Penulis: Muhammad Afrizal Agung Laksono*
Huwa al-habiibu al-ladzi turjaa syafaa’atuhuu, likulli haulin min al-ahwali muqtahimi
“Dialah kekasih yang senantiasa diharapkan syafa’atnya, pada setiap kejadian dari kejadian mengerikan.”
Qasidah Burdah sangat populer di Indonesia, bahkan seantero dunia. Burdah merupakan syair-syair Islami yang legendaris dan mampu menyebar di seluruh pelosok negeri. Hampir seluruh pesantren di Nusantara menjadikan Burdah sebagai satu kegiatan wajib bagi para santrinya.
Tidak hanya itu, Burdah sukses menjamur dalam budaya masyarakat muslim Indonesia. Pelaksanaannya pun beragam, seperti melantunkan Burdah secara berjamaah di surau atau di rumah-rumah pada waktu tertentu, melagukannya sembari diiringi musik hadrah, dibaca tatkala pujian atau setelah adzan, hingga dibaca sambil berkeliling.
Dengan makna yang terkandung pada setiap baitnya, serta diimbangi dengan penjiwaan yang mapan oleh pembaca, Burdah Al Bushiri diyakini mampu memberikan solusi terhadap berbagai konteks permasalahan. Ihwal tersebut tak luput dari akar kesejarahan awal mula syair Burdah tercipta.
Dalam kacamata historis, Burdah menyimpan sejarah spektakuler yang tidak banyak orang tahu, walaupun eksistensinya sangat merakyat dan meluas di masyarakat. Burdah diciptakan oleh seorang ulama penyair yang terobsesi dengan kecintaannya kepada Rasulullah Muhammad SAW ia bernama Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid al Bushiri, atau lebih dikenal dengan Imam al-Bushiri.
Al Bushiri lahir pada tahun 609 Hijriyah di Dallas, Maghribi (Maroko), dan tumbuh besar di Mesir. Mesir inilah yang menjadi tempatnya menyelami bermacam keilmuan kepada para masyayikh, seperti Syekh Abbas Al Mursi ulama sufi terkemuka yang juga menisbahkan Al Bushiri sebagai murid yang piawai dalam bersyair, selain itu ia juga berguru kepada Imam Hasan As Syadzili, pendiri thoriqoh Syadziliah.
Al Bushiri adalah seorang sufi dan ulama cerdas. Banyak julukan yang dilekatkan kepadanya. Salah satunya yaitu Imam As-Syu’ara’, yang menandakan bahwa ia adalah pemuka ahli syair pada masanya (Nasef, 2017). Al-Bushiri memiliki beberapa karya, namun karya paling fenomenal yaitu al-Kawakib ad-Duriyyah fii Madh Khoir al-Bariyyah, yang lebih masyhur dengan sebutan Burdah. Burdah berisikan 160 bait pujian indah kepada Rasulullah. Karena karyanya ini ia diberi gelar Sayyidul Maddah, pemimpin para pemuji nabi Muhammad. (Muhajirin, 2021)
Al Bushiri mengarang Burdah ketika ia sedang sakit lumpuh. Menulis serangkaian kalimat pujian kepada Rasulullah, dengan harapan mendapatkan syafa’atnya kemudian kelak. Suatu ketika al-Bushiri tidak dapat melanjutkan syairnya, terhenti pada kalimat fa mablaghul ‘ilmi fihi annahu basyarun. Namun, pada satu waktu ketika ia tidur, Rasulullah hadir dalam mimpinya. Al-Bushiri memperdengarkan syairnya kepada Rasulullah hingga ia berhenti pada kalimat yang tidak dapat lagi ia lanjutkan.
Rasulullah meminta al-Bushiri untuk membacakannya, sabda rasulullah “Bacalah!”, namun ia tetap tercekat di situ. Lantas Rasulullah menyempurnakannya, sabda Nabi “wa annahuu khoiru kholqillahi kullihimi”. Di dalam mimpinya, Rasulullah mengusap wajah Bushiri dan nabi membuka jubahnya lalu menyelimutkannya kepada al-Bushiri.
