hakikatnya adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Suami Isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Namun adakalanya
antara pasangan suami-istri terjadi pertengkaran sengit dan terjadi kekerasan
(penganiayaan) sehingga menimbulkan keretakan hubungan yang sulit dipertemukan
kembali. Allah berfirman dalam Al-Qur’an
Surah An-Nisa ayat 34 :
اَلرِّجَالُ
قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ
وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ
لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ
فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ
اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ
عَلِيًّا كَبِيْرًا
Terjemahan
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi
perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah
mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,
karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan
akan nusyuz, hendaklah kamu beri
nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang),
dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi,
Mahabesar.
Drs.
M.Thalib dalam bukunya “15 Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya”
menyebutkan bahwa penganiayaan suami kepada istri ada dua macam yaitu
penganiayaan lahir dan penganiayaan batin. Penganiayaan lahir misalnya, menendang atau membanting dan
penganiayaan batin, miasalnya mencerca atau memakai dengan kata kotor atau
tidak berbicara sehingga istri merasa terasing dan tertekan dalam rumah
tangganya sendiri. Perlakuan lahir maupun batin yang bersifat aniyaya terhadap
istri semacam itu tidak boleh dilakukan suami.
Imam
Al-Ghazali dalam kitabnya “Adab An-Nikah”
menyatakan bahwa Istri yang melakukan Nusyuz yaitu istri yang tidak menaati
perintah suaminya atau melakukan hal yang tidak diridhai suaminya atau
meninggalkan kewajiban shalat fardhu
maka hendaklah suami mengambil langkah-langkah untuk menasehati istrinya
di samping mengancam dan menakuti istrinya kalau yang demikian tidak berhasil
maka membiarkan tidur sendiri dikamarnya
atau tidak menyapanya selama satu hingga tiga malam. Tetapi kalau tidak
berhasil maka boleh ia memukulnya dengan pukulan ringan. Akan tetapi, hendaknya
ia benar-benar menjaga agar tidak sampai patah tulangnya atau terluka anggota
tubuhnya karena yang demikian ini terlarang sesuai Hadis Nabi Muhammad Shalallallahu alaihi wasallam.
Pernah
seorang laki-laki bertanya “Ya Rasulullah, apa saja istri terhadap suaminya?”.
Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam
menjawab : “Suami harus memberinya makan di kala ia hak makan, memberinya
pakaian ketika ia berpakaian, tidak menyakiti wajah, tidak memukulnya kecuali
yang tidak membahayakannya dan tidak memisahkan diri darinya kecuali tempat
tidur”, (H.R Abu Daud dan An-Nasaiy dalam al-Kubra serta Ibnu Majah). Imam
Syafi’i pernah berkata : “Tiga jenis manusia apabila kau hormati secara
berlebihan niscaya mereka akan menghinamu. Mereka itu adalah pelayan, wanita
dan orang jalanan. Yang dimaksud adalah jangan memberi mereka penghormatan sepenuhnya
tanpa mencampurkan sedikitpun ketegasan dalam kelembutanmu atau kekerasan dalam
kelunakanmu.
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir
Al-Misbah Volume Dua menafsirkan Q.S An-Nisa ayat 34 yang berbunyi “وَاضْرِبُوْهُنَّ (pukulah mereka)
terambil dari kata “Dharaba” yang
mempunyai banyak arti. Bahasa, ketika menggunakan dalam arti memukul tidak
selalu dipahami dalam arti menyakiti atau melakukan sesuatu tindakan atau
keras. Orang ya dng berjalan kaki (Musafir) dinamai oleh bahasa dan oleh
Al-Qur’an dengan “Yadhribuna Fil Ardh”
yang secara harfiah berarti memukul di bumi. Karena itu, perintah di atas
dipahami oleh Ulama berdasarkan penjelasan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bahwa yang dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakitkan.
Langkah terakhir bagi pemimpin rumah tangga dalam upaya memelihara rumah
tangganya.
Rasulullah
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
mengingatkan agar jangan memukul wajah dan jangan memukul menyakiti. Beliau
bersabda : “Tidaklah kalian malu memukul istri kalian seperti memukul keledai ?
Malu bukan saja karena malu memukul tetapi juga malu karena gagal mendidik dengan
nasihat dan cara lain”. Lebih lanjut, Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa ada
ulama memahami perintah memukul ditujukan kepada penguasa. Ulama besar Atha’
berkata berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istrinya paling tinggi
hanya memarahinya.
