Kebijakan Nabi Muhammad SAW terhadap Bani Qurayzah . Huyay ibn Akhtab, salah satu pemimpin Bani Nadir, juga tewas. Dia telah mengingkari janji yang dibuat kelompoknya sendiri, Bani Nadir . Mereka diusir dari Madinah tanpa ada yang terbunuh.
Namun tindakannya menghasut kaum Quraisy dan Gatfan, kemudian mengorganisir masyarakat dan seluruh suku Arab untuk melawan Nabi Muhammad SAW. Hal ini meningkatkan rasa permusuhan antara Yahudi dan Muslim.
Sehingga mereka berkeyakinan, bahwa kaum Yahudi tidak akan merasa puas sebelum dapat mengikis habis Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Beliaulah pula yang kemudian mengajak Bani Qurayzah untuk mengingkari perjanjian dan meninggalkan sikap netralnya. Seandainya Bani Qurayzah selamat, mereka tidak akan mengalami nasib buruk seperti itu.
Bahkan, dia juga yang kemudian datang ke benteng Bani Quraizah (setelah kepergian pihak al-Ahzab) dan mengajak mereka melawan kaum Muslimin. Sekiranya dari awal mereka bersedia menerima keputusan Muhammad serta mengakui kesalahan, pertumpahan darah dan penebasan leher niscaya tidak akan terjadi.
Akan tetapi, permusuhan itu sudah begitu berakar dalam jiwa Huyay dan kemudian menular ke dalam hati orang-orang Quraizah, sehingga Sa’d ibn Mu’az sendiri sebagai sekutu mereka yakin bahwa jika mereka dibiarkan hidup, keadaan tidak akan pernah menjadi tentram.
Mereka akan menghasut lagi golongan Ahzab, akan mengerahkan kabilah-kabilah dan orang-orang Arab supaya memerangi muslimin, dan akan mengikis sampai ke akar-akarnya kalau mereka dapat mengalahkan.
Keputusan yang telah diambilnya dengan begitu keras, hanyalah karena terdorong okeh sikap hendak mempertahankan diri. Dengan pertimbangan bahwa, adanya atau lenyapnya orang-orang Yahudi itu berarti hidup atau matinya kaum muslimin.
Tidak perlu beranggapan bahwa Nabi Muhammad melakukan tekanan terhadap Sa’d ibn Mu’az untuk menghukum Bani Quraizah sebagaimana yang dilakukan. Orang yang bervisi jauh seperti Sa’d pasti telah menyadari bahwa, membiarkan ikatan kesukuan atau kabilah lebih dipentingkan daripada ikatan kepada Islam.
Kenapa demikian? Karena ini akan berdampak terhadap bangkitnya kembali pertikaian berdarah yang dahulu mereka harapkan kedatangan Nabi Muhammad untuk membebaskan Madinah dari perpecahan kronis tersebut.
Bukti tentang masih kuatnya ikatan kekabilahan dan ide-ide lama yang berkaitan dengan ikatan tersebut memperlihatkan bahwa, dalam menunjukan Sa’d ibn Mu’az sebagai hakim atau penengah bagi Bani Quraizah.
Nabi Muhammad tidak berusaha untuk menyembunyikan kekuasaan diktatorial yang pada periode ini belum beliau pegang. Akan tetapi, menghadapi situasi sulit dengan satu-satunya cara yang bijaksana yang dimilikinya pada saat itu.
Watt menyatakan sebagian penulis Eropa mengkritik keras hukuman yang mereka anggap biadab dan tidak manusiawi. Namun, harus diingat bahwa di Arab pada masa itu ketika suku-suku berperang atau tidak memiliki perjanjian antara satu sama lain, mereka tidak punya kewajiban terhadap satu sama lain, bahkan tidak mengenal yang mungkin kita sebut dengan kepatutan hukum.
Musuh dan orang asing tidak punya hak apapun. Ketika orang tidak membunuh dan berlaku kejam, itu bukan karena kesadaran akan kewajiban terhadap sesama manusia, tetapi karena takut terhadap kemungkinan pembalasan oleh kerabatnya.
Jika Nabi Muhammad mengambil kebijakan agar seluruh Bani Quraizah diizinkan pergi, suatu ketika mereka akan membesarkan posisi Yahudi di Khaibar dan mengorganisir serangan baru ke Madinah.
Hukuman mati itu mengesankan bagi para musuh Nabi Muhammad. Tak seorangpun terkejut dengan eksekusi itu, dan kaum Quraizahpun telah menerimanya. Hukuman mati itu mengirim pesan suram bagi kaum Yahudi di Khaibar.
Para sejarawan mencatat bahwa Nabi Muhammad tak takut akan pembalasan dendam dari kawan atau sekutu Quraizah atas kematian dalam pertumpahan darah tersebut. Itu merupakan simbol kekuatan luar biasa Nabi Muhammad yang dicapainya setelah pengepungan. Sehingga dia menjadi pemimpin paling pengaruh di Arab.