Ketika ia terbangun dari mimpi itu, ia mendapati lumpuhnya telah sembuh dan syairnya sempurna. Burdah, secara etimologi memiliki arti baju (jubah), inilah yang menjadi alasan syair al-Bushiri diberi nama Burdah, sebagaimana mimpinya yang diselimuti Rasulullah dengan burdah (jubah).
Pada tahun 694 H/11294 M, Imam Al Bushiri wafat dan dimakamkan di Iskandaria, Mesir. Karya-karya al-Bushiri menjadi saksi perjalanan hidupnya dan tetap harum hingga kini. Sebagian ulama telah mensyarahi Burdah, dan menyalinnya di berbagai kitab. Sastra karangan Al Bushiri mendapatkan apresiasi tinggi.
Dr. De Sacy, ahli Bahasa Arab dari Sorbonne University, Prancis, memuji Burdah sebagai karya puisi terbaik sepanjang masa (Faidi, 2016). Itulah Burdah, sastra berupa sholawat yang luar biasa, mampu hidup selama berabad-abad lamanya.
Burdah juga menyebar di Indonesia. Keberadaannya bahkan mendarah daging dalam kebudayaan masyarakat Islam. Di kalangan pesantren, utamanya pesantren nahdliyin, membaca Burdah menjadi kegiatan rutin mereka. Ada yang membacanya selepas mengaji, setiap pagi, malam Jumat, atau menjadikannya nasyid dalam lagu-lagu Islami.
Dilansir dari RiauMagz.com, dalam buku berjudul “Rebana Burdah dan Biang” yang ditulis oleh Atik Soepandi dan Maman Suaman, Burdah adalah bagian kesenian Arab yang kemudian dibawa oleh para pedagang Arab ke Asia Tenggara termasuk Indonesia, sembari menyebarkan agama Islam. Kesenian ini dimainkan pada saat acara-acara tertentu seperti perkawinan, kenduri, khitanan, serta pada selamatan atau acara lainnya.
Lambat laun, Islam semakin berkembang di Nusantara, demikian pula Burdah semakin populer dan menyebar serta membaur dalam kehidupan masyarakat. Burdah di sebagian daerah dikatakan intengible cultural (Budaya Tak Benda) sesuai ciri khas daerah masing-masing, akan tetapi dapat hilang sewaktu-waktu layaknya pengetahuan dan teknologi.
Kitab-kitab Burdah yang banyak digunakan di Indonesia yaitu, kitab Burdah, kitab Mauli ad-Diba’i, kitab al-Barzanji, kitab Mauli Simth ad-Durar, kitab Dalail al-Khairat, kitab Majmu’ah al-Mawalid wa Ad’iyah, dan lain sebagainya.
Hakikatnya, sholawat Burdah dibaca untuk meningkatkan kecintaan seseorang terhadap Rasulullah SAW. Namun, seiring berjalannya waktu Burdah diyakini mengandung khasiat dan memberikan manfaat bagi sesiapa yang membacanya, dan ini pula yang menjadi paradigma di masyarakat sehingga bagi sebagian dari mereka terus mengamalkannya hingga saat ini.
Menurut Habib Salim Burdah sangat mujarab sebagai wasilah terkabulnya hajat, asal dibaca sesuai syarat. Tidak hanya itu, sholawat syair Burdah ini juga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit, sebagaimana Imam al-Bushiri yang sembuh dari lumpuhnya saat mengarang Burdah. Kemudian juga digunakan sebagai sarana penangkal ilmu hitam semacam santet serta gangguan jin.
Melampaui itu semua, kesenian Burdah harus terus dilestarikan dan dikembangkan agar keeksisannya tetap menyala-nyala. Tidak melulu terpaku pada paradigma yang ada, sebab segala sesuatu Tuhan lah yang menentukan. Burdah sebagai sholawat nabi hanya menjadi lantaran terwujudnya apa-apa yang dihajatkan.
*) Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung