Kita sepakat bahwa agama Islam memiliki kebenaran yang absolut, mutlak. Konsekuensi dari keyakinan ini adalah kita wajib mengikuti ajaran agama tersebut.
Hanya persoalannya, aspek manakah agama yang dianggap sebagai memiliki kebenaran mutlak itu? Seberapa banyak porsi ajaran absolut dalam agama itu?
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa absolutisitas agama ada pada wilayah ijma’ ulama, atau pada wilayah dalil muhkamat, seperti tentang keesaan Tuhan, kebenaran Alqur’an, perintah salat dan seterusnya.
Sementara, pada wilayah dalil musytarak dan mutasyabihat yang masih menjadi ikhtilaf ulama (karena perbedaan penafsiran, interpretasi), bersifat relatif.
Akan tetapi yang perlu dicatat, bahwa relativitas yang dimaksud adalah relativitas dalam konteks kebenaran, bukan dalam konteks sebaliknya.
Karena Tuhan memberikan jaminan kepada ulama atau mujtahid yang melakukan upaya istinbath al-ahkam, yaitu jaminan kebenaran (idza-ijtahada al-hakim fa ashabaha falahu ajrani wa idza akhtha’a falahu ajrun wahid).
Pertanyaan yang mungkin muncul lagi, adakah ijma’ ulama itu? Dalam khazanah ushul fiqh, ijma’ ulama memang ada, hanya porsinya sangat sedikit dan terbatas. Hal ini sejalan dengan absolutisitas ajaran agama itu sendiri.
Dengan demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa relativitas dalam ajaran agama itu sangat dominan. Alqur’an memang memberikan porsi berbeda pendapat, porsi berijtihad lebih banyak ketimbang porsi untuk ijma’.
Apa hikmahnya? Supaya umat Islam kreatif dan dinamis. Sebab, kondisi dan setting sosial setiap kurun memiliki perbedaan sesuai dengan wilayah dimana mereka tinggal. Itulah yang kemudian melahirkan warna-warni Islam: ada Islam Arab, ada Islam Persi, Islam Indonesia dan seterusnya.
Ada hukum Islam ala al-madzahib al-arba’ah, ada qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i dan lainnya. Ini pulalah yang kemudian melahirkan pluralitas umat, firqah-firqah dan jama’ah-jama’ah dalam Islam dan pluralitas itu sendiri merupakan sunnatullah.
Syahdan, yang tak kalah pentingnya untuk dipahami, bahwa warna-warni Islam itu secara subtansial tidak memiliki perbedaan.
Hanya saja, selama ini yang terjadi justru perbedaan itu dipahami sebagai suatu yang aneh sehingga melahirkan pertentangan dan permusuhan, bahkan sampai pada konflik yang memprihatinkan.
Padahal, Nabi sendiri menegaskan bahwa ikhtilaf yang ada pada umatnya sebagai sesuatu yang membawa rahmat. Wallahu a’lam bisshawab.