Setelah pembantaian Bani Quraizah tidak ada kabilah Yahudi di Madinah, meski mungkin ada beberapa kelompok kecil. Kekuatan mereka praktis hancur. Meski ada beberapa penting Yahudi lainnya yang masih setia pada Piagam Madinah.
Terhadap mereka, Nabi Muhammad memperlakukan mereka dengan baik. Meski demikian, kaum Yahudi tersebut tak diragukan mereka kini sangat berhati-hati dan mengindari bukan hanya aktivitas permusuhan, tetapi juga hubungan-hubungan kompromi.
Dengan demikian jelaslah bahwa alasan utama Nabi Muhammad menjatuhkan hukuman terhadap suku-suku Yahudi adalah karena ketidaksetiaan mereka kepada kesatuan ummah, sekaligus melanggar prinsip kebebasan beragama.
Padahal, mereka mengetahui kebenaran ada pada Nabi Muhammad, dan bahwa beliau haruslah ditaati, sesuai dengan kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat Madinah yang juga mereka tanda tangani.
Sekalipun tiga suku utama Yahudi diusir dan tidak tercantum lagi dalam teks piagam, namun ia tetap berlaku selama masa hidup Nabi Muhammad. Sebab, golongan-golongan Yahudi lain, yang disebut dalam teks piagam, yang tidak berkhianat tetap dibolehkan Nabi Muhammad tinggal di Madinah.
Jadi pengusiran tiga suku Yahudi tersebut tidak dapat menghapuskan pasal-pasal Piagam Madinah yang berkaitan dengan kaum Yahudi khususnya, dan pasal-pasal lain yang bersifat umum.
Menurut S. Pulungan, pelanggaran yang mereka lakukan bukan didorong oleh faktor mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh ketetapan-ketetapan piagam yang telah mereka setujui dan tandatangani, ataupun kaum muslimin memperlakukan mereka yang saudara-saudaranya tidak adil.
Di antara mereka sendiri, beberapa orang Yahudi yang jujur dan adil, mengingatkan mau berkhianat agar tidak sekali-kali melakukannya. Sebab mereka terikat perjanjian dengan Nabi Muhammad.
Pengakuan ini menjadi bukti pula bahwa mereka tidak diperlakukan tidak adil. Artinya, pelanggaran dan pengkhianatan yang mereka lakukan bukan memprotes isi perjanjian dan pelaksanaannya, melainkan didorong oleh faktor-faktor lain sebagai terlihat dalam pemaparan fakta historis di atas yang bersifat politis dan agama.
Tindakan pengkhianatan mereka terdiri dari pelanggaran hak warga umat Islam, menimbulkan kerusuhan di kota Madinah, membantu kaum Quraisy dalam perang Uhud secara tidak langsung, rencana pembunuhan terhadap Nabi Muhammad dan bergabung dengan kaum kafir untuk memerangi Nabi Muhammad dan kaum muslimin.
Tentu saja, kejahatan-kejahatan ini bertentangan dengan ketetapan Piagam Madinah pada pasal 44 dan 47. Substansi muatan pasal-pasal ini, yang melarang tindakan-tindakan tersebut, sesuai dengan pernyataan Alqur’an Surat Al-A’raf ayat 33, bahwa Allah mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar serta menyekutukan-Nya dengan sesuatu.
قُلْ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْـفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْاِثْمَ وَالْبَـغْيَ بِغَيْرِ الْحَـقِّ وَاَنْ تُشْرِكُوْا بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهٖ سُلْطٰنًا وَّاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf [7]: 33).
Peristiwa ini sendiri, yakni pemberian hukuman terhadap Bani Quraizah direkam oleh Alqur’an dalam Surat Al-Ahzab ayat 26 dan 27 yang menyatakan bahwa, sebagian mereka dibunuh dan sebagian yang lain ditawan dan harta benda mereka diwarisi oleh kaum muslimin.
وَاَنْزَلَ الَّذِيْنَ ظَاهَرُوْهُمْ مِّنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ مِنْ صَيَاصِيْهِمْ وَقَذَفَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ فَرِيْقًا تَقْتُلُوْنَ وَتَأْسِرُوْنَ فَرِيْقًا. وَاَوْرَثَكُمْ اَرْضَهُمْ وَدِيَارَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ وَاَرْضًا لَّمْ تَطَــئُوْهَا ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرًا
Artinya: “Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab (Bani Quraizah) yang membantu mereka (golongan-golongan yang bersekutu) dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka. Sebagian mereka kamu bunuh dan sebagian yang lain kamu tawan.” “Dan Dia mewariskan kepadamu tanah-tanah, rumah-rumah, dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab [33]: 26-27).
Sedangkan ayat 9 sampai ayat 25 menggambarkan keadaan golongan-golongan yang bersekutu itu. Wallahu a’lam bisshawaab.
Referensi:
Ibn Ishaq, Al-Sirah al-Nabawiyah.
Al-Waqidi, Kitab al-Magazi, jilid II.
Haikal, Hayatu Muhammad.
Watt, Muhammad Prophet and Statesman.
Karen Armstrong, Muhammad, a Biography of the Prophet, terj, Sirikit Syah, Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis.
S. Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintah dalam Piagam Madinah.