Pembahasan mengenai kemaksuman Ahlul Bait (ʿiṣmah al-ahl al-bayt) merupakan salah satu tema paling sentral dalam teologi Syiah Imamiyah. Salah satu rujukan tafsir yang banyak digunakan untuk menguatkan doktrin tersebut adalah Majma‘ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān karya al-Ṭabarsī, seorang mufasir besar Syiah pada abad keenam Hijriyah.
Penafsiran al-Ṭabarsī terhadap Q.S. Al-Ahzab [33]: 33 yang dikenal sebagai “Ayat Tathīr” sering dijadikan landasan konseptual untuk menegaskan bahwa Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW disucikan secara khusus oleh Allah.
Dengan demikian, mereka diyakini terjaga dari dosa dan layak dijadikan figur teladan sekaligus imam. Esai ini merangkum isi penafsiran tersebut serta menilai validitas metodologisnya dalam konteks kajian tafsir akidah (teologi).
Ayat yang menjadi fokus pembahasan berbunyi: “Innamā yurīdu Allāhu liyudhhiba ‘ankum ar-rijsa ahla al-bayti wa yuṭahhirakum taṭhīrā”. Dalam konstruksi Syiah, ayat ini dipahami sebagai pernyataan eksplisit Allah bahwa Ahlul Bait disucikan dari segala bentuk kotoran, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Karena itu, ayat ini menjadi pilar fundamental bagi doktrin kemaksuman lima sosok utama: Nabi Muhammad SAW, Ali, Fāṭimah, Hasan, dan Husain. Penafsiran Syiah meyakini bahwa penyucian ini bersifat khusus (khāṣṣ) dan merupakan kehendak efektif Allah—bukan sekadar perintah moral atau anjuran etis.
Untuk memahami penafsiran al-Ṭabarsī, penting melihat sumber-sumber yang digunakannya. Dalam Majma‘ al-Bayān, ia menggabungkan tiga pendekatan utama: analisis kebahasaan, penggunaan riwayat, dan penalaran teologis.
Dari segi bahasa, al-Ṭabarsī menekankan peran kata “innamā”. Dalam bahasa Arab, innamā berfungsi sebagai ḥaṣr (pembatasan), yakni menetapkan makna pada objek tertentu dan menafikan objek lain. Dengan menekankan fungsi ini, al-Ṭabarsī berargumen bahwa penyucian dalam ayat tersebut hanya berlaku bagi mereka yang secara khusus dimaksud dalam riwayat, bukan untuk semua anggota keluarga Nabi secara umum.
Persoalan berikutnya adalah: siapa yang dimaksud sebagai Ahlul Bait? Al-Ṭabarsī memilih riwayat Hadis Kisā’, yaitu hadis yang menyebutkan Nabi menyelimuti dirinya, Ali, Fāṭimah, Hasan, dan Husain dengan kain, lalu membacakan ayat tathīr.
Riwayat ini sangat dominan dalam literatur Syiah dan menjadi dasar pengkhususan definisi Ahlul Bait. Berdasarkan hadis inilah al-Ṭabarsī membatasi cakupan ayat hanya pada lima sosok tersebut. Implikasi tafsiran ini secara otomatis tidak memasukkan istri-istri Nabi ke dalam Ahlul Bait, meskipun konteks ayat-ayat sebelumnya (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32–34) secara jelas mengarah kepada istri-istri Nabi.
Setelah menetapkan subjek ayat, al-Ṭabarsī beralih pada pembahasan makna “irādah” (kehendak) Allah. Menurutnya, “kehendak” dalam ayat ini bukanlah kehendak syar‘i berupa perintah atau larangan, melainkan kehendak kauni (irādah takwīniyyah) yang pasti terjadi.
Jika irādah itu dipahami sebagai perintah moral agar manusia menjaga kesucian, maka ayat ini tidak memiliki kekhususan bagi Ahlul Bait, sebab perintah kesucian berlaku bagi semua mukallaf.
Oleh karena itu, al-Ṭabarsī menegaskan bahwa irādah dalam ayat adalah kehendak yang menghasilkan efek nyata, yaitu Allah benar-benar menyucikan Ahlul Bait dari segala kotoran. Dengan demikian, penyucian ini bersifat ilāhī dan bukan upaya manusiawi.
Penafsiran ini kemudian dihubungkan dengan doktrin ʿiṣmah. Jika Allah menghendaki secara efektif untuk menghilangkan ar-rijs (segala bentuk dosa dan kotoran) dari Ahlul Bait, berarti mereka dilindungi dari perbuatan dosa baik disengaja maupun tidak.
Dari sinilah konsep kemaksuman teologis dalam Syiah menemukan fondasi Qur’ani. Lebih jauh, kemaksuman tersebut menjadi legitimasi bagi konsep imamah, sebab imam yang memimpin umat harus terjaga dari kesalahan dan tidak mungkin berbuat maksiat.
Meskipun demikian, penafsiran ini tidak lepas dari kritik metodologis. Secara akademik, tafsir al-Ṭabarsī memiliki sejumlah kekuatan. Pertama, ia sangat kompeten dalam linguistik Arab, sehingga analisisnya mengenai struktur kalimat dan fungsi partikel cukup kuat. Kedua, ia jujur menyebutkan riwayat dan sumber yang ia gunakan. Ketiga, dalam kerangka teologi Syiah, penafsirannya konsisten dan logis.
Namun, tafsir ini juga memiliki kelemahan bila dilihat dalam perspektif lintas mazhab atau dalam kajian akademik yang lebih luas. Pertama, konteks ayat sebelum dan sesudahnya berbicara tentang istri-istri Nabi, tetapi al-Ṭabarsī tidak memberi ruang yang memadai untuk menimbang kemungkinan bahwa istri-istri Nabi termasuk dalam Ahlul Bait.
Penafsiran Sunni, misalnya, memasukkan istri-istri Nabi dengan dasar bahasa dan konteks. Kedua, penggunaan hadis Kisā’ sebagai landasan tunggal membuat penafsiran ini eksklusif, padahal terdapat riwayat lain yang menunjukkan cakupan lebih luas. Ketiga, pemilihan makna irādah sebagai irādah kauni bersifat teologis, bukan semata linguistik; dengan kata lain, penafsiran ini dipengaruhi doktrin Syiah yang telah mapan.
Dari segi validitas, tafsir al-Ṭabarsī sangat sah dalam tradisi Syiah karena mengikuti metode dan sumber otoritatif dalam mazhabnya. Namun, jika ditempatkan dalam perdebatan teologis antar-mazhab atau dalam tradisi tafsir komparatif, tafsir ini perlu dibaca sebagai representasi pandangan Syiah, bukan sebagai kesimpulan tunggal dari ayat tersebut.
Secara keseluruhan, penafsiran al-Ṭabarsī terhadap Ayat Tathīr mencerminkan pendekatan teologis yang kuat dan sistematis. Ia memadukan analisis bahasa, riwayat, dan doktrin dalam satu konstruksi pemaknaan yang koheren.
Meski demikian, pendekatan tersebut juga membuat penafsiran ini cenderung eksklusif dan kurang memberi ruang bagi pandangan alternatif. Dengan memahami kekuatan dan kelemahannya, kita dapat melihat bahwa tafsir ini tetap sangat penting dalam kajian teologi Syiah, tetapi perlu diperlakukan secara proporsional dalam studi tafsir lintas mazhab.
Selain itu, penting pula memperhatikan bahwa perbedaan penafsiran mengenai Ayat Tathīr tidak semata-mata merupakan perbedaan linguistik, tetapi berakar pada konstruksi teologis masing-masing mazhab. Tradisi Syiah dan Sunni memiliki epistemologi berbeda dalam menilai otoritas riwayat, fungsi konteks ayat, serta status keluarga Nabi.
Dalam tradisi Sunni, misalnya, istri-istri Nabi dipandang sebagai bagian dari Ahlul Bait berdasarkan kedekatan domestik dan konteks langsung ayat. Sementara itu, tradisi Syiah lebih mengutamakan hubungan spiritual dan legitimasi kepemimpinan, sehingga menempatkan lima sosok utama sebagai Ahlul Bait inti.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa tafsir al-Ṭabarsī tidak dapat dilepaskan dari paradigma Syiah yang menempatkan imamah sebagai kelanjutan kenabian. Dengan demikian, memahami tafsir ini membutuhkan kesadaran bahwa setiap mazhab membaca teks suci melalui lensa teologisnya sendiri.

