Opini

Islam, Kebebasan, dan Fanatisme

2 Mins read

Terkadang saya duduk sendiri, menatap sejarah Islam, dan merasa campur aduk. Ada kagum, ada sedih. Bayangkan Baghdad abad ke-9. Perpustakaannya besar, ilmuwan dari berbagai agama duduk bersama, membahas matematika, filsafat, kedokteran. Al-Khwarizmi menulis aljabar, Ibn Sina menulis buku kedokteran yang berabad-abad jadi rujukan, Al-Farabi mencoba menjembatani filsafat dan teologi. Saat itu, kebebasan berpikir bukanlah pilihan-tapi kebutuhan.

Tidak bisa dipungkiri, saya merasa agak iri. Sekarang, di era digital, kita punya semua akses informasi, tapi ruang dialog sering kali sempit. Fanatisme muncul di mana klaim kebenaran tunggal menutup diskusi sehat. Kadang saya berpikir, apakah kita sudah lupa bahwa pluralitas dan ijtihad adalah bagian dari tradisi Islam yang kaya itu?

Abad ke-8 sampai ke-13 sering disebut Islamic Golden Age, dan memang layak begitu. Kota-kota seperti Baghdad dan Cordoba bukan sekadar pusat politik, tapi pusat epistemologi. Para ilmuwan, Muslim, Yahudi, Kristen, duduk bersama, menerjemahkan teks-teks Yunani, Persia, India, menambahkan pemikiran mereka sendiri. Dari perspektif akademik, ini contoh sistem sosial yang mendukung inovasi-pluralitas dijaga, bukan dihancurkan.

Cordoba di Spanyol juga menarik. Perpustakaannya luas, manuskrip menumpuk, dan komunitas beragam aktif dalam penelitian. Saya kadang berpikir: generasi sekarang bisa belajar banyak dari model ini-bagaimana toleransi, kebebasan berpikir, dan ilmu pengetahuan bisa saling memperkuat. Tidak seperti sekarang, debat sering berubah menjadi pertarungan identitas.

Fanatisme yang Menggerus

Tapi sayangnya, sejarah juga mengajarkan kita bahaya fanatisme. Beberapa kelompok menekankan tafsir literal, menolak ijtihad, dan mengklaim kebenaran tunggal. Ini bukan teori belaka. Dampaknya nyata: ruang dialog menyempit, kreativitas terhambat, dan masyarakat terpolarisasi. Fanatisme sekarang kadang muncul dalam bentuk narasi di media sosial, bukan hanya fisik. Kadang terasa hampir tidak terlihat, tapi tetap mengekang pikiran.

Baca...  Agama Islam di Pasar Politik

Dari perspektif sosiologi agama, fanatisme ini muncul karena kurangnya pemahaman konteks sejarah dan budaya teks. Saya pikir, kalau anak-anak sejak dini belajar sejarah intelektual Islam, mereka akan menghargai perbedaan dan memahami bahwa pluralitas itu bukan ancaman, melainkan kekuatan.

Apa yang bisa kita ambil? Pertama, kebebasan berpikir dan pluralitas bukan lawan iman, tapi bagian dari kedewasaan spiritual dan intelektual. Pendidikan inklusif, dialog antaragama, dan ruang akademik terbuka harus diperkuat. Kedua, fanatisme sempit bisa dilawan dengan refleksi kritis. Membaca sejarah, menelaah teks dengan akal sehat, dan menghargai perbedaan adalah langkah konkret.

Saya kadang merasa ini penting, karena di era media sosial, opini instan sering lebih berpengaruh daripada refleksi mendalam. Narasi fanatis bisa viral dengan cepat. Jika kita tidak hati-hati, generasi muda akan lebih mudah terjebak klaim kebenaran tunggal.

Menyalakan Kembali Cahaya Peradaban

Sejarah mengajarkan bahwa pluralitas, toleransi, dan kebebasan berpikir adalah bagian dari iman. Mengembalikan semangat itu bukan mengurangi keyakinan, tapi memperkuatnya. Pendidikan, penelitian, dialog-ini pilar utama. Fanatisme sempit hanya akan mengulang kesalahan masa lalu dan menutup jendela dunia yang dulu terbuka.

Analoginya seperti lampu di ruang gelap. Cahaya bisa redup karena debu dan halangan, tapi dengan membersihkan dan merawatnya, lampu kembali terang. Begitu juga peradaban Islam. Cahaya ilmu, toleransi, dan kebebasan berpikir bisa menyala lagi jika kita mau belajar dari sejarah dan menginternalisasi nilai-nilainya.

Islam bukan sekadar dogma. Ia adalah rahmah, ilmu, dan cahaya. Ketika umat menutup ruang berpikir dan menolak perbedaan, cahaya itu meredup. Saat kita membuka pikiran, menghargai perbedaan, dan menegakkan akal, cahaya itu bersinar kembali.

Dan saya bertanya pada diri sendiri, sekaligus mengajak pembaca: apakah kita akan menutup jendela ilmu dan toleransi, atau menyalakan kembali cahaya peradaban Islam untuk dunia modern? Saya memilih cahaya, dan saya yakin banyak dari kita juga bisa memilihnya.

8 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang dan Alumni PP Darurrahman, Pangarangan, Sumenep, Alumni PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Articles
Related posts
Opini

Jalan Sunyi Menuju Tuhan

3 Mins read
Di era ketika hampir segala hal ditundukkan pada logika angka, data statistik, dan kriteria verifikasi ilmiah, berbicara tentang Tuhan kerap dipandang usang….
Opini

Belajar dari Gus Dur: Islam yang Membumi

3 Mins read
Belajar dari Gus Dur, Islam yang membumi. Kadang saya heran, kenapa sebagian umat Islam di negeri ini begitu sibuk ribut soal simbol:…
Opini

Papua Tanah Perdamaian: Peran Pemuka Agama dalam Merawat Toleransi

3 Mins read
Pemilihan Kepala Daerah di Papua baru-baru ini menghasilkan pasangan calon nomor urut 2, Matius Fakhiri, S.I.K., dan Aryoko Alberto Ferdinand Rumaropen, S.P.,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

Yayasan Tarbiyatul Islam Walisongo Hentikan Sementara Program MBG karena Masalah Kualitas dan Keamanan Makanan

Verified by MonsterInsights