Kisah pencarian makna cinta sang penyair dari Libanon Kahlil Gibran. Adakah seseorang yang tidak pernah merasakan cinta dalam hidupnya? Agaknya itu merupakan suatu hal yang tidak etis untuk dibenarkan, karena menilik dari sejarah, saya rasa manusia adalah salah satu bentuk dari manifestasi cinta itu sendiri.
Cinta Tuhan terhadap seluruh ciptaanya. Berkat cinta semua menjadi ada, berkat cinta segala sesuatu bisa berjalan sesuai dengan porosnya. Oleh karnanya, cinta menjadi energi paling purba yang dimiliki oleh setiap manusia. Tanpa cinta, seseorang akan merasakan kehampaan dalam menjalani hidup, tanpa cinta manusia akan menyeleweng dari kodrat fitrahnya sebagai manusia yang ontologis bermula dari cinta.
Konsep cinta sendiri telah ada sebelum manusia diturunkan ke bumi. Berawal dari kisah Nabi Adam yang diciptakan seorang diri, tanpa memiliki pasangan. Hingga kala itu ia merasakan kesepian dan membutuhkan seorang pendamping.
Maka saat itu Allah menciptakan satu wujud yakni Hawa agar kelak mereka berdua bisa saling menumpahkan rasa cinta serta membawa kebahagiaan antara mereka berdua yang berlangsung hingga ke anak, cucunya kelak.
Dengan demikian, Allah telah membekali manusia dengan fitrah “cinta” bukan hanya sebatas untuk saling mengenal, melainkan saling berbagi dan menebar sa’adah “kebahagian” melalui perantara cinta.
Beranjak dari kehadiran cinta, maka akan terpikir seorang sosok penyair sekaligus filosof yang menyandang sebutan The Immortal Prophet Of Libanon “Sang Nabi Abadi dari Libanon” yakni Gibran Kahlil Gibran. Ia kerap dipanggil dengan sebutan Kahlil Gibran atau Jubran.
Namanya sendiri terinspirasi dari nama ayah serta kakeknya dimana pemberian nama kepada cucu atau anak ini merupakan tradisi orang-orang Libanon kala itu. Gibran lahir pada 6 Januari 1883 di Kota Besharri, suatu kota yang terletak di kaki gunung Sannime di Libanon.
Ia berasal dari keluarga yang menganut agama Kristen Moronit, ayahnya bernama Khalil Gibran dan Ibunya bernama Kamila Rahme seorang anak dari pendeta. Selain itu, Gibran memiliki dua adik perempuan yang bernama Mariana dan Sulthana.
Latar belakang Kahlil Gibran terjun ke dunia cinta, diantaranya disebabkan oleh pengaruh Nietzche yang terpaku pada konsep Unbermensch yakni kehendak alami manusia ialah untuk berkuasa tampa belas kasih. Tentu pemikiran Nietzche tersebut bertolak belakang dengan apa yang di dogmatiskan oleh Gibran yakni mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang berlandaskan pada cinta guna menciptakan keharmonisasian dalam hidup.
Selain faktor Ubermensch, situasi yang menjadi tedensi timbulnya konsep cinta Kahlil Gibran bermula dari rasa kehilangannya terhadap figur-figur penting yang turut mewarnai kehidupannya. Salah satunya Gibran memiliki sesok ibu yang pandai dan begitu peduli dengannya.
Sejak kecil ia telah di ajarkan berbagai macam bahasa seperti bahasa Arab, Prancis, dan Inggris. Selain itu, ia juga mendalami seni musik saat masih berusaha 6 tahun yang dibimbing langsung oleh ibunya.
Dari didikan ibunya Gibran kecil tumbuh menjadi seorang seniman yang terkenal di Libanon. Kemudian ia meninggalkan kampung halamannya lalu hijrah ke Amerika tepatnya di Kota Boston pada tanggal 25 Juni 1895.
Disana ia melanjutkan sekolahnya dan bertemu dengan kawan-kawan yang kontras keilmuannya sama dengannya. Selama berada di Amerika, ia yang dikenal sebagai pribadi yang introvert dan seringkali berpikir sendiri dalam membuat karyanya, seketika semua goyah.
Gibran bertemu dengan seorang gadis bernama Josephine Preston Peabody yang saat itu menjadi teman dekat sekaligus support sistem Gibran dalam menciptakan karya-karyanya.
Tak berlangsung lama, sekembalinya Gibran ke Libanon, ia mendapati kabar duka bahwa adiknya Sulthana meninggal disusul dengan ibunya yang wafat serta pujaan hatinya Josephine yang meninggalkannya sebab menikah dengan orang lain.
Dalam puncak kesedihan yang dialami oleh Gibran, ini tidak melarutkan dirinya dalam keterpurukan. Namun peristiwa ini menjadi tonggak dari awal mula Gibran mulai mengkaji cinta dalam setiap karya yang dibuat. Maka tak heran bila membahas perihal cinta, segelintir orang merujuk pada puisi dan tulisan Gibran.
Karna ia tidak hanya sebatas memaparkan cinta dari satu sudut pandang, melainkan dari berbagai paradigma. Sebab itulah cinta yang dibawakan oleh Gibran sering kali bernuansa kemurungan, kebahagian dan kesedihan bahkan lebih luas dari sekedar merujuk pada tiga tinjauan rasa itu saja.
Dalam proses pencahariannya, Gibran sangat sulit untuk mendefinisikan secara konkret mengenai apa itu cinta. Terbukti pembahasan mengenai cinta telah menjadi porsi diskusi yang begitu rumit bagi segelintir filosof pada zamannya.
Salah satunya yakni Karl Jesper yang berpendapat bahwanya, “cinta memiliki kekuatan tersendiri untuk bisa mengubah seseorang menjadi sesuatu yang diingkan, lantaran seseorang akan beranjak dari tempat tidurnya bila ia merasakan gejolak cinta mulai timbul dalam dirinya yang menuntun untuk menggapai apa yang ia cintai.”
Namun bagi Gibran faktor elusif ini disebabkan oleh sikap individualis manusia yang merepresentatifkan empiris dalam merasakan cinta berbeda-beda.
Misalkan dalam kutipannya Gibran mengatakan, “tanpa didasarkan oleh cinta manusia tidak akan mampu bijaksana dalam bersikap dan arif dalam bertindak.” Artinya cinta sendiri telah menjadi corak mengapa manusia bisa hidup rukun dan damai.
Kendati segelintir orang mengatakan cinta hanyalah ruang hampa yang tak berujung atau merasakannya akan menimbulkan kotroversi saja. Namun agnostiknya sampai saat ini cinta masih menjadi fundamental manusia untuk tetap hidup.
Anugrah cinta memberikan kemampuan manusia untuk mengenal siapa dirinya, berkat cinta manusia mampu bersubmisif dengan Tuhannya, bersamaan dengan itu kehadirannya mampu membuat manusia saling mengenal antar sesama dan menjalin hubungan, baik pertemanan maupun ikatan asmara dengan kekasih.
Oleh sebab itu, menemukan akar dari “apa itu cinta” agaknya sesuatu hal yang mustahil untuk ditemukan, karna setiap orang menghayati cinta dengan caranya sendiri. Setiap orang merasakan dan mengekspresikan cinta dengan cakrawala kehidupan sendiri.
Tetapi cinta bukanlah suatu risalah yang sekedar diungkapkan melalui kata-kata ataupun body movment “gerakan tubuh”. Sebaliknya cinta menurut Gibran ialah korelasi antara kedua hal tersebut yakni kata-kata dan gerakan tubuh yang diiringi dengan penghayatan serta komitmen untuk tetap bersama dalam dimensi cinta yang sama.
Hal ini dikarenakan cinta merupakan suatu entitas yang unik, dimana ruang lingkup cinta tidak sebatas kebahagiaan semata, namun lebih bersifat subjektifitas, emosional, suka duka, pahit, bahagia, dan dinamis yang pastinya semua itu adalah fragmen-fragmen cinta.
Kemudian untuk menyelami dimensi cinta, bagi Gibran jalan yang pertama harus ditempuh ialah mencintai diri sendiri. Seseorang cenderung tidak akan bisa memberi cinta terhadap orang yang tidak memiliki cinta terhadap dirinya sendiri.
