(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
KULIAHALISLAM.COM – Hukum Indonesia tak lain dan tak bukan dapat dikatakan homo homini lupus. Dengan kata lain disebut hukum rimba Indonesia dimana yang kuat adalah yang berkuasa dan dalam konteks ini kekuasaan terletak pada uang, uang, dan uang. Selain itu hukum saat ini merupakan hukum yang memandang bulu, yang memiliki bulu-bulu banyak adalah yang lebih berkuasa. Bulu banyak itu hanya milik monyet, dan monyet itu sangatlah cerdik. Seperti halnya penguasa kita yang memiliki bulu banyak alias uang banyak, mereka sangatlah cerdik bagai monyet. Mereka melakukan apa saja untuk menimbun uang negara demi kemakmuran diri sendiri. Mereka dengan mudah melakukan korupsi yang seharusnya merupakan uang rakyat semesta, dan saat sudah di penjara pun mereka dengan mudah juga keluar masuk penjara. Semua itu dapat mereka lakukan karena adanya budaya korupsi oleh mafia koruptor yang telah mengakar di negara kita.
Apa yang digaungkan filsuf Inggris Thomas Hobbes dalam karyanya De Cive (1651) “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi sesamanya) tak dapat disangkal. Ketentuan di atas menyebabkan tergerusnya prinsip dan nilai kehidupan komunal yang mengutamakan gotong-royong dan musyawarah. Hal ini terutama akibat menguatnya gejala urbanisme dan elitisme lokal dalam beberapa dasawarsa terakhir. Dalam aktivitas warga masyarakat kerapkali terjadi perebutan akses, sarana, sumber ekonomi, dan klaim politis antar individu dan berbagai komunitas di banyak daerah kota/desa. Pergolakan dan segregasi sosial antara golongan atas dengan golongan bawah sukar dihindarkan. Pergolakan politik pejabat-pejabat publik dan politisi-politisi yang berwatak diktator dan oligarki menguasai kawasan strategis, berhadapan dengan kondisi warga yang tak punya akses sosial ekonomi. Jadi, suatu wilayah daerah menjadi ajang pertarungan antara mereka yang kuat dan lemah. Mereka yang berkuasa (pejabat- politisi) dan tidak berkuasa (warga masyarakat).
Para pejabat pemegang kekuasaan di suatu daerah cenderung bertindak diktator otoriter, menebar kekerasan atau ancaman ketakutan yang sewenang-wenang. Selain itu, pejabat-pejabat publik atau politisi-politisi yang seharusnya berbuat program atau kebijakan berpihak kepada rakyat bawah, fakir miskin, lemah, sengsara dan tidak punya akses, perlu untuk menjaga, melindungi dan memberdayakan harkat martabat hidup masyarakat tersebut.
Selain itu, banyak menunjukkan kelakuan para aparatur penegak hukum yang bertindak melanggar aturan-aturan yang ditetapkan. Maka muncul terjadinya kerusakan atau kesenjangan sosial dalam menetapkan suatu keputusan yang sehingga menciptakan keputusan yang berat sebelah atau tidak adil yang menjadi masalah utama dalam rusaknya sistem hukum di Indonesia. Karena itu, bahwa hukum yang seharusnya ditegakkan sudah hancur dan tak berharga. Seharusnya, aparat penegak hukum harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Hukum tidak tumpul keatas tumpul kebawah bagi siapapun.
Aparat penegak hukum sering kali berbuat sewenang-wenang, semena-mena bahkan menindas rendahkan bahkan membunuh martabat setiap manusia-manusia yang berpendapat, berekpresi dan menyuarakan keluhan keresahan terkait kebutuhan pokok hidup nya yang tidak terlalu sedia, tidak memadai, tidak terjangkau untuk diperoleh.
Aparat penegak hukum sering berdalih melakukan tindakan tersebut hanya atas dasar perintah atasan, tugas dan tanggung jawab dalam mengamankan aksi massa yang bersuara aspirasi dan menyampaikan tekanan, aspirasi dan harapan untuk menunjang kebutuhan hajat hidup warga, keluarga, dan masyarakat sekitarnya. Apalagi, terkait biaya-biaya hidup yang semakin mahal membuat warga-warga tak berdaya, dalam memenuhi kebutuhan hajat hidup warga sehari-harinya. Seperti biaya listrik, kebutuhan air bersih, sanitasi dan akses pendidikan dan kesehatan dalam menunjang meningkat kualitas hidup, literasi, interaksi sosial dan bantuan sosial ekonomi hingga hak-hak dan kewajiban asasi dalam menjaga harkat martabat sesama manusia dalam masyarakat.
Aparat penegak hukum seringkali berbuat menebar ancaman teror ketakutan, menindas rendahkan dan menakuti-nakuti dengan moncong senjata, menyerang psikis massa, memasukkan penjara, dan bertindak premanisme represif terhadap semua massa aksi yang bersuara atau berpendapat mengadu nasib untuk keperluan hajat hidup sehari-hari. Tindakan brutalitas aparat penegak hukum tersebut dengan berdalih karena sedang bertugas atas dasar menjaga keamanan, ketertiban, kedamaian dan kondusifitas sosial warga masyarakat dalam suatu wilayah.
Aparat penegak hukum tersebut bertindak demikian karena, memandang bahwa mereka superior kuat dan solid karena mendapat legitimasi kekuatan dan arahan dari suatu pemerintah setempat, sehingga dalam menjalankan tugas, fungsi dan operasi ketika berhadapan dengan massa aksi masyarakat yang mau menyampaikan aspirasi dan keluhan seolah-olah harus kelihatan gagah dan solid agar tidak muda ditembus, dan dikelabui oleh masyarakat tersebut. Dengan kata lain, aparat penegak hukum tidak mau terlihat lemah, dan kalah dihadapan warganya. Pemerintah melalui aparat penegak hukum harus menjaga dan mengawal kondusifitas sosial wilayah dari ancaman yang tidak terduga dari pihak-pihak kelompok anarkis, dan masyarakat lainnya.
Akhir-akhir ini, warga masyarakat yang menyamakan aspirasi, keluhan, bersuara dan berpendapat diruang-ruang gedung eksekutif, legislatif dan pejabat-pejabat publik serta audiensi aparat penegak hukum lainnya kerapkali mendapati kendala, tidak ada titik temu, kesepahaman dan jalan butun berliku dari kedua pihak massa aksi warga yang menyamakan aspirasi dan pejabat atau penegak hukum yang mendengar melayani keluhan menyangkut hajat hidup masyarakat. Setiap kali massa aksi turun demontrasi di ruang-ruang gedung pemerintah tidak didengar, tidak ditanggapi dan diabaikan bahkan tidak mendapatkan arahan perhatian memuaskan dari pihak pejabat-pejabat pemerintah bersangkutan.
Misalnya, massa aksi dari warga masyarakat perwakilan kaum muda aktivis dan mahasiswa yang sebelumnya melakukan audiensi musyawarah dengan pejabat desa setempat tetapi tidak ditanggapi dan diabaikan oleh aparat penegak hukum tersebut, akhirnya massa aksi tersebut melakukan aksi-aksi blokade jalan, sambil berorasi ditengah jalan dengan tuntutan atas merosotnya harga jagung, dan kebutuhan pokok hidup warga. Massa aksi tersebut sudah melewati dengan cara-cara demokratis konstitusional seperti melalui menyurati pihak berwenang, audiensi dengan pejabat-pejabat dan mufakat dengan masyarakat. Pada akhirnya, massa aksi kaum muda itu digelandang seret kedalam penahanan jeruji besi atas tindakan demokratis aspiratif nya mendapat perlakuan tidak adil manusiawi.
Selain itu, massa aksi lain yang melakukan aksi blokade pemblokiran jalan karena menuntut kepada pihak pemerintah setempat untuk memperbaiki sarana prasarana jalan raya lintas kota, kabupaten dan provinsi, menjaga harga-harga kebutuhan pokok terjangkau dan akses pendidikan kesehatan hidup yang layak. Akhirnya, sekelompok massa aksi tersebut digelandang diseret ke penahanan jeruji besi. Pemberlakuan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum yang berkeadilan manusiawi.
Dalam konstitusi telah ditandaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan proteksi dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia. Selain itu juga ditegaskan pula dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan. Dengan demikian, setiap manusia berhak mendapat perlindungan dari suatu kekerasan. Ancaman ketakutan menindas rendahkan dan membatasi hak-hak bersuara berpendapat terkait keresahan atau keluhan menyangkut kebutuhan hajat hidup masyarakat luas.