Gerakan radikalisme
semakin tampak ketika muncul berbagai peristiwa teror diberbagai belahan dunia
tak terkecuali tanah air. Adanya aksi terorisme dala skala nasional seperti bom
Bali tahun 2002, ledakan dan baku tembak antara teroris dan polisi dikawasan MH
Thamrin tahun 2016, pembakaran gereja di Aceh Singkil tahun 2015, kasus bom
bunuh diri dihalaman mapolresta Solo dan ledakan bom Molotov di depan gereja
Kota Samarinda di tahun yang sama 2016, bahkan konflik agama yang juga diiringi
dengan pembantaian terjadi di Ambon tahun 1999.[1]
Skala internasional
seperti munculnya isu Sunnah-Syiah yang dipolitisasi, penembakan di masjid
Selandia Baru dengan menewaskan 51 orang tahun 2019, munculnya pemboman
komunitas Yazidi Irak tahun 2007, serangan bom bunuh diri di gerakan katolik
dengan korban tewas 20 orang di tahun 2019. Pelibatan anggota keluarga
akhirakhir ini menjadi rangkaian aksi terorisme. Tahun 2018 terjadi aksi
pengeboman yang melibatkan satu keluarga yakni suami, isteri dan anak di
Surabaya, dengan kata lain aksi teroris ini memanfaatkan anak-anak. Upaya
mencegah paham radikalisme yang masuk dalam diri anak, orang tua secara kuat
memiliki peran sentral dalam kehidupan anak. Keluarga menjadi sebuah pendidikan
utama dalam menangkal gerakan radikalisme dengan kerjasama antara suami istri
dalam tarbiyatul awlad.[2]
Bangsa Indonesia sangat
tidak setuju dengan paham radikalisme, karena paham tersebut ingin merubah
ideologi Pancasila dengan ideologi Islam. Kita semua tahu bahwa negara
Indonesia merupakan negara yang majemuk budaya, oleh karenanya paham tersebut
sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dan pandangan hidup yang dibangun
bangsa Indonesia.
Saat ini demokrasi dan
moderasi di Indonesia terancam kepunahannya, terlihat dalam Survei opini
terbaru terhadap Muslim Indonesia juga mengkonfirmasi hal demikian. Misalnya,
Survei Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) tahun 2017 menunjukkan
sejumlah umat Islam Indonesia mendukung diberlakukannya Syariat Islam sebagai
hukum di Indonesia dengan rincian 39 persen responden secara nasional dan di
tingkat lokal 41 persen responden. Menunjukkan 36 persen Muslim Indonesia
setuju dengan pernyataan bahwa Islam harus menjadi satu-satunya agama resmi di
Indonesia. Sementara Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan memberikan hasil
surveynya yang diperoleh pada bulan September 2019 lalu, ada sekitar 53% warga
muslim Indonesia yang masih tidak setuju terhadap pembangunan rumah ibadah bagi
warga non-muslim. Dan sisanya ada 36,8% yang mengaku setuju atas pembangunan
rumah ibadah non-muslim.[3] Survei
terbaru lainnya seperti Alvara Research Consulting menemukan bahwa satu dari
lima siswa mendukung pembentukan kekhalifahan di Indonesia. Survei, melibatkan
lebih dari 4.200 pelajar Muslim, kebanyakan dari Sekolah Menengah Atas Nengeri
dan universitas negeri terkemuka di Jawa, menemukan hal itu hampir satu dari
empat siswa, dengan derajat yang berbeda, siap berjuang untuk mendirikan
kekhalifahan Islam.[4]
Kelompok usia yang
paling rentan terseret oleh arus radikalisme adalah generasi muda. Generasi
muda merupakan usia belia dan jiwa yang masih labil dengan semangat yang
membara, membuat generasi muda menjadi kelompok sosial yang paling mudah
disusupi dan menjadi sasaran bagi kelompok radikal yang menyebarkan pemahaman
yang dangkal dan sikap yang kaku. Pada saat yang sama, liberalisme juga sudah
mulai menjangkiti sebagian kalangan muda, sehingga perlu strategi untuk
menanamkan nilai-nilai moderat Islam ke dalam diri para pemuda. Para pendidik
di berbagai lembaga tentu mempunyai tanggung jawab moral untuk memberikan
solusi dengan menanamkan sikap pertengahan atau moderat (Yunus & Salim,
2018 : 181-194).[5]
Dengan demikian, aksi
radikalis yang memicu terorisme adalah sesuatu hal yang mendesak karena aksi
radikalis terorisme ini tidak hanya menyerang lembaga-lembaga negara, rumah
ibadah dan masyarakat sipil. Melainkan juga, menakut-nakuti, memapar, dan
menjangkiti anak-anak, remaha dan kaum muda mahasiswa. Karena itu, langkah
untuk mencegah dan membendung aksi radikalis terorisme ini adalah menghidupkan
kesadaran semua stakeholder pejabat pemerintahan, masyarakat sipil dan kaum
muda mahasiswa untuk mencipta dan lingkungan yang damai, toleran, saling
menghormati dan mencerahkan semesta.
[1] Lutfatul Azizah
and Azhar Purjatian, “Islam Di Tengah Masyarakat Multikultural Indonesia (Studi
Atas Konsep Multikultural Abdul Aziz Sachedina),” Toleransi: Media Komunikasi
Umat Beragama 7, no. 1 (2015): 70–88. 2 Guntur Cahaya Kesuma et al.,
“Deradikalisasi Paham Agama Melalui Organisasi Ekstra Kampus Di Universitas
Islam Negeri Raden Intan Lampung,” Fikri : Jurnal Kajian Agama , Sosial Dan
Budaya 4, no. 2 (2019): 154–66.
[2]
PENANAMAN
NILAI-NILAI ISLAM MODERAT PADA ANAK USIA DINI DALAM KELUARGA SEBAGAI UPAYA
MENANGKAL RADIKALISME. Al Fitrah Journal Of Early Childhood Islamic Education,
Vol.4 No.2 Januari 2021. Rosyida Nurul Anwar, Universitas PGRI Madiun. Hlm
156-157.
[3] PANCAWAHANA:
Jurnal Studi Islam Vol.15, No.1, April 2020. IMPLEMENTASI PENDIDIKAN ISLAM
MODERAT DI PONDOK PESANTREN BAYT AL-HIKMAH KOTA PASURUAN Siti Yumnah STAI
Pancawahana Bangil. Hlm 38.
[4] Alexander R.
Arifianto, ‘Islamic Campus Preaching Organizations in Indonesia: Promoters of
Moderation or Radicalism?’, Asian Security, 15.3 (2019), 323–42.
[5] KONTRIBUSI
PERGURUAN TINGGI NAHDLATUL ULAMA: Membangun Islam Moderat, Inklusif, dan
Kebangsaan Fridiyanto, Muhammad Rafii, Muhammad Sobri *UIN STS Jambi, **STAI
Ahsanta Jambi, ***Universitas Jambi Jalan.
1 Comment