Kemegahan peradaban sebuah bangsa sangat tergantung bagaimana bangsa itu membangunnya. Peradaban dibangun melalui perjuangan panjang yang berliku dari sebuah bangsa.
Bangsa yang maju peradabannya adalah bangsa yang di huni oleh manusia manusia yang unggul, manusia unggul adalah manusia yang pulang dari medan peperangan membawa kemenangan.
Sebaliknya bangsa yang di huni oleh para pecundang, penakut selalu digilas oleh waktu dan jadi bahan tertawaan bangsa lain.
Majunya peradaban sebuah bangsa adalah by desain dari seorang agent of change, siapakah agen of change itu? Mereka adalah pemilik gagasan besar yang berani dan punya kemampuan lebih dan tangguh untuk melakukan perubahan. Mereka adalah para Rasul para Nabi dan pemimpin besar.
Seorang Rasul, seorang Nabi dan para pemimpin sejati adalah petarung power full, cepat dalam mengambil keputusan dan tangkas dan sigap saat terdesak, rencana dijalankan secara teratur serta fokus terhadap tujuan.
Tidak sekedar itu kata Doktor Ali Syariati seorang ideolog revolusi Iran dalam buku Tugas Cendekiawan Muslim mengatakan bahwa Nabi itu seorang ummi artinya secara sosiologis diartikan seorang pemimpin hadir dari rakyat jelata, mengapa demikian diperlukan kajian sosiologis.
Seorang pemimpin harus punya gagasan besar yang mampu merubah sebuah bangsa, tidak sekedar punya gagasan tapi juga punya nyali besar. Karena pemimpin yang akan mengendalikan setiap perubahan, bukan sebaliknya pemimpin di kendalikan oleh lingkungan dan situasi. Ketika pemimpin dikendalikan oleh lingkungannya dan situasi, yang terjadi setiap yang diperoleh tidak berakar kuat karena berdasarkan kepentingan sesaat.
Kita bisa tengok perjalanan para Rasul Isa alaihi salam, beliau adalah seorang Rasul yang meletakkan dasar-dasar cinta kepada ummat manusia sampai hari ini di kenang masyarakat luas.
Demikian juga dengan Rasul Muhammad SAW meletakkan pentingnya membaca, pentingnya belajar, pentingnya berpikir dan pentingnya melakukan pembuktian. Yang kemudian di ajarkan kepada para sahabat dan Ummat Muslim.
Rasulullah tidak memerlukan waktu yang lama untuk menggerakkan masyarakat Islam yang semula sebagai bangsa jahiliyah dirubah menjadi bangsa yang beradab. Tidak lama Rasulullah Muhammad SAW meninggal ummat Muslim mengukir prestasi besar yang sangat monumental yaitu membukukan Al Qur’anul Karim.
Sebagai kitab yang di baca setiap detik di hafal dikaji dari berbagai macam sudut pandang oleh kaum Muslimin di seluruh dunia bahkan orientalispun turut mempelajari terlepas mereka punya misi tidak baik.
Tidak ada satu buku pun di dunia yang dibaca, dihafal dikaji dan diamalkan setiap detik kecuali Al Qur’an kedua Al Hadis Ini artinya Rasulullah mampu melihat potensi dan bagaimana cara menggerakkan ummat Muslim menjadi manusia unggul.
Hadirnya para sahabat yang mencintai Al Qur’an dan Sunnah melahirkan generasi yang cerdas dan tangguh. Setelah kurang lebih 50 tahun meninggalnya Sayyidina Utsman lahirkan seorang ilmuwan muslim yang bernama Abu Hanifah.
Untuk sampai pada Abu Hanifah tentu Al Qur’an dan Hadis di ajarkan oleh para sahabat dengan sangat hebat di seluruh dunia akhirnya juga sampai pada Abu Hanifah. Abu Hanifah adalah sarjana muslim yang berhasil menulis kitab melalui ijtihadnya untuk menyusun jurispudensi Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah, agar mudah di pelajari dan dipraktikan.
