KeislamanSejarah

Kejayaan Dan Runtuhnya Dinasti Samaniah

3 Mins read

Kuliahalislam.com-Dinasti Samaniah merupakan sebuah dinasti kecil yang muncul di dunia Islam (Persia) pada abad ke-9, ketika Dinasti Abbasiyah mulai melemah. Wilayahnya meliputi daerah Khurasan (Irak) dan Transoksania (Uzbekistan) yang terletak di sebelah timur Baghdad, denganĀ  Ibukotanya adalah Bukhara.

Dinasti Samaniyah bertahan selama kurang lebih 186 tahun (204 H/819 M-395 H/1005 M). Pendirinya adalah Ahmad bin Asad bin Samankhudat (wafat 250 H/864 M). Nama Samaniah dinisbatkan kepada leluhur pendirinya yaitu Samankhudat, seorang pemimpin suku dan tuan tanah keturunan bangsawan terkenal dari Balkh, sebuah daerah di sebelah utara Afganistan. Data lain menyebutkan bahwa Samankhudat adalah keturunan penguasa Dinasti Sasanit di Persia.

Dalam sejarah, Samaniah terdapat 12 khalifah yang memerintah secara berurutan. Berbeda dengan dinasti kecil lainnya yang berada di sebelah barat Baghdad, dinasti ini tetap tunduk kepada kepemimpinan khalifah Dinasti Abbasiyah.

Tampilnya keturunan dinasti ini dalam sejarah islam bermula dari masuknya Samankhudat menjadi penganut Islam pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (Dinasti Umyyah yang memerintah 106-126 H/724-743 M). Sejak itu Samankhudat dan keturunannya mengabdikan diri kepada penguasa Islam.

Selanjutnya pada masa kekuasaan Khalifah al-Ma’mun penguasa Dinasti Abasiyyah, yang memerintah tahun 198-218 H/813-833 M, keempat cucu Samankhudat pemegang jabatan penting sebagai gubernur pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah : cucu yang pertama, Nuh di Samarkand, cucu yang kedua bernama Ahmad bin Asad di Fergana (Turkistan) dan Transoksania. Cucu yang ketiga yaitu Yahya di Shash serta Ilyas di Herat, Afghanistan.

Dalam perkembangan berikutnya, Ahmad bin Asad, salah seorang cucu Samankhudat, mulai merintis berdirinya Dinasti Samaniah di daerah kekuasaannya, Fergana. Ahmad mempunyai dua putra yaitu Nasr dan Isma’il yang juga menjadi orang kepercayaan Khalifah Abbasiyah.

Nasr I bin Ahmad dipercayakan menjadi gubernur di Transoksania dan Isma’il bin Ahmad di Bukhara. Nasr I bin Ahmad selanjutnya mendapat kepercayaan dari Khalifah al-Mu’tamid (257-279 H/870-892 M) untuk memerintah seluruh wilayah Khurasan dan Trasoksania. Daerah luas wilayah yang nantinya menjadi basis perkembangan Dinasti Samaniah.

Oleh karena itu, Nasr I dipandang sebagai pendiri Hakiki Dinasti Samaniah. Antara Nasr I dan Isma’il selalu terlibat konflik yang mengakibatkan peperangan pada tahun 275 H/888 M. Dalam peperangan ini Nasr I kalah dan ditawan.

Dengan kekalahannya, kepemimpinan Dinasti Samaniah beralih ke tangan Isma’il bin Ahmad, dan ibukota pemerintahannya dipindahkan dari Bukhara ke Khursan. Langkah awal yang dilakukan Isma’i I bin Ahmad adalah memperkokoh kekuatan dinasti ini dan mengamankan batas-batas wilayahnya dari ancaman suku liar Turki.

Pada langkah berikutnya, ia melakukan penataan administrasi pemerintahan dan poros wilayah kekuasaan ke Tabaristan ( Selatan Laut Kaspia, Irak Utara) dan Rayy (Iran). Menurut Ibnu Asir ( sejarawan muslim 1160-1234), Isma’il bin Ahmad memiliki sifat terpuji antara lain mencintai dan memuliakan para ilmuwan serta bersikap adil kepada rakyatnya.

Ia wafat pada tahun 295 H/907 M dan pemerintahannya diteruskan oleh pimpinannya Ahmad bin Isma’il. Ahmad bin Isma’il tidak banyak mencatat prestasi selama pemerintahannya, kecuali meneruskan apa yang telah dirintis ayahnya.

Pada tahun 301 H/914 M, ia dibunuh oleh sekelompok pemuda tetapi tidak jelas motif pembunuhannya. Ia digantikan putranya, Nasr II bin Ahmad. Nasr II bin Ahmad berhasil memperluas wilayah sehingga meliputi Sijitan, Karman, Jurjan, Rayy, Tabaristan, Khurasan, dan Transoksania.

Setelah Nasr II bin Ahmad, bawa khalifah berikutnya tidak mampu lagi mengadakan perluasan wilayah. Bahkan khalifah terakhir yaitu Isma’il II al-Muntasir tidak dapat mempertahankan wilayah dari serbuan pasukan dinasti Qarakhan (999-1211) dan Dinasti Gazwani (999-1037).

Akhirnya aku memilih kekuasaan Dinasti Samaniah dipecah menjadi dua, daerah Transoksania direbut oleh Qarakhan dan wilayah Khurasn menjadi milik penguasa Dinasti Gaznawi. Isma’il II al-Muntasir terbunuh pada tahun 395 H/1005 M. Sumbangan dinasti ini bagi perkembangan Islam antara lain pengembangan sastra, baik sastra Arab maupun sastra Persia.

Seperti ini sangat berminat mengembangkan sastra Persia walaupun bahasa resmi yang digunakan tetap bahasa Arab. Di masa itu lahir sastrawan sastrawan terkemuka seperti Firdausi (934-1020) yang dikenal dengan syairnya dan Bal’ami (961-976) yang berjasa karena menerjemahkan karya Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari.

Perhatian asa penguasa terhadap perkembangan ilmu dan sains menjadikan Bukhara ilmu pengetahuan. Ketika itu kota Baghdad hampir tersaingi oleh Bukhara yang alami dikunjungi para ilmuwan dari berbagai plosok dunia islam karena perpustakaan yang lengkap.

Pada masa itu muncul para ahli kedokteran dan filsafat. Diantara yang terkenal adalah Ibnu Sina dan Abu Bakar Muhammad bin Zakariyya ar-Razi. Pada masa pemerintahan Nuh II, Ibnu Sina pernah dipanggil ke istana untuk mengobati Khalifah.

120 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanTafsir

Nasikh Dan Mansukh Dalam Islam

6 Mins read
Kuliahalislam.com-Kata Nasikh berasal dari kata “Naskh” yang mengandung beberapa arti yaitu menghapus dan menghilangkan (al-izalat), mengganti dan menukar (at-tabdil), memalingkan (at-tahwil) dan…
Keislaman

Burung Hud-hud Epistemologi Qur’ani

4 Mins read
Dalam Islam, pengetahuan bukan sekadar fakta, tapi harus dapat dipertanggungjawabkan dan selaras dengan nilai spiritual. Kisah Hud-hud dalam Surah An-Naml menunjukkan bagaimana…
Keislaman

Antara Kasih Sayang Allah atau Istidraj-Nya

3 Mins read
Pernahkah kita merasakan atau melihat teman kita yang sesama muslim dimana dia sangat menjaga ibadahnya seperti salat, mengaji Alqur’an bahkan rajin sedekah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights