KULIAHALISLAM.COM – Islam seperti agama-agama yang lainnya memiliki dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu dimensi esoterik dan eksoterik.
Pada dimensi esoteriknya, agama melampaui ruang dan waktu, melampaui rasionalitas, bersifat transenden dan mutlak. Sementara dalam dimensi eksoteriknya, agama berwujud dalam bentuk yang terstruktur, ada dalam ruang dan waktu, rasionalitas, terbatas dan relatif.
Relativitas bentuk agama (eksoterisme), membuka peluang untuk dilakukan pengkajian secara kritis, mendalam, dan rasional, sehingga nilai-nilai kebenaran yang dikandungnya dapat tersingkap dari tabir keterbatasan dan relativitasnya, serta dapat berfungsi sebagai sumber kemaslahatan dalam kehidupan manusia pada jagat raya ini.
Begitupun juga dalam konteks ruang publik, Islam tidak bisa dilepaskan dari kesejarahannya yang dinamis dan kompleks.
Sehingga, pembacaan terhadap Islam tidak cukup hanya dengan satu pendekatan, apalagi hanya dengan pendekatan normatif, melainkan harus dilakukan dengan pendekatan dan perspektif jamak.
Dari sudut waktu, Islam berproses dalam dua bentang waktu yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan, yaitu pada masa proses tasyri’ (pada masa Nabi) dan pasca proses tasyri’ (sejak masa sahabat sampai sekarang).
Islam, sebagai agama yang menjadi problem solver dalam kehidupan manusia pada dua bentang waktu tersebut, sudah tentu menghadapi berbagai masalah yang berbeda.
Itu artinya, ketika Islam berkembang semakin luas dan bersentuhan dengan keragaman budaya, maka problem yang dihadapi tentu semakin kompleks bila dibandingkan dengan problem yang dihadapi pada masa-masa tasyri’.
Karena itu, studi Islam tidaklah cukup hanya dengan dilakukan dengan analisis teks, melainkan harus juga dikaitkan dengan konteks yang melatarinya, baik konteks yang melatari pada saat teks diturunkan, maupun konteks yang melatari pada saat teks akan diterapkan dalam waktu dan ruang yang berbeda.
Tentu saja, problem epistemologis studi Islam yang dalam perkembangan awal bertumpu pada idealisme dengan menjadikan teks-teks suci sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Pada perkembangan berikutnya, bergerak menuju empirisme dengan memandang bahwa Islam tidak bisa dilihat hanya dari teks-teks sucinya, karena Islam telah menjadi budaya dalam perilaku penganutnya.
Maka dari itu, studi Islam pada masa modern berkembang ke dalam berbagai pendekatan ilmu pengetahuan, seperti antropologi, sosiologi, sejarah dan lainnya. Pada era kontemporer ini, dengan meminjam istilah kunt, muncul paradigma baru dalam studi Islam baik di Barat maupun di Timur (dunia Islam sendiri).
Diharapkan dengan berbagai pendekatan dan dari berbagai perspektif, wacana keislaman kontemporer tidak lagi hanya berkutat pada masalah ketuhanan dan berbagai problem telogis, masalah halal-haram dalam sistem hukum formalnya, masalah qath’i dan dzanni dalam teks sucinya, masalah mutawatir dan ahad dalam sunnah Nabinya, dan masalah politik kekuasaan yang hanya memperparah konflik internal umat Islam.
Wacana keIslaman kontemporer, dengan kerangka berpikir holistik melalui berbagai pendekatan dan berbagai perspektif, diharapkan mampu menyuguhkan suatu konsep kehidupan yang berbasis nilai-nilai humanitas, cinta dan kasih sayang, toleransi, keadilan, persamaan, kesetaraan, persaudaraan, demokrasi, HAM, kemaslahatan umum, pelestarian lingkungan hidup dan isu-isu kontemporer lainnya dalam kehidupan masyarakat global yang plural dan multikuktural. Wallahu a’lam bisshawaab.