Opini

Internalisasi Nilai Nasionalis-Religius Pangeran Diponegoro dalam Menangkal Intoleransi di Indonesia

2 Mins read

Secara de facto dan de jure, negeri kita sudah merdeka sejak 78 tahun yang lalu. Namun, bukan artinya perjuangan mendapatkan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan berhenti begitu saja bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia.

Bangsa ini rasanya masih dan tampaknya akan terus menghadapi berbagai desakralisasi, gerusan ancaman dan tantangan yang datang dari berbagai arah. Makin suburnya gerakan terorisme dan radikalisasi pemahaman agama, sebenarnya bermula dari benih-benih pemikiran dan tindakan intoleran di Indonesia yang sangat mengkhawatirkan terhadap keragaman Indonesia yang terbingkai dalam slogan “Bhineka Tunggal Ika” dan dalam kerangka rumah besar bernama NKRI— yang telah terbangun menjadi bangunan negara berdaulat semenjak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. 

Warisan Belanda dalam politik Devide et Impera masih melahirkan sikap primordial masyarakat kita, mereka dengan mudah membedakan ras, agama, suku, dan sebagainya. Sehingga praktik-praktik diskriminasi sering terjadi dan kian menjamur.

Oleh karenanya, jiwa nasionalis-religius berdasarkan politik kesetaraan dan kemanusiaan harus tertanam dalam jiwa kita. Sebagaimana yang diteladankan oleh Pengeran Diponegoro. Sosok pahlawan muslim bahkan ada yang menyebutnya seorang faqih dan sufi ini menggambarkan perjuangan untuk kemerdekaan negerinya dari penjajah bukan untuk kepentingan pribadi, sekalipun harus mengorbankan jiwanya.

Inilah yang banyak bertolak belakang dengan fenomena kekinian, Seseorang dengan mudah mengorbankan orang lain semata untuk kepentingan dirinya ataupun kelompoknya.

Betapa beliau yang lahir dari keturunan raja, pun darah yang mengalir ditubuhnya adalah spirit santri, ‘ulama, dan mujahid. Mengutip Kyai Said Aqil mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro yang masih memiliki nasab dari Sunan Ampel juga dididik oleh para kiai yang luar biasa. Sehingga beliau adalah pribadi yang memegang teguh nilai spiritualitas, muklish tanpa pamrih, dan tawadhu’. Dalam praktik kehidupan, Diponegoro menggabungkan agama dan budaya secara harmonis, namun tetap berpegang teguh pada nilai Tauhid.

Baca...  Krisis Ormas Islam dalam Perbedaan Sudut Pandang 

Beliau juga sangat paham bagaimana harus menempatkan diri, termasuk di dalam lingkungan istana itu sendiri. Mengapa, karena ia menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Sang Pangeran menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk diangkat menjadi raja.

Sikap kesatria demikian, sungguh sangat langka, di tengah banyak orang cenderung berburu jabatan bahkan dengan berbagai cara, mengeluarkan banyak harta, dan cendrung menempuh jalan apa saja demi meraih jabatan. 

Dalam kesederhanaan, beliau lebih memilih untuk tinggal di Tegalrejo membaur dan melakukan pemberdayaan di tengah rakyat yang terjerembab kemiskinan daripada tinggal di keraton.

Dari berbagai peristiwa dan karakteristik, mengutip Carey dalam penelitiannya— Pangeran Dipenegoro memiliki jiwa toleransi dan kebhinekaan. Beliau mampu bergaul dengan semua kalangan, baik kepada Belanda, ulama, rakyat jelata, dan orang asing dengan berbagi latar belakang agama. Sifat ini nampak nyata dalam dirinya yang mengenali dan menghargai beragam budaya, serta mampu berinteraksi dengan pihak yang berbeda darinya.

Diponegoro yang multitalenta sebagai santri, pahlawan, dan keturunan ningrat yang memiliki komitmen nasionalisme tinggi. Seorang cendekiawan, karena tidak mungkin seseorang menjadi pemimpin dan berani melawan penjajah, jika tidak cerdas dan berakhlak mulia.  

Sang Pangeran sebagai sosok yang berhasil memberi contoh dan teladan dalam menyatukan antara keyakinan dan keberagamaan sebagai Muslim, keturunan Raja Jawa, dan Pahlawan dengan sikap nasionalis-religius. Sudah seharusnya kita mengimplementasikan nilai-nilai ketokohan beliau dalam konteks saat ini, untuk memecahkan berbagai permasalahan yang menjangkiti Indonesia, khususnya intoleransi yang menjadi akar dari perpecahan dan kehancuran bangsa.

5 posts

About author
Khidmah di Yayasan Taftazaniyah
Articles
Related posts
Opini

Krisis Ormas Islam dalam Perbedaan Sudut Pandang 

3 Mins read
Banyaknya ormas dalam lingkupan agama menjadi perhatian penting menegakan dakwah Islam secara multikultural baik sumbernya dari Ahlussunnah Waljama’ah hingga kembalinya Alqur’an dan…
Opini

Eksistensi Tongkrongan Sebagai Ladang Dakwah

3 Mins read
Eksistensi tongkrongan sebagai ladang dakwah. Dakwah menjadi hal yang sangat tabu bagi umat Islam masih beranggapan belum pantas untuk dipelajari. Malahan ada…
Opini

Penerapan Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim dalam Studi Tafsir

4 Mins read
Ketika kita menulis tentu salah satu elemen terpenting adalah objek formal atau dapat dikatakan juga dengan teori untuk menjawab problem akademik yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Pendidikan

Segitiga Tumpul: Pengertian, Sifat, dan Contohnya

Verified by MonsterInsights