Ibn
al-‘Arabi mengomentari pendapat Atha’itu dengan berkata “Pemahamannya itu
berdasar adanya kecaman Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasallam : Orang-orang terhormat tidak memukul istrinya”. Sejumlah
ulama sependapat dengan Atha’ dan menolak atau memahami seara metafora
hadis-hadis yang membolehkan suami memukul istrinya. Betapapun kalau ayat ini
dipahami sebagai izin memukul istri oleh suami, maka harus dikaitkan dengan
hadis-hadis Rasulullah yang mensyaratkan tidak menciderainya dan tidak pula
ditujukan sebagai suatu penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat.
Drs. M.
Thalib menyebutkan banyak kita jumpai dalam kehidupan berumah tangga suami
menganiaya istrinya, penyebabnya adalah pertama, karena jengkel terhadap
perilaku istrinya yang dianggap memberatkan dirinya atau menyusahkan
kehidupannya. Misalnya, istri pemboros atau suka mencerca suami. Hal ini sering
kali membuat suami menjadi emosi sehingga melakukan tindakan menganiaya
istrinya. Kalau hal semacam ini yang menjadi penyebabnya, maka hendaklah suami
menyadari bahwa tindakan penganiayaan terhadap istrinya tidak akan bermanfaat
bagi perbaikan rumah tangga.
Kedua, karena suami merasa tidak puas atas pelayanan
istrinya sehingga suami menganiaya istrinya. Ketiga, karena suami berada dalam
keadaan stress menghadapi problem dirinya sendiri tanpa pernah dapat memperoleh
penyelesaian secara baik. Misalnya, problem yang dihadapi dalam bekerja ataupun
dengan pergaualan dengan atasannya kemudian ia melampiaskan kepada istri dan
keluarganya. Suami macam ini harus menyadarai bahwa ia tidak akan pernah dapat
mengatasi kemelut dirinya dengan melampiaskan kemarahannya kepada istrinya sama
sekali.
Para istri
yang mendapati suaminya melaukan penganiayaan kepada dirinya akibat ketegangan
yang dihadapi oleh suaminya di luar hendaklah ia menasehatinya dan memberikan
jalan keluar yang terbaik. Jika ternyata tidak berhasil maka ia berhak
mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya. Keempat, si suami atau si istri
tergoda dengan yang lain sehingga terjadi pertengkaran dan kekarasan fisik.
Di Indonesia data angka kekerasan dan penganiayaan dalam rumah tangga
masih tinggi. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) mencatat, selama 17 tahun, yaitu sepanjang 2004-2021 ada 544.452
kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau ranah personal.
Kekerasan Rumah Tangga dalam Hukum di Indonesia
Di Indonesia, penganiayaan
diatur dalam Pasa 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (K.U.H.P) yang berbunyi
: (1).Penganiayaan
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp4.500. (2). Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si
tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun. (3). Jika perbuatan itu
menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. (4).
Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja. (5).
Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat
dihukum (K.U.H.P. 37, 53, 184 s, 353 s, 356, 487).
R.Soesilo dalam bukunya “K.U.H.P” menyebutkan
bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan
“Penganiayaan (Mishandeling) itu.
Menurut Yurispudensi, maka yang diartikan dengan “Penganiayaan” yaitu sengaja
menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka. Jika Penganiayaan terhadap istri dan anak serta
ibu msaka hukumannya ditambah sepertiganya hal ini diatur dalam Pasal 356 ayat
.
Selanjutnya
penganiayaan terhadap istri atau suami di ataur lebih khusus dalam
Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Pasal (1) undang-undang ini menyebutkan kekerasan dalam rumah
tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan/atau penelataran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemakasaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk
mencegah terjadinya dalam rumah tangga,
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tanggga dan melindungi korban kekerasan
dalam rumah tangga.
Pasal 5 dan 6 berbunyi “ Setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah
tangganya dengan cara (a). Kekerasan fisik yakni apa yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. (b). Kekerasan pisikis adalah perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. (c). Kekarasan sekssual.
Setiap orang
yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah
berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan
pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan
perlindungan kepada Kepolisian. Untuk sampai pada tingkat mengajukan permohanan
kepada kepolisian maka korban dan/atau kuasa hukumnya, orang yang mengetahui
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, harus mempersiapkan alat-alat bukti
yang cukup, minimal dua alat bukti.
Pasal 184
ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa alat
bukti meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa. Korban yang mengalami kekerasan rumah tangga fisik dapat
memberikan alat bukti berupa surat keterangan visum et repertum. J.C.T Simorangkir menerangkan bahwa Visum et repertum adalah surat
keterangan atau laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaan terhadap
sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain.
