Foto : Karen Amtrong
KULIAHALISLAM.COM – Karen Armstrong lahir 14 November 1944 di Wildmoor, Worcestershire, Inggris. Karen Amstrong adalah penulis sejumlah buku mengenai agama diantaranya The Case for God, A History of God, The Bettle for God, Holy War, Islam, Budha, Jerusallem, The Spiral Staircase, Muhammad : Prophet for Our Time, Twelve Steps to a Compassionate Life dan Fields of Blood dan banyak lainnya.
Karyanya telah diterjemahkan ke dalam empat puluh lima bahasa. Pada tahun 2008, dia dianugerahi TED untuk mengembangkan Piagam Welas Asih (Charter for Compassion), diciptakan secara daring oleh masyarakat umum, dirancang oleh para pemikir terkemuka dalam Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Budha dan Konghucu.
Piagam itu diluncurkan secara global pada akhir 2009. Tahun 2013, ia menerima hadiah Nayef Al-Rodhan untuk Pemahaman Antarbudaya yang pertama British Academy. Pada tahun 2014, ia mendapatkan penghargaan Educator’s Prize by ISSESCO (Islamic Educational Scientific and Cultural Organization dari Yordania.
Karen Amstrong meluangkan waktu tujuh tahun sebagai biarawati Katholik Roma sebelum memulai risetnya di Oxford. Dia kemudian mengajarkan sastra Inggris abad ke 19 dan 20 di Bedford College, University Lodon.
Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad
Nabi Muhammmad tengah mengunjungi
saudara sepupunya Ummu Hani, saudara perempuan Ali bin Abu Thalib dan Ja’far
yang tinggal di Ka’bah, ia bangun malam dan membaca Al-Qur’an di sana. Akhirnya
Nabi memutuskan tidur sejenak di Hijr, sebuah daerah tertutup di barat daya
Ka’bah.
Kemudian ia merasa seperti akan dibangunkan oleh Jibril, dinaikan ke
kuda surgawi yang disebut Buraq dan terbang melesat menembus malam menuju
Jerusallem yang disebut Al-Qur’an sebagai Al-Masjid al-Aqsha ; Masjid Depan.
Setelah penerbangan malam ini (Isra), Muhammad dan Jibril turun di Kuil Mount
dan disambut oleh Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Yesus dan sejumlah nabi-nabi lain.
Mereka shalat bersama dan membawakan
Muhammad segelas air, susu,anggur. Nabi Muhammad lebih memilih meminum susu
sebagai simbol jalan tengah bahwa Islam telah berusaha mengarahkan antara
pertapaan ekstrim di satu sisi dan hedonisme disisi lain. Kemudian sebuah
tangga Mi’raj disediakan dan Muhammad dan Jibril naik ketingkat pertama dari
tujuh surga dan mulai menuju ke Takhta Tuhan.
Disetiap tingkat, dia melihat salah
satu dari para Nabi besar : Adam mengepalai Surga Pertama, dimana Nabi Muhammad
menyaksikan gambaran Neraka, Yesus dan John the Baptist (Yahya) berada di Surga
kedua, Yusuf di surga ketiga, Enoch (Nuh) di Surga keempat, Aaron (Harun) dan
Musa di Surga kelima, keenam dan akhirnya, Ibrahim di Surga ketujuh, di beranda
dunia ketuhanan. Ibnu Ishaq meninggalkan kisah yang tentang visi supremasi ini
dengan ketidakjelasan yang dihormati namun ia mengutip sebuah hadis yang
memberi alasan praktis atas pengalaman ini.
Ini tampak hanya merupakan
pengalaman pribadi Nabi Muhammad, karena dari pengalaman itu tak ada pewahyuan
yang mesti dimasukan ke dalam Al-Qur’an. Ketika mencapai tahta ketuhanan, Tuhan
berkata kepada Nabi Muhammad bahwa kaum Muslim harus melakukan shalat 50 kali
sehari. Dalam perjalanan turun, Nabi Musa menyuruh Nabi Muhammad kembali dan
memintanya mengurangi jumlahnya. Nabi Musa terus menyuruh Nabi Muhammad kembali
sampai jumlahnya menjadi tinggal lima, yang dirasanya masih terlalu banyak.