Tentu upaya dari para imam mazhab fikih teologi maupun Hadis adalah proyek besar sarjana Islam dalam upaya membuka ilmu pengetahuan dalam Islam.
Manusia yang menguasai peradaban melalui ilmu pengetahuan boleh timbul dan tenggelam namun kenyataannya ilmu pengetahuan berpihak kepada siapa saja yang mau membaca, belajar, berpikir dan bereksperimental.
Abad pertengahan adalah abad dimana barat tidak bercahaya lagi atau the dark, dimana para ilmuan dan filosof di pukul KO oleh para rahib ortodok, yang terjadi kitab-kitab ilmu pengetahuan di bakar dan di musnahkan.
Namun di timur yang semula gelap ada setitik cahaya menerangi dunia timur. Arab yang jahiliyah tiba-tiba melalui hadirnya Rasulullah yang menyerukan untuk membaca belajar, berpikir dan bereksperimental. Seruan Rasulullah telah melahirkan banyak ilmuan muslim dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Tradisi membaca, belajar, berpikir serta pembuktian empiris dari Rasulullah sarjana muslim menemukan kebenaran empiris melalui metode induktif melengkapi kebenaran rasionalisme dengan deduktifnya yang terlebih dahulu di temukan sarjana Yunani. Hidupnya ilmu pengetahuan didunia Islam yang dilakukan para ilmuan Islam membuat dunia Islam mengalami masa keemasan the age gold.
Namun sedikit-sedikit kemajuan yang di capai bangsa muslim yang demikian maju itu mulai bergeser. Perdebatan-perdebatan yang terjadi di kalangan muslim tidak lagi bercita rasa ilmu pengetahuan.
Padahal seorang hujatul Islam seperti Al Ghazali dalam melakukan perdebatan dan kritik sangat akademis, meskipun Al Ghazali juga dalam argumentasinya berbasis filsafat rasionalis menguliti pikiran-pikiran para filsuf muslim. Kritik keras Al Ghazali di tanggapi dengan sangat serius dengan semangat ilmu pengetahuan oleh Ibnu Rusyd.
Perdebatan dan kritik yang di lakukan para sarjana muslim ada satu yang menarik dari banyak yang menarik yaitu seorang sarjana yang di kenal sebagai syekhul Islam yaitu Ibnu Taimiyah tentang kritiknya terhadap filsafat Yunani. Ibnu Taimiyah adalah ilmuan yang belajar banyak tentang filsafat, namun Ibnu Taimiyah menolak bahwa kebenaran rasional yang dibawa oleh filsafat adalah kebenaran tunggal dalam ilmu pengetahuan.
Ibnu Taimiyah dari berbagai tulisan-tulisannya memperkenalkan ilmu-ilmu empirik seperti ekonomi, negara politik dan keadilan. Bagi Ibnu Taimiyah ada kebenaran ilmu selain didapat dari rasionalitas yaitu kebenaran empirisme sebagai sebuah pembuktian.
Seruan membaca, belajar, berpikir dan bereksperimental untuk mendapatkan pengetahuan oleh Rasulullah mulai di tinggalkan umat Islam. Ummat Islam memulai menokohkan, mengidolakan kehebatan individu-individu yang berlebihan, berkumpul menjadi pendukung masing-masing idolanya.
Mereka tidak lagi berdebat tentang ilmu pengetahuan, namun mereka sibuk menyusun argumentasi mengadakan pembelaan terhadap tokoh idolanya masing-masing.
Yang terjadi adalah pengkultusan individu dari semasa hidup sampai telah meninggal ratusan tahun juga dipuja-puja sebagai tokoh besar tanpa ada keberanian melakukan telaah mendalam apalagi kritik terhadap pikiran pendahulunya. Disinilah diantara banyak alasan yang lain atas matinya kaum intelegensia Islam.
Oleh: Suryawan Agung Willis