Keislaman

Kehendak Tuhan atas Keimanan Manusia: Telaah Penafsiran Al-Zamakhsyari

4 Mins read

Al-Qur’an tentu menjadi sumber pedoman bagi seluruh umat manusia, tentunya umat Islam. Al-Qur’an sebagai Kalam Allah menjadi pedoman untuk dalam menggapai hidayah ketuhanan. Berbicara mengenai hidayah, banyak dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa hidayah, kesesatan, keimanan dan kekafiran adalah Kuasa Allah dan Allah yang menghendaki bagi siapa-siapa yang akan mendapatkan dari salah satunya.

Hal ini tentu akan menjadi sedikit kerancuan jika difahami secara literal. Secara bersamaan Al-Qur’an mengutus manusia untuk berbuat kebaikan dan beriman kepada Nya, menjamin adanya balasan pada setiap perbuatan di hari akhir kelak, namun mengapa Tuhan yang memang memutuskannya sejak awal? Kali ini penulis akan mengupas penafsiran az-Zamakhsyari yang identik menggunakan pendekatan linguistik dan gramatikal kebahasaan dengan tidak menegasikan unsur lainnya.

Sosok Sang Mufassir al-Zamakhsyari

Al-Zamakhsyari lahir pada 27 Rajab 467 H di sebuah desa bernama Zamakhsyar, di wilayah Khuwarizm. Lingkungan keluarganya dikenal religius, ayahnya ahli sastra yang taat, ibunya lembut dan mencintai ilmu. Sejak kecil, ia dibina dengan disiplin dan didorong untuk belajar demi kebahagiaan kedua orang tuanya.

Perjalanan intelektualnya dimulai di Bukhara, tempat ia memperdalam sastra Arab, adab, dan ilmu kebahasaan. Kemudian ia melanjutkan pengembaraan ke Baghdad untuk belajar fiqh Hanafi sekaligus memperkaya keahliannya dalam bahasa Arab dan ilmu alat. Kecemasannya akan keotentikan pemahaman agama membuatnya tidak pernah berhenti menuntut ilmu.

Puncak perjalanan spiritual-intelektualnya terjadi ketika ia tinggal di Makkah selama beberapa tahun. Di salah satu sudut Masjidil Haram, ia menghabiskan hari-harinya menulis dan merenung. Di situlah ia menyusun al-Kasysyaf, sebuah tafsir yang kini menjadi warisan besar bagi dunia keilmuan Islam. Karena lamanya ia “bertetangga” dengan Ka’bah, masyarakat menjulukinya Jārullāh (tetangga Allah).

Baca...  Apakah Ilmu Kalam Dapat Berkontribusi Dalam Menyelesaikan Persoalan Radikalisme Dan Sekularisme?

Produktivitasnya luar biasa. Ia menulis lebih dari 50 karya, mulai dari tafsir, nahwu, balaghah, fikih, sampai hadits. Namun al-Kasysyaf tetap menjadi karya monumentalnya, sebuah tafsir yang dikagumi dan sering dijadikan rujukan mufassir karena kejeniusan bahasanya, meskipun juga dikritik karena corak teologi Mu’tazilah yang dominan ia gunakan.

Titik Masalah: Benarkah Allah “Menyesatkan” Tanpa Alasan?

Ayat tentang hidayah dan kesesatan sering kali menimbulkan kesan bahwa manusia seperti tanpa kendali atas keimanan atau kemusyrikannya. Allah dalam firmanNya menyatakan ضلّ مَنْ يَشاءُ وَيَهْديْ مَنْ يَشَاء “Allah menyesatkan siapapun yang dikehendaki dan memberi petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki”. Frasa demikian terdapat dalam Al-Qur’an 2 kali yakni pada Surah An-Nahl ayat 93 dan Surah Fathir ayat 8 (terdapat 2 kali dengan frasa yang sama persis, dan terdapat banyak pula di ayat yang lain dengan makna yang sama, tetapi terdapat perbedaan frasa).

Apabila dilihat dan difahami secara literal, ayat tersebut seakan menegaskan bahwa kesesatan dan petunjuk murni atas kendali Allah bukan usaha manusia dan Allah bisa menyesatkan siapapun dan memberi petunjuk kepada siapapun, tanpa syarat. Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya memahami ayat-ayat tersebut secara lugas, tidak hanya literal dan berbeda dengan umumnya pemahaman khalayak bahwa keimanan seseorang tergantung kehendak Tuhan.

Ia memulai dengan mengupas makna kata, menjelaskan hubungan kalimat, dan menempatkannya dalam konteks historis. Baginya, Al-Qur’an tidak mungkin berbicara dengan cara yang menyalahi keadilan Tuhan. Berikut ini penjelasan tentang penafsiran ayat tersebut pada setiap Surah yang berbeda.

Penafsiran terhadap QS an-Nahl ayat 93

وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَلكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشاءُ وَلَتُسْئَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (٩٣)

Dalam kitab al-Kasysyāf jilid 2 halaman 631, al-Zamakhsyari memulai penjelasannya dengan menerangkan firman Allah “Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kalian satu umat” bukan bermakna bahwa Allah tidak mampu atau tidak menghendaki umat bersatu dalam iman. Az-Zamakhsyari menjelskan bahwa Allah mampu menjadikan manusia satu agama secara iljā’ (paksaan) dan qahr (pemaksaan total), tetapi Allah tidak memilih cara tersebut. Sebab, hikmah Allah menghendaki bahwa manusia diberi ruang ikhtiar, sehingga pahala, dosa, hidayah, dan penyesatan menjadi sesuatu yang bermakna.

