Kuliahalislam.com-Pada saat penguasa Negeri Yaman berkunjung ke kota Mekah, beberapa orang Quraisy yang merupakan kerabat Imam Syafi’i berusaha agar penguasa Yaman bersedia mengajak Imam Syafi’i pindah ke negeri Yaman untuk memangku sebuah jabatan tertentu.
Usaha tersebut berhasil, kemudian Imam Syafi’i berangkat Ke Yaman. Kepergiannya Ke Yaman dikeritik keras oleh beberapa orang ulama yang merupakan gurunya di Kota Mekah dan mereka menganggap Imam Syafi’i mau meninggalkan fiqih demi sebuah jabatan di Yaman.
Imam Syafi’i Di Yaman
Di Yaman, Imam Syafi’i bekerja sebagai pegawai pemerintahan di daerah Najran. Di daerah Najran, Imam Syafi’i mempelajari dan mendalami ilmu Firasat, selain itu Imam Syafi’i juga meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan para ulama dari kalangan golongan Syiah. Dari para ulama Syiah, Imam Syafi’i banyak memperoleh pengetahuan tentang pikiran dan pandangan serta fiqih mazhab Syiah. Selain itu Imam Syafi’i juga bertemu dengan Yahya Bin Hasan yang merupakan muruid dari Imam Al-Laits bin Sa’ad, ulama yang sangat terkenal dari Mesir.
Beberapa lama tinngal di Yaman, Imam Syafi’i melihat penguasa Najran berlaku zalim kepada penduduknya. Bahkan penguasa daerah Najran menuduh Imam Syafi’i ingin mendirikan Partai ‘Alawiyyin dan mempersiapkan pemberontakan Khalifah Abbasiyah dengan tujuan mengangkat salah seorang keturunan Imam Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah yang menggantikan khalifah Harun ar-Rasyid.
Sebagaimana kita ketahui bahwa khalifah Daulah Abbasiyah melancarkan permusuhan keras terhadap kaum ‘Alawiyyin, golongan yang banyak ditumpahkan darahnya hanya berdasarkan sangkaan. Banyak penduduk yang berpendapat bahwa kaum ‘Alawiyyin lebih berhak atas kekhalifahan daripada kaum Bani Abbas dan Bani Umayyah.
Khalifah Harun ar-rasyid amat kaget ketika membaca laporan penguasanya di Najran yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah merencanakan pemberontakan terhadap pemerintahan Bani Abbasiyah, penguasa Najran menyatakan pada Harun ar-rasyid : ” Imam Syafi’i dengan lidahnya dapat berbuat sesuatu yang tidak dapat diperbuat oleh seorang prajurit dengan pedangnya”.
Imam Syafi’i sebetulnya menyembunyikan kecintaannya kepada Imam Ali radhiallahu Anhu dan kepada kaum pengikut Imam Ali Bin Abi Thalib ( golongan ‘Alawiyyin). Akan tetapi Imam Syafi’i pernah berkata kepada seorang penduduk Najran : ” Mengenai Ali Bin Abi Thalib radhiallahu Anhu aku telah menyalahi apa yang telah kukatakan”. Imam Syafi’i sering sekali mendengar majelis-majelis Taklim yang diselenggarakan oleh pengikut dan keturunan Imam Ali Bin Abi Thalib.
Jika seseorang bertanya kepada Imam Syafi’i mengenai Imam Ali Bin Abi Thalib dan kaum ‘Alawiyyin/Thalibiyyin, Imam Syafi’i selalu diam, sebab dia menyatakan bahwa mengenai Imam Ali Bin Abi Thalib, kaum ‘Aawiyyin lebih berhak berbicara daripada aku.
Akibat ucapan-ucapannya itu banyak orang yang mengetahui kecintaan Imam Syafi’i kepada cucu-cucu Imam Ali Bin Abi Thalib dan semua kaum Thalibiyyin. Pernah seseorang berkata kepadanya : ” Wahai Imam Syafi’i.Anda juga adalah orang Syiah dan menjadi pengikut Ali Bin Abi Thalib. Anda juga seorang pengikut dan pendukung anak cucunya setelah dia meninggal dunia. Di antara mereka ada orang dari kaum ‘Alawiyyin yang memberontak terhadap khalifah Harun ar-Rasyid”.
Imam Syafi’i menjawab : ” Hai saudara, bukankah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda ; ‘seseorang diantara kalian tidak akan benar-benar beriman sebelum dia lebih mencintai diriku daripada kecintaannya kepada ayahku, anakku dan semua orang lainnya’, dan nabi juga bersabda ‘ bahwa Auliyaku ( penolongku) adalah orang-orang dari keturunanku yang bertakwa’. Jadi, saya (Imam Syafi’i) wajib mencintai kaum kerabatku dan sanak familiku, jika mereka itu adalah orang yang bertakwa, Apakah bukan bagian dari agama jika saya mencintai kerabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, jika mereka itu adalah orang yang bertakwa ?”.
Penguasa Najran menulis laporan kepada khalifah Harun ar-Rasyid bahwa Imam Syafi’i bersekutu dengan penduduk untuk menentangnya dan memimpin 9 orang pemberontak yang dari kaum ‘Alawiyyin yang hendak merebut jabatan kekhalifahan.
Atas dasar laporan itu khalifah memerintahkan supaya Imam Syafi’i ditangkap dalam keadaan tangan di borgol, dan kakinya di rantai. Imam Syafi’i dibawa kehadapan khalifah Harun ar-rasyid untuk disidang di hadapan Hakim negara dan di hadapan para ulama.
Imam Syafi’i Disidang Khalifah
Hakim (Qadi) Khalifah Abbasiyah saat itu adalah Muhammad bin Al Hasan yang merupakan dahulunya teman diskusi Imam Syafi’i di Kufah. Ketika dihadapkan pada Khalifah, Imam Syafi’i berdoa : ” Ya Allah yang Maha lembut kumohon kepadamu agar semua berjalan dengan lembut”.
Dalam penyidikan itu, sembilan orang yang ikut ditangkap bersama Imam Syafi’i menolak tuduhan bahwa mereka ingin melakukan pemberontakan tetapi khalifah al-Arsyid tetap menjatuhi hukuman mati terhadap kesembilan orang itu sementara hukuman terhadap Imam Syafi’i ditangguhkan.
Selama di penjara, Imam Syafi’i tetap diperbolehkan menulis surat kepada bundanya. Dalam suratnya kepada bundanya, Imam Syafi’i bersumpah bahwa ia tidak pernah melakukan persiapan untuk melakukan pemberontakan melawan khalifah Harun ar-Rasyid.
Khalifah Harun ar-rasyid memerintahkan agar supaya Imam Syafi’i dipenggal kepalanya. Imam Syafi’i dihadapkan di hadapan khalifah Harun ar-Rasyid untuk disidang dihadapannya dan di hadapan para ulama negara. Dengan tangan yang yang terbelenggu bahkan rantai itu melilit tubuhnya sampai ke tengkuk. Pada saat-saat yang mengerikan itu kematian sudah terbayang dipepuk mata Imam Syafi’i. Ia hanya berdoa memohon keselamatan kepada Allah.
Hukuman mati segara dilakukan kepada sembilan orang yang ditangkap bersama Imam Syafi’i. Imam Syafi’i mengucapkan salam kepada khalifah Harun ar-Rasyid : ” Assalamualaikum ya Amirul Mukminin, wabarakatuh”. Ketika mengucapkan salam kepada khalifah Imam Syafi’i tidak mengucapkan ‘warahmatullah’. Khalifah kemudian menyahut : ” Alaika salam warahmatullah wabarakatuh”.
Khalifah menyatakan bahwa : ” Engkau memulai dengan sunnah yang tidak diperintahkan melakukannya dan kami menjawabmu dengan hal yang wajib sebagaimana mestinya, sungguh aneh engkau berbicara dalam pertemuan ini tanpa perintah dariku”.
Imam Syafi’i menjawab ; Allah berfirman di dalam Al-Qur’an,
لَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مُعْجِزِينَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ وَمَأْوَىٰهُمُ ٱلنَّارُ ۖ وَلَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ
Arab-Latin: Lā taḥsabannallażīna kafarụ mu’jizīna fil-arḍ, wa ma`wāhumun-nār, wa labi`sal-maṣīr.Artinya: Janganlah kamu kira bahwa orang-orang yang kafir itu dapat melemahkan (Allah dari mengazab mereka) di bumi ini, sedang tempat tinggal mereka (di akhirat) adalah neraka. Dan sungguh amat jeleklah tempat kembali. (QS An Nur ayat 57).
Dialah Allah yang bila telah berjanji pasti menepatinya. Allah telah mengokohkan kedudukan anda dibumi-Nya dan telah membuatku merasa aman selaku ketakutan, karena anda telah menjawab salamku demgan kata-kata yang anda ucapkan. Allah melimpahkanlah Rahmat kepada anda ya.. Amil mukminin karena dengan kemurahan Anda diriku tercakup dalam rahmat Allah yang terlimpah kepada anda.
Khalifahan ar-rasyid bertanya : ” Alasan apa yang hendak engkau kemukakan sudah jelas bahwa sahabatmu orang ‘Alawiyyin yang memberontak itu menentang dan melawan kami dan diikuti oleh orang-orang-orang jelata sedangkan engkau sendiri memimpin mereka?”.
Imam Syafi’i menjawab : ” Ya… Amirul Mukminin, anda meminta aku berbicara dan aku berbicara dengan jujur. Akan tetapi berbicara dalam keadaan terbelenggu besi sungguh sulit. Bila anda berkenan melepaskan belenggu ini dari tubuhku, aku akan berbicara dengan sebenarnya mengenai diriku. Jika bukan itu yang hendak anda lakukan maka sungguhlah tangan anda berada di atas tanganku yang ada di bawah (yakni memohon kebijaksanaan). Allah Maha kaya lagi Maha Terpuji”.
Khalifah Harun ar-Rasyid lalu memerintahkan pengawalnya menanggalkan belenggu besi dari tubuh Imam Syafi’i kemudian mempersilahkan duduk. Setelah menenangkan pikiran sejenak Imam Syafi’i berkata : ” Jauhnya aku menjadi orang seperti ini yakni Pemimpin kaum pemberontak. Allah berfirman ‘ Hai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa berita, hendaklah kalian periksa dengan teliti”, (Q.S Al-Hujrat ayat 6)”.Orang yang menyampaikan berita itu kepada anda sungguh berdusta. Menjaga kebenaran Islam dan menjaga nama baik nasab adalah kehormatan bagi saya. Cukuplah dua hal itu menjadi wasilah. Anda adalah orang yang lebih berpegang pada kitabullah. Anda adalah putra paman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang melindungi kesentosaan agama beliau dan pengawal aturan-aturan agama beliau. Sedangkan mereka itu ya …Amirul Mukminin bukanlah dari Bani Tholib dan bukan pula orang ‘Alawiyyin. Aku dimasukkan dalam golongan mereka karena mereka itu hendak menjerumuskan diriku. Aku anak seorang dari bani Abdul Muthalib Bin Abdul Manaf. Namaku adalah Muhammad bin Idris bin Utsman bin Sa’ib.”
Khalifah Harun ar-Rasyid menjawab : ” Engkau kah yang bernama Muhammad bin Idris itu?”. Imam Syafi’i menjawab : ” Meskipun begitu aku bawa nasib baik karena aku berkesempatan memperoleh ilmu dan fiqih”. Muhammad bin Hasan yang merupakan Hakim khalifahan Al Rasyid dan ia mengetahui hal itu namun dia tidak memberitahu khalifah Harun ar-Rasyid mengenai siapa sesungguhnya Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i menjawab : ” Apakah Muhammad Al Hasan tidak memberitahukan itu kepada kepadamu ?”. Muhammad Bin Hasan berkata : ” Apa yang dikatakannya itu benar, dia memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan apa yang dituduhkan kepadanya tidaklah benar”.
Al-Rasyid pun meminta Muhammad bin Al Hasan membawa Imam Syafi’i kerumahnya sambil menunggu keputusan khalifah Harun ar-Rasyid mengenai Imam Syafi’i. Tidak lama kemudian Khalifah Harun al-Rasyid mengumpulkan para alim ulama negara untuk menguji keilmuan Imam Syafi’i. Ulama yang dikumpulkan Khalifah berasal dari berbagai bidang keilmuan baik fiqih, matematika, fisika, kimia, dan pengobatan.
Khalifah al-Rasyid bertanya kepada Imam Syafi’i : ” Hai Syafii, bagaimanakah pengetahuanmu tentang kitab Allah sebab hal itu merupakan soal yang utama untuk dibicarakan lebih dahulu?”. Imam Syafi’i menjawab : ” Kitab apa diantara kitab-kitab Allah yang anda tanyakan kepadaku ya Amil Mukminin?. Sebab Allah yang telah menurunkan banyak kitab suci”.
Khalifah menyahut : ” Baiklah, yang kami tanyakan kepadamu ialah kitab Allah yang diturunkan kepada putra pamanku Muhammad Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam”. Imam Syafi’i menjawab : ” Banyak sekali ilmu pengetahuan di dalam al-Quranul Karim. Apakah anda bertanya tentang ayat-ayat yang Muhakam ataukah yang Mutasyabihat ataukah ayat-ayat Nasikh ataukah ayat-ayat yang Mansukh ,?”.
Khalifah terpukau mendengar jawaban Imam Syafi’i. Kemudian ia mengajukan berbagai pertanyaan tentang ilmu pengetahuan lainnya seperti fisika matematika, kedokteran, kimia, ilmu falak/ilmu perbintangan dan ilmu firasat. Mengenai semua jawaban Imam Syafi’i, semua terpesona.
Khalifah al-Rasyid sendiri menghadirkan uang sebesar 50.000 Dinar. Oleh Imam Syafi’i hadiah tersebut diterima dengan baik sambil mengucapkan terima kasih. Pada saat perjalanan pulang, Imam Syafi’i diberikan sejumlah emas oleh pejabat negara khalifah Bani Abbasiyah namun Imam Syafi’i menolak karena menganggap yang memberikan itu masih berada di bawahnya.
Sejak peristiwa tersebut Imam Syafi’i kemudian menjauhkan diri dari politik dan ia tidak mau menerima kedudukan apapun di dalam pemerintahan. Ia bertekad hanya mencurahkan segenap kekuatan dan tenaganya untuk ilmu pengetahuan dan fiqih. Ia merasa bahwa adalah sebuah kekeliruan ketika mau menerima jabatan pemerintah di Yaman beberapa tahun lalu karena itu berarti yang melibatkan diri ke dalam urusan yang bukan bidangnya.
Sikap Politik Imam Syafi’i Di Mesir
Berbeda dengan di Yaman dan Irak, ketika imam Syafi’i di Mesir, ia dengan bebas menyatakan pemikiran dan pendapatnya. Dia menulis sebuah buku tentang perjuangan memerangi kaum yang berbuat aniaya/zalim, satu hal yang barangkali tidak dapat dilakukan di negeri Islam lain selain Mesir saat itu.
Di dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 9 disebutkan bahwa : ” Maka perangilah golongan yang berlaku zalim hingga mereka kembali kepada perintah Allah”. Nash ayat suci tersebut turun berkenaan dengan peperangan yang terjadi di antara sesama kaum muslimin yakni bila golongan yang satu dari mereka berbuat zalim terhadap golongan yang lain.
Menurut Imam Syafi’i yang dimaksud dengan orang-orang zalim dalam ayat tersebut ialah memerangi kekuasaan yang sah menurut syara’. Menurut penafsiran Imam Syafi’i mereka adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan serta angkatan perangnya yang memerangi Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib.
Anak keturunan Imam Ali Bin Abi Thalib hidup tertindas di bawah kekuasaan daulah Bani Umayyah. Demikian juga keadaan mereka di bawah kekuasaan Bani Abbas. Beberapa orang dari sahabat Imam Ahmad bin Hanbal mengkritik sikap Imam Syafi’i karena menulis buku tentang perjuangan memerangi kezaliman.
Mereka mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah orang Syiah. Kritikan tersebut dijawab oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan menyatakan : ” Subhanallah, apakah sebelum Amil mukminin Ali Bin Abi Thalib ada orang yang mati karena memerangi orang yang zalim?”.
Sekali lagi Imam Syafi’i disibukkan oleh pemikiran politik. Akan tetapi kali ini dia terpaksa sibuk memikirkan soal politik bukan karena kedudukan atau jabatan melainkan demi ilmu fiqih. Imam Syafi’i berpendapat bahwa seseorang penguasa wajib ditaati jika dipilih oleh rakyat melalui pemilihan bebas dan dibaiat tanpa paksaan dan tanpa penipuan. Akan tetapi apabila rakyat memandang perintah penguasa itu berlawanan dengan ketentuan Allah dan Rasul mereka tidak boleh menaatinya.