Pasal 133
KUHAP disebutkan : “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menganani
seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Selain
Visum et Repertum, korban dapat
mengumpulkan alat bukti lainnya seperti saksi. Kekerasan fisik tidak sukar
dibuktikan berbeda halnya dengan kekerasan rumah tangga secara psikis maupun
seksual.
Untuk
kekerasan rumah tangga secara pisikis harus menyertakan keterangan ahli sesuai
huruf b Pasal 184 KUHAP. Ahli disini
adalah Psikolog ataupun Psikiater untuk mengetahui secara jelas bentuk
kekerasan pisikis apa yang dialami korban dan sejauh mana berpengaruh pada
kejiwaan korban. Untuk korban yang mengalami kekerasan rumah tangga secara
pisikis sesuai Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 2006 Tentang Kerjasama Pemulihan
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, korban bisa mendapat fasilitas pemulihan
dengan psikiater dan psikiolog dan mendapat bantuan pertama dari lembaga unit
PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak).
Berkaitan
dengan kekerasan rumah tangga psikis ini pernah diuji melalui Judicial Review
ke Mahkamah Konstitusi RI dengan pemohonannya adalah Sindi Enjelita Sitorus dan
Hesti Br Ginting yang merupakan Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia dengan Permohonan Perkara Nomor 41/PUU-XX/2022.
Menurut kuasa hukum pemohon, kekerasan psikis sebagaimana yang dimaksud Pasal 5
huruf (b) tidak memberikan ketentuan yang jelas seperti apa bentuk kekerasan
psikis yang dimaksud sehingga dapat menjadi suatu penafsiran yang akan menimbulkan
perdebatan.
Sebagai
contoh adalah kasus yang dialami Valencya yang pernah ditetapkan tersangka pada
11 Januari 2021 akibat memarahi suaminya yang pulang dalam keadaan mabuk.
Valencya dilaporkan ke Polda Jawa Barat atas kasus kekerasan dalam rumah tangga
secara psikis. Namun sayangnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon.
Padahal memang akan sukar dibuktikan kekerasan rumah tangga secara psikis.
Korban harus meminta keterangan ahli namun nilsi kekuatan keterangan ahli dalam
persidangan bersifat bebas (Vrij
Bewijskracht), artinya menurut Prof. Muhammad yahya Harap dalam bukunya “ Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP”,
: Di dalam diri kekuatan pembuktian keterangan ahli tidak melekat nilai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan sehingga tergantung Hakim
apakah akan menerima keterangan ahli atau melolaknya.
Selanjutnya,
kekerasan rumah tangga secara seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual
terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8 huruf (a) dan (b) UU KDRT.
Pasal 8 huruf (a) dan (b) ini memiliki makna yang tidak jelas apa dan bagaimana
yang dimaksud kekerasan seksual secara seksual ? apakah seorang suami yang
mengajak berualang kali berhubungan seksual dan istrinya tidak mau lantas itu
diaktegorikan Pasal yang dimaksud ? Jika “iya’ lantas bagaimana pembuktiannya ?
Nah Pasal 8 huruf (a) dan (b) memang memiliki makna yang kabur dan lebih sulit dibuktikan.
Selain di
atas, kekerasan dalam rumah tangga juga bisa diaktegorikan untuk orang yang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tanggganya padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, ia wajib memelihara
kehidupan, perawatan atau pemeliharan kepada orang tersebut (Pasal 9 ayat 1)
dan ayat 2 berbunyi “ Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat 1 juga berlaku
bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Setelah
mengetahui apa saja yang meliputi kekerasan dalam rumah tangga dan
pembuktiannya, korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga berhak
melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik
di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Korban dapat
memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan
dalam rumah tangganya. Frasa “hak” di atas mengisyaratkan bahwa laporan
kekerasan dalam rumah tangga baru dapat diterima kepolisian bilamana korban
yang meresa dirugikan yang melaporkannya baik secara langsung, melalui kuasa hukum
dan orang lain.
1. Dalam waktu satu kali dua puluh empat jam terhitung sejak
menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera
memberikan perlindungan sementara pada korban. Perlindungan sementara diberikan
paling lama tujuh hari sejak korban ditangani. Dalam waktu satu kali dua puluh
empat jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib
meminta surat penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan. Ketentuan pidananya
diatur dalam Pasal 44 yang berbunyi : Setiap orang yang
melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta
rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat
puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).