Baca...  Ali Al-Madini Ulama Periwayat Hadis

Kemudian az-Zamakhsyari melanjutkan penafsirannya dengan menafsirkan dua frasa penting (yang menjadi bahsan kali ini)

أن يضلّ مَنْ يَشاءُ وهو أن يخذل من علم أنه يختار «٣» الكفر ويصمم عليه وَيَهْدِي مَنْ يَشاءُ وهو أن يلطف بمن علم أنه يختار الإيمان.

Az-Zamakhsyari menjelaskan bahwa yuḍillu man yasyā’ dalam ayat tersebut ialah bentuk “penelentaran” Allah terhadap orang yang diketahuiNya akan memilih kekafiran dan bersikukuh atas kekafirannya. Dan ia menjelaskan frasa yahdī ma yasyā’ dalam ayat tersebut ialah yakni pemberian al-luṭf (melunakkan, melembutkan hati) yakni bantuan dan kemudahan Ilahi terhadap orang-orang yang Dia ketahui condong untuk memilih keimanan.

Penafsiran terhada QS Fathir ayat 8

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَراتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِما يَصْنَعُونَ (٨)

Dalam al-Kasysyāf jilid 3 halaman 600, al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa ayat ini datang setelah Allah menyebut dua golongan, meliputi orang yang kafir dan orang yang beriman. Setelah penjelasan itu, Allah mengarahkan firman-Nya kepada Nabi dengan menggambarkan sebuah kondisi ketika seseorang yang perbuatan buruknya dihiasi (zuyyina) sehingga ia melihatnya sebagai sesuatu yang baik. Menurut al-Zamakhsyari, keadaan ini bukanlah kondisi awal seseorang, melainkan hasil dari proses panjang penolakan kebenaran hingga ia kehilangan kemampuan membedakan antara baik dan buruk.

Setelah memberikan gambaran tersebut, al-Zamakhsyari kemudian menafsirkan frasa “fa inna Allāha yuḍillu man yasyā’ wa yahdī man yasyā’” dengan menyatakan kesamaan mengenai dua hal, yakni tazyīn al-‘amal (dihiasinya amal buruk) dan idhlāl (penyesatan) memiliki makna yang sama.

Keduanya merupakan keadaan dimana pelaku maksiat telah memiliki sifat sedemikian rupa sehingga segala bentuk nasihat, dakwah dan ajakan kebaikan tidak lagi bermanfaat baginya. Karena kondisi moral seperti itu, ia layak mendapatkan khidzlān yaitu penelantaran Allah dan pelepasan dirinya dari bantuan ilahi.

Baca...  Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad fi Al-I'tiqad: Kebijaksanaan Tindakan Tuhan Mungkinkah?

Setelah berada dalam kondisi ditinggalkan tersebut, ia akan tenggelam lebih jauh dalam kesesatan, memutus semua perintah akal sehat, dan mengikuti hawa nafsu, hingga yang buruk tampak baik baginya dan yang baik tampak buruk. Sedangkan frasa yahdī man yasyā’ adalah kebalikannya, Allah memberi petunjuk kepada orang yang tidak memiliki sifat keras kepala tersebut, yakni seseorang yang masih memiliki kesiapan batin, kepekaan moral, dan kecenderungan untuk menerima kebenaran.

Dengan demikian, al-Zamakhsyari menawarkan jalan tengah yang menenangkan kerancuan awal tentang hidayah dan kesesatan. Baginya, Allah tidak pernah menyesatkan hamb-hamba yang dikehendaki, melainkan Allah menyikapi hamba-hambaNya yang memilih dan bersikeeras pada kemungkaran dengan khuḍlan atau penelantaran.

Begitupun juga memberi hidayah, Hidayah Allah selalu terbuka untuk semua manusia. Namun Allah memberikan kelembutan dan kemudahan untuk menerima petunjuk pada orang-orang yang hatinya tidak menolak kebenaran dan tidak angkuh seperti golongan sebelumnya. Penafsirannya menghadirkan keharmonian antara keadilan Tuhan dan ikhtiar manusia.Wallāhu A’lam.

2 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Keislaman

Benarkah Ibadiyah Takfiri? Mengungkap Wajah Moderat Khawarij dalam Kitab Tafsir Hamyan Al-Zad

4 Mins read
Jika Khawarij dikenal sebagai kelompok paling ekstrem, bagaimana mungkin salah satu cabangnya justru menjadi suatu kelompok yang moderat dan intelektual? Nama Khawarij…
KeislamanPendidikan

Asal Usul Roh Menurut Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Mempelajari asal usul Roh ada kaitannya dengan masalah kekadiman atau kebaharuan Roh. Berdasarkan pendapat Plato, ahli filsafat Yunani mengatakan bahwa Roh itu…
Keislaman

Lima Pilar Rasionalisme Muktazilah: Telaah Penafsiran Qadi ‘Abd al-Jabbar dalam Tanzih al-Qur’an ‘an al-Mata‘in

4 Mins read
Muktazilah salah satu aliran teologi Islam yang menempati posisi penting dalam sejarah intelektual Islam. Aliran ini dikenal kental nuansa doktrin teologis dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
KeislamanPendidikan

Membaca Rahasia Al-Qur’an dalam Asas Al-Takwil: Ketika Ayat Menjadi Simbol dan Ilmu Menjadi Rahmat atau Azab

Verified by MonsterInsights