Namun Nabi Muhammad sudah terlalu
malu untuk meminta pengurangan lagi. Setelah kematian Nabi Muhammad, orang
Muslim Shalat lima kali sehari dan tradisi ini menunjukan bahwa agama tidak
dimaksudkan sebagai beban yang memberatkan tetapi merupakan disiplin yang
moderat yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Pengalaman religius ini menjadi
sangat penting dalam evolusi spritualitas Islam.
Kejadian ini dirayakan setiap tahun
yaitu tanggal 27 Rajab. Selama berabad-abad, para mistiksu, filsuf dan penyair
berspekulasi atas pentingnya cerita ini. Kisah ini bahkan memasuki tradisi
Barat, karena catatan-catatan Muslim tentang Mi’raj, naiknya Nabi Muhammad ke
Surga, mempengaruhi kisah Dante tentang perjalanan imajinernya melalui neraka,
penyucian dosa dan surga dalam The Divine Comedy, meskipun dengan kejiwaan
khas (Schizophrenia) Barat. Dante
menempatkan Sang Nabi ke dalam lingkar terendah neraka. Kaum Sufi terutama
tertarik pada pengalaman itu dan percaya bahwa visi Nabi Muhammad itu telah
digambarkan dalam Al-Qur’an Surah 53 :
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu ( Dalam rupanya yang asli) dalam waktu yang lain yaitu di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada Surga tempat tinggal, ( Muhammad melihat Jibril), ke Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya Muhammad tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang paling besar“.
Seperti dalam tradisi agama Hindu, pohon Lote menandai batas pengetahuan manusia. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Muhammad melihat hanya satu dari sekian tanda-tanda dari Tuhan bukan Tuhan itu sendiri. Para mistiskus kemudian menekankan paradoks puisi ini, di mana Nabi Muhammad melihat dan tidak melihat esensi Tuhan.
Kaum Sufi melukiskan Nabi Muhammad sebagai pahlawan membuat sebuah jalan baru menuju Tuhan dengan pengalaman ini, yang juga dekat dengan pengalaman mistis kurs lainnya dalam tradisi lain yang begitu luas.
Dalam sejarah Persia abad ke-13 yang ditulis oleh penyair Fariduddin ‘Aththar, kita sangat dekat secara spirit dengan John of the Cross, yang juga menekankan pentingnya meninggalkan semua pengalaman dan konsep kemanusiaan dan pergi melampaui apa yang disebut Al-Qur’an sebagai pohon Lote, batasan dari pengetahuan manusia normal.
Aththar menunjukkan bahwa Nabi Muhammad pada akhirnya harus meninggalkan semuanya bahkan Jibril tak dapat menemani sang Nabi dalam tahap terakhirnya perjalanannya. Setelah pergi melampaui persepsi normal serta melampaui akal sehat dan logika dalam penerbangannya, Nabi Muhammad memasuki sebuah pengalaman baru, namun dia harus bersiap meninggalkan dirinya sendiri.
Kelak dia membawa pengalamannya ini dan memperluas kemampuan manusiawi mendekati Tuhan. Mi’raj menjadi sebuah paradigma ketegangan mistik Islam, kaum Sufi selalu membicarakan kefanaan dalam Tuhan yang diikuti oleh Keabadian dan kesadaran dia yang semakin tinggi.
Sebagian muslim selalu menekankan bahwa Nabi Muhammad melakukan perjalanan ke Tahta Tuhan dengan badannya namun Ibnu Ishaq mengutip sebuah hadis dari Aisyah radhiyallahu Anhu yang menjelaskan bahwa perjalanan malam dan kenaikan itu hanyalah pengalaman spiritual. Bagaimanapun kita memilih interpretasinya, pengalaman mistik merupakan fakta kehidupan manusia dan tampak sama saja di semua tradisi.
Mi’rajnya Nabi Muhammad seperti digambarkan oleh para penulis muslim sangat dekat dengan pengalaman mistisme Tahta dalam tradisi Yahudi yang berkembang dari abad ke-2 hingga ke-10 Masehi. Orang yang ahli akan menyiapkan diri mereka untuk perjalanan mistical menuju Tahta Tuhan melalui disiplin khusus. Mereka akan berpuasa, membaca Hymne- Hymne tertentu yang menyebabkan penerimaan tertentu dan menggunakan teknik-teknik fisik tertentu.
Seringkali mereka meletakkan kepala diantara lutut mereka seperti sebagian Hadits Muslim mengatakan Nabi Muhammad melakukannya. Di tradisi lain, latihan pernafasan tergolong penting. Kemudian Malaikat akan mengalami kenaikan yang penuh bahaya ketahta Tuhan dan seperti kaum muslim mereka menggambarkan visi supremasi ini dalam cara-cara paradoks yang menekankan esensi yang tak tergambarkan.
Mistiskus dalam tradisi ini juga menganggap para penemunya sebagai pahlawan yang telah menemukan sebuah jalan menuju Tuhan dan membatalkan dirinya dalam bahaya saat melakukannya. Beberapa aspek Isra dan Mi’raj sangat mirip dengan pengalaman mistik ketika orang-orang melakukan perjalanan penuh kesengsaraan dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya. Sebagai contoh, ini sangat mirip dengan pengalaman seorang perempuan muda bernama Perpeptua.
Dia merupakan seorang Martir Kristen yang meninggal di Kartago selama pembasmian Severus tahun 203. Perpeptua and Felicitas yang disunting oleh seorang redaktur setelah kematiannya dipercaya oleh kebanyakan kaum terpelajar sebagai karya asli.
Dikisahkan bahwa sementara mendekam dalam penjara menunggu proses pengadilan, kawan-kawan Perpeptua mendesaknya untuk meminta petunjuk Tuhan yang dapat memberikan gambaran Apakah mereka benar-benar akan mati. Mereka meminta karena dia dikenal memiliki bakat mistik istimewa dan dia berjanji akan memberikan jawaban kepada mereka keesokan harinya. Mungkin dia menempatkan dirinya secara setengah sadar pada kerangka berpikir yang siap menerima apapun tidak seperti orang-orang sekarang yang menyodorkan mimpi atau firasat kepada ahli terapi mereka untuk dianalisa.
Malam itu ia bermimpi melihat sebuah tangga seperti Mi’raj nabi yang mencapai surga, kenaikannya sangat berbahaya pada saat itu di khawatir tidak dapat mencapai puncak.
Seperti yang kita pelajari, perjalanan malam menunjukkan bahwa Muhammad mulai melihat bahwa dia mungkin lebih dari sekedar pengingat bagi suku Quraisy. Namun dia masih mencari pelindung baru. Pada saat musim Haji, dia biasanya melakukan kunjungan ke peziarah, ketika mereka berkemah selama 3 hari yang ditentukan di lembah Mina.
Dia berkunjung dari satu kemah ke kemah lainnya. Nabi Muhammad duduk bersama mereka menceritakan kepada mereka tentang misinya dan membacakan Al-Qur’an. Kali ini bukannya mendapatkan kekhasan dan penolakan, Nabi Muhammad mendapati orang-orang Arab yang penuh perhatian dan beremangat.
Ketika Nabi Muhammad wafat pada 6 Juni 632 Masehi, nabi telah menyatukan hampir seluruh bangsa Arab di bawah kepemimpinannya.
Sumber: Karen Amstong, Muhammad Sang Nabi, diterbitkan Risalah Gusti