengembangkan metodologi tafsir yang relevan pada zamannya. Perbedaan keduanya terlihat jelas dalam menafsirkan isu-isu sentral seperti tauhid. Al-Rāzī menyoroti aspek ontologis dan kosmologis yakni mengenai bagaimana wujud Tuhan harus dipahami melalui argumen rasional, bagaimana eksistensi makhluk bersandar pada sebab pertama, dan bagaimana perbedaan sifat Tuhan dan makhluk dijelaskan melalui analisis logis yang mendalam.

Pendekatan ini menciptakan ruang bagi pembaca untuk memahami tauhid bukan hanya sebagai konsep keimanan, tetapi juga sebagai struktur metafisika yang konsisten secara rasional. Namun karena sifatnya yang spekulatif, pendekatan ini sering dipandang terlalu abstrak oleh pembacaan yang lebih tekstual (Nurman, 2021).

Sebaliknya, Ṭabāṭabā’ī memandang tauhid terutama dalam horizon moral-eksistensial membahas bagaimana pengesaan Tuhan membentuk relasi manusia dengan realitas, membangun kesadaran etis, dan menata struktur sosial. Baginya, ayat-ayat Qur’an harus dibaca saling menjelaskan sehingga pesan etis dan spiritualnya terpadu dalam sistem nilai yang menyeluruh. Ini mencerminkan proyek hermeneutis yang melihat tauhid sebagai fondasi struktur moral masyarakat (Ramadhan & Mala, 2022).

Kekuatan pendekatan ini adalah kemampuannya menghadirkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang relevan bagi manusia modern, meskipun beberapa pihak menilai kerangka metafisik yang ia gunakan terlalu terkait dengan tradisi filsafat Syiah (Hakim, 2024).

Perbandingan ini menunjukkan bahwa kritik terhadap kedua mufassir tidak harus dipandang sebagai penilaian absolut tentang benar dan salah. Kritik sering kali merupakan cermin dari pertarungan metodologi antara tekstualisme dan rasionalisme, antara identitas teologis dan universalisme metodologis, antara pembacaan literal dan pembacaan hermeneutis.

Baca...  Harmoni Wahyu dan Akal: Peran Metodologi Tafsir dalam Mengembangkan Pemikiran Filsafat Islam

Dalam konteks akademik kontemporer, para peneliti lebih memilih pendekatan eklektik yang berarti menghargai kontribusi al-Rāzī dalam memperkaya rasionalitas kalam klasik, sekaligus mengakui keunggulan Ṭabāṭabā’ī dalam membangun kerangka tafsir tematik-filosofis yang memiliki daya jangkau modern.

Dengan membaca kritik tradisional dan modern secara bersamaan, pembaca dapat memahami bahwa tafsir bukan karya yang berdiri di ruang hampa, melainkan produk dari pergulatan zaman, kebutuhan diskursif, dan visi teologis masing-masing penafsir.

Bagi pembaca masa kini, pelajaran terpenting bukan memilih siapa yang lebih unggul, tetapi melatih diri membaca tafsir secara kritis dan sadar konteks. Mengambil manfaat dari al-Rāzī berarti menyerap argumen-argumen logisnya untuk memahami bagaimana rasio dapat membantu menjernihkan persoalan teologis.

Mengambil manfaat dari Ṭabāṭabā’ī berarti belajar melihat ayat-ayat Qur’an dalam jaringan makna yang saling terkait, dengan mempertimbangkan nilai moral dan eksistensial yang ditawarkannya. Dengan demikian, kedua karya yang penuh kritik ini justru membuka ruang dialog antara rasio dan wahyu, antara teologi dan filsafat, antara tradisi dan modernitas.

Tafsir berkembang bukan karena mufassir bebas dari kritik, tetapi justru karena kritik memungkinkan tafsir terus hidup, ditantang, dan diperkaya. Karya al-Rāzī dan Ṭabāṭabā’ī, dengan segala kekuatan dan keterbatasannya, menunjukkan bahwa dinamika intelektual Islam tidak pernah berhenti. Membaca mereka berarti ikut serta dalam percakapan panjang tentang bagaimana wahyu dipahami, ditafsirkan, dan dihidupkan kembali di tiap zaman.

Ini juga berarti memahami bahwa batas antara rasio dan wahyu tidak pernah kaku, tetapi selalu dinegosiasikan ulang oleh para mufassir yang berusaha menjembatani keduanya. Dalam semangat itu, kritik bukan sekadar daftar kesalahan, melainkan bagian dari tradisi ilmiah yang menuntut ketelitian, ketulusan intelektual, dan kesediaan untuk melihat bahwa penafsiran selalu terbuka bagi revisi, pendalaman, dan perluasan makna.

Related posts
KeislamanSejarah

Mengenal Mur'jiah Dalam Sejarah Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Murji’ah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti tetapi Imam Syahrastani menyebutkan…
Keislaman

Adat Atau 'Urf Dalam Fiqih Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Adat (‘adah) secara bahasa berarti sesuatu yang dikerjakan atau diucapkan berulang-ulang, sehingga dianggap baik dan diterima oleh jiwa dan akal sehat. Istilah…
Keislaman

Dua Ayat Satu Ruh, Membaca Al-Qur’an Bersama Al Razi

3 Mins read
Ada kata-kata dalam Al-Qur’an yang selalu terasa lebih dalam dari bahasa. Ruh adalah salah satunya. Ia sering disebut, tetapi jarang benar-benar dipahami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Cahaya yang Mengubah Peradaban: Kisah Agung Nuzulul Qur’an dan Maknanya bagi Umat Manusia

Verified by MonsterInsights