Lantas, seseorang hendak memberikan cintanya terhadap orang yang mampu mencintai dirinya terlebih dahulu. Walaupun terkesan egois, namun perihal tersebut akan mengundang cinta yang penuh dengan tanggung jawab terhadap kedua belah pihak yang saling mencintai.
Kedua, untuk mendapati kenikmatan diperlukan asosiasi keseimbang antara akal dan intuisi. Cinta yang hanya mengedepankan akal akan menimbulkan esensi egosisme, sebab perhatian akan berfokus pada satu pihak yang semestinya keduanya harus menperoleh perhatian dan perilaku yang sama. Sedangkan cinta tanpa intuisi hanya akan menyebabkan kehampaan dan tidak memiliki nilai estetika.
Biasanya kejadian seperti ini didasari oleh kebohongan namun mengatas namakan cinta sebagai bentuk pengendalian orang yang cinta terhadapnya. Secara fundamental, antara akal dan intuisi, harus saling melingkapi, bahu-membahu
Lalu, tak hanya berfokus pada euforia hidup, cinta juga merupakan objek kajian yang berkontribusi memberikan keindahan pada setiap peristiwanya. Kenyataan ini dikarenakan objek cinta sendiri tidak hanya menimbulkan kepuasaan semata, tetapi kepahitan dan rasa sakit ikut menyertai.
Sehingga betapapun kepahitan dan rasa sakit yang dirasakan seseorang dalam bercinta, tetap saja cinta akan meninggalkan keindahan berupa kenangan. Kesan ini seiring akan membentuk pola cinta seseorang untuk semakin bijaksana dalam menempatkan cintanya, dengan tidak semata-mata meletakkan cinta melalui pandangan relatif.
Disamping keindahan, cinta juga meliputi ketulusan. Ketulusan disini tentunya tidak mengharapkan imbalan atau keinginan atas cinta yang diberikan. Senada dengan ungkapan Gibran melalui puisinya, “cinta adalah ketulusan, cinta tak memberikan apa-apa kecuali hanya kuiditas cintanya”.
Ketulusan merefleksikan bentuk cinta yang “sempurna”. Berkat ketulusan seseorang tidak mengharapkan apa pun, tidak meminta materi apa pun. Sehingga seseorang tidak akan merasa tertipu atau kecewa akibat cinta yang diberikannya tidak di balas dan lebih legowo menerima apa yang diberikannya.
Takala seseorang yang menginkan sesuatu atas pemberiannya, semua itu tidak dapat dikonotasikan sebagai cinta, melainkan sebuah siklus penyimpangan untuk memperioritaskan diri sendiri. Akibatnya gejala egoisme tak mampu dihindarkan dan inilah yang menjadi kausalitas timbulnya penyakit dalam dunia cinta.
Ketulusan juga sering kali disimboliskan sebagai sikap pantang menyerah atau tidak melarikan diri saat masa-masa sulit menimpa. Seseorang dengan sikap mudah mundur atau melepas tanggung jawab bila diterpa kesulitan, hal tersebut sama saja mengutamakan keamanan dan kepentingan diri sendiri. Alhasil tidak adanya keseimbang yang tercipta. Tak jauh berbeda, sikap egoisme akan dominan terjadi.
Menulurusi atmosfer cinta memang tidak semudah mengkalkulasikan atau menganalisis sesuatu yang tampak oleh mata. Cinta yang bersemayam dalam hati membuat setiap telaahan bersifat hipotesis atau dugaan-dugaan yang beragam, tergantung pada bagaimana manusia menjalani, mengekpresikan cintanya.
Namun silogisme dari pencaharian makna cinta yang dihabiskan Kahlil Gibran memberikan pesan tersendiri bagi para pembaca karya-karyanya. Pertama pesan yang ingin disampaikan ialah ”hiduplah karena cinta, dalam cinta, dan untuk cinta”. Dengan kata lain, seseorang yang skeptis terhadap cinta atau tidak lagi memiliki kapabilitas untuk mencintai, berarti harus siap menuai hidup tampa arti apapun dan tampa belas kasih sedikitpun.
Kedua, paradigma Gibran terhadap cinta lebih tergolong eksistensial, artinya cinta merupakan dasar dari manusia untuk menunjukkan eksistensinya yang diiringi dengan kebijaksanaan serta kasih sayang.