Oleh: Mohammad Bachrul Falah*
Dalam kitab al-Muwafaqat yang ditulis oleh Imam Syatibi diceritakan, suatu ketika Abdul Malik meminta kepada ayahnya untuk menerapkan syariat Islam secara total dan serentak di kekhalifahan yang dipimpinnya. Namun Khaliifah Umar Ibn Abdul Aziz mengatakan:
لا تعجل يا بني، فان الله ذم الخمر في القران مرتين، وحرمها في الثالثة، واني اخاف أن أحمل الحق على الناس جملة، فيدفعوه جملة، ويكون من ذا فتنة
“Jangan tergesa-gesa wahai anakku, sesungguhnya Allah mencela khamr di al-Quran pada kesempatan kedua, dan mengharamkannya pada kesempatan ketiga, sesungguhnya aku khawatir jika memaksa manusia untuk menerapkan Islam sekaligus kemudian mereka akan menolaknya dengan membabi-buta, dan justru menimbulkan fitnah.”
Jawaban yang bijak dari Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz mengajarkan kita tentang tahapan pensyariatan yang diajarkan oleh al-Quran. Pengharaman khamr oleh al-Quran tidak dilakukan secara langsung.
Dengan arti bahwa pada awal al-Quran berbicara mengenaii khamr, ayat tentangnya hanya berkaitan dengan perenungan dan informasi sebagaimana dalam An-Nahl: 67 dan al-Baqarah:129. Karena masyarakat Arab sebelum Islam telah terbiasa untuk meminum dan memanfaatkannya. Baru kemudian pada pembicaraan terakhir al-Quran mengharamkannya.
Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk bersikap bijak dalam menyikapi masyarakat. Kewajiban terhadap pelaksanaan syariat Islam pasti (qath’i) dalam masyarakat memang benar adanya.
Namun dalam pelaksanaannya harus mempertingkan kemaslahatan pada individu maupun kelompok, dengan melihat kesiapan penerimannya. Sebagaimana kewajiban puasa bagi muslim, jika tidak mampu melaksanakannya karena satu dan lain hal, syariat Islam menawarkan keringanan-keringanan agar manusia terlepas dari kesukaran terhadap pelaksanaannya.
Rasulullah SAW bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ, وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Perkara yang Aku cegah maka jauhilah, dan perkara yang Aku perintahkan maka lakukan semampu kalian.” (Muttafaq alaih)
Motif Terorisme
Sebagian umat muslim berpendapat bahwa rajam, qishah, dan hukuman lainnya dalam al-Quran harus diterapkan sesuai dengan keterangan tekstual di dalamnya. Argumentasi tersebut memang dapat diterima.
Akan tetapi penerapan hal itu tidak selayaknya dilakukan dengan cara kekerasan yang berujung pada tindakan terorisme. Tindakan terorisme justru berseberangan dengan nilai dakwah Islam itu sendiri. Karena dakwah seharusnya dilakukan dengan cara yang santun seperti keterangan dalam Q.S. An-Nahl: 125.
Tindakan terorisme merupakan cara salah dalam mengenalkan Islam kepada masyarakat dunia. Dakwah dengan cara kekerasan justru akan menimbulkan kesan intimidasi bagi objek dakwah, sehingga melahirkan gerakan “anti Islam” yang semakin luas di Eropa.
Kebencian mendasar tersebut akan mempersempit ladang dakwah bagi umat muslim lainnya yang ingin mengenalkan prinsip syariat Islam secara jelas (bayyinah). Maka dakwah semacam ini justru merupakan dakwah yang lebih banyak menimbulkan kemungkaran daripada kemaslahatan, sehingga haram untuk dilakukan.
Abdul Qadir ‘Audah dalam at-Tasyri’ al-Jinai’y fi al-Islam mengatakan:
اما اذا علم أن إزالة المنكر ستؤدي الى ما هو شر منه فقد سقط عنه الواجب، بل حرم عليه النهي
“Adapun jika diketahui bahwa penghilangan kemungkaran menyebabkan sesuatu yang lebih buruk darinya, maka kewajiban nahi mungkar tersebut gugur, bahkan haram.”
Keinginan untuk menerapkan syariat Islam secara formal harus dibarengi dengan kebijaksanaan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz.
Kondisi sosial masyarakat saat ini berbeda dengan zaman dahulu. Hubungan masyarakat dunia setelah adanya perang dunia kedua didasari atas rasa perdamaian dengan lahirnya piagam PBB, bukan dengan kekerasan dan peperangan sebagaimana diceritakan dalam buku sejarah.
Jika seseorang berpendapat bahwa syariat formal harus diterapkan di negara, maka ia dapat menyampaikan pendapatnya dengan cara-cara yang demokratis, agar dapat diterima oleh semua masyarakat dan dapat diterapkan.
Negara telah menyiapkan beberapa lembaga yang berfungsi untuk menampung aspirasi rakyat. Dengan lembaga tersebut seseorang dapat menyalurkan aspirasinya. Penyampaian aspirasi seperti itulah yang diajarkan Nabi kita Muhammas SAW.
Nabi SAW bersabda dalam hadist sahih:
من كانت عنده نصيحة لذي سلطان فلا يكلمه بها علانية، واليأخذه بيده فليخل به، فإن قبلها والا وقد كان أدى الذي عليه والذي له
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah, maka jangan dengan terang-terangan di tempaat terbuka. Namun jabatlah tangannya, ajaklah bicara di tempat tertutup. Bila nasehatnya diterima bersyukurlah. Bila tidak diterima, maka tidak mengapa, sebab sungguh ia telah melakukan kewajibannya dan memenuhi haknya. (HR. al-Hakim)
*Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga