Secara umum, ekstremisme didefinisikan sebagai cara pandang, keyakinan, atau sikap yang berlawanan dengan moderasi. Ekstremisme sering kali ditunjukkan melalui cara berpikir yang keras, intoleransi terhadap perbedaan, dan menolak semua keyakinan yang tidak sesuai dengan keyakinannya.
Ekstremisme juga sering ditunjukkan melalui kekerasan dari suatu golongan untuk memaksakan ideologi atau keyakinan tertentu terhadap pihak lain. Hal tersebut dapat berawal dari ketidakmampuan atau ketidakmauan seseorang untuk menerima keberagaman pendapat, keyakinan, atau budaya hidup orang lain.
Dalam upaya menangani ekstremisme, rujukan kitab tafsir memberikan solusi dan menawarkan alternatif berupa ajakan kepada toleransi dan kedamaian. Kitab Tafsir menjelaskan pemahaman lebih mendalam terhadap ayat Alqur’an yang sering disalahgunakan atau disalahpahami oleh golongan ekstremisme untuk membenarkan tindakan mereka.
Dalam menafsirkan ayat Alqur’an, para mufassir sering kali mengaitkan pemahaman ayat dengan isu-isu modern, sehingga pembahasan ekstremisme melalui perspektif kitab tafsir menjadi relevan sesuai dengan perkembangan zaman sekaligus menjawab tantangan di era modern.
Di dalam konteks keagamaan, ekstremisme adalah sikap yang melampaui batas moderasi dalam menjalankan ajaran agama. Hal ini didasari oleh pemahaman yang sempit terhadap makna literal ayat Alqur’an tanpa memperhatikan konteks sejarah (asbab al-nuzul) atau sosialnya.
Akibatnya, sikap atau perilaku ini tidak hanya memberikan dampak negatif dalam internal agama, tetapi juga mendorong sikap permusuhan terhadap golongan yang berbeda keyakinan. Salah satu contoh kelompok ekstremisme berbasis agama yakni suatu kelompok yang mengklaim mendirikan khilafah Islam global.
Mereka menggunakan kekerasan ektrem, seperti pembunuhan massal dengan mengatasnamakan jihad sebagai suatu hal untuk membenarkan tindakan mereka. Dengan demikian, Alqur’an secara tegas memberikan penjelasan untuk bersikap moderat, sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah [2]: 143, sebagai berikut:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Menurut Ibnu Katsir dalam karya tafsirnya, kata wasath memiliki arti pilihan yang terbaik. Sehingga, ketika Allah SWT menjadikan umat ini sebagai ummatan wasathan, maka Dia memberikan kekhususan kepadanya dengan syari’at yang paling sempurna, jalan yang paling lurus, dan paham yang paling jelas.
Imam Al-Qurthubi dalam karya tafsirnya juga mencantumkan hadits yang berkaitan dengan ayat ini. Hadits tersebut menyatakan bahwa, “Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya.” Maka, dapat disimpulkan bahwa ayat ini menegaskan bahwa umat Islam harus menanamkan sikap moderat dalam keyakinan, perilaku, dan ibadah agar tidak terjerumus ke dalam ektremisme.
Moderasi mencerminkan keadilan dan kedamaian terhadap sesama umat. Hal ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi yang tercantum dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi. Beliau meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi Muhammad SAW tentang firman Allah SWT: وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan.” Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “(Yakni ummat) yang adil.” At-Tirmidzi berkata, “Hadis ini adalah hadis hasan shahih.”
Hadis tersebut menjelaskan bahwa “pertengahan” bukan hanya tentang posisi, tetapi juga mencakup sifat adil dalam berperilaku. Ini menunjukkan bahwa Allah SWT menuntut umat Islam untuk menjadi manusia yang bersikap adil, moderat, dan seimbang bagi manusia lainnya.
Menurut Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah, kata wasath memiliki makna sebagai posisi pertengahan yang menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, yakni suatu hal yang dapat mengantar manusia agar dapat berlaku adil.
Beliau juga menjelaskan bahwa arti kata ummatan wasathan adalah umat Islam yang moderat dan teladan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertengahan merupakan posisi yang dapat dilihat oleh siapa pun dari segala penjuru, sehingga ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak dengan keadilannya.
Berdasarkan tafsiran ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Alqur’an tidak mendukung sikap ekstremisme dalam bentuk apa pun. Ekstremisme, yang ditandai dengan kecenderungan sikap yang terlalu berlebihan ke kanan atau terlalu ke kiri, bertentangan dengan prinsip keseimbangan dan moderasi yang diajarkan oleh Alqur’an.
Sikap ekstrem semacam itu menyimpang dari jalan tengah yang merupakan esensi ajaran Islam, yang mengedepankan keadilan, keharmonisan, dan toleransi dalam setiap aspek kehidupan. Oleh karena itu, Alqur’an mendorong umatnya untuk menjauhi sikap ekstrem yang dapat merugikan diri sendiri maupun masyarakat luas.
Disinilah peran ulama sangat dibutuhkan untuk menafsirkan ayat-ayat Alqur’an dengan baik dan benar. Penafsiran yang dilakukan oleh ulama membantu masyarakat dalam membedakan antara tafsir yang shahih dan tafsir yang menyimpang. Ulama juga berperan sebagai pengawas dalam pemahaman Alqur’an, memastikan agar ayat-ayat suci tidak disalahartikan oleh golongan-golongan yang mengutamakan kepentingan politik, ideologi, atau agenda tertentu.
Dengan bimbingan dan pengetahuan yang tepat, masyarakat dapat memahami ajaran Islam secara utuh, menghindari pemahaman yang terdistorsi, dan menciptakan lingkungan yang lebih aman serta harmonis.