Dalam buku terbarunya yang berjudul Hermeneutika: Pengantar ringkas, Prof. Bambang Sugiharto–salah seorang filsuf terkemuka di Indonesia–mencoba menjelaskan urgensi hermeneutika sebagai bukan hanya kaca mata tafsir, tetapi juga sebagai pandangan hidup manusia di abad ke-21.
Kehidupan manusia di abad ke-21 merupakan bentuk baru dari rentetan panjang sejarah umat manusia. Setiap zaman memiliki ciri dan karakteristiknya masing-masing, begitu pula kehidupan abad ini. Perkembangan sains, teknologi, hingga belakangan kemunculan AI (Artificial Intelligence), adalah ciri utama kehidupan di abad ini.
Namun, segala bentuk kemajuan di abad ini tak lantas menjadikan manusia benar-benar mencapai idealnya secara sempurna. Justru, dari kemajuan ini, lahir persoalan-persoalan baru yang belum pernah dialami oleh peradaban-peradaban sebelumnya.
Situasi di abad ke-21 ini secara umum sering disingkat dengan akronim BANI. BANI merupakan singkatan dari Brittle, Anxious, Non-Linear, dan Incomprehensible.
Brittle (keras tapi rapuh) mengindikasikan adanya ilusi kekuasaan dan supremasi. Abad ini dipenuhi dengan orang-orang, dan bahkan dalam skala negara, yang merasa adikuasa. Namun, faktanya, mereka rapuh, lemah, dan gelagapan ketika dihadapkan dengan persoalan baru yang muncul sebagai akibat dari kemajuan sains, teknologi, dan industri. Kerapuhan ini bisa kita lihat ketika Covid-19 melanda banyak negara yang dikenal sebagai negara adikuasa di dunia; mereka tak berdaya.
Anxious (cemas) menunjukkan ilusi kebahagiaan hari ini. Bahwa segala bentuk pencapaian sains dan teknologi, tidak benar-benar menghantarkan manusia pada kebahagiaan. Sebaliknya, kasus depresi, bunuh diri, alienasi, dan kasus-kasus serupa, semakin hari—seiring dengan kemajuan yang tak terelakkan—semakin bertambah.
Non-Linear menunjukkan adanya ilusi pengetahuan manusia di abad ke-21. Di satu sisi, kita mendengar bahwa sains dan teknologi dimaksudkan sebagai seperangkat aparatus yang bukan hanya bisa memprediksi masa depan, tetapi juga merekayasa apapun. Namun, dewasa ini, temuan-temuan paling aktual mengindikasikan hal yang berkebalikan dari klaim di atas.
Hukum kausalitas, yang menjadi dasar bagi ekstrapolasi sains, ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Hubungan sebab-akibat tak selinier yang dibayangkan, ia datang dari berbagai arah. Sehingga, apa yang disebut sebab hari ini bisa jadi adalah akibat, dan sebaliknya.
Incomprehensible menunjukkan ilusi kebenaran. Apa yang dahulu diyakini sebagai kebenaran (absolut), entah itu berupa dogma, mitos, aksioma, postulat, bahkan data sains, hari ini tampak tak benar-benar meyakinkan. Kebenaran menjadi hal yang benar-benar tidak pasti. Namun, ia harus tetap dicari karena keberadaannya bersifat niscaya—betapapun kita tidak bisa memastikan apakah kita bisa mencapainya. Dan tugas kita hari ini adalah berusaha menggapainya—betapapun secara mandiri.
Pencarian ini bersifat niscaya, bila kita mengakui kelemahan dan kerapuhan kita. Karena, sebagaimana dikatakan Erich Fromm, manusia tidak bisa hidup tanpa kepastian dan pegangan. Namun, manusia hari ini telah menemukan satu empu baru yang dijadikan pegangan dan yang bisa menjamin sebuah jawaban yang pasti. Ia tak pernah tidur, tak pernah lelah, dan tak pernah menggerutu ketika ditanya segala persoalan. Ia adalah AI (Artificial Intelligence). AI memungkinkan manusia mengakses pengetahuan secara instan dan kerap kali data yang dimunculkan bersifat akurat.
Betapapun demikian, mengetahui saja tidak cukup bagi manusia. Secara alamiah manusia membutuhkan tidak hanya pengetahuan, tetapi juga pemahaman dan kebijaksanaan. Mengetahui berbeda dengan memahami, dan memahami berbeda dengan bijaksana.
Kerancuan situasi dunia hari ini bukanlah alasan bagi kita untuk bersikap pasif atau bahkan apatis. Ia adalah tanggung jawab yang harus dihadapi demi kehidupan yang lebih baik. Di sinilah, hermeneutika hadir sebagai, katakanlah, cara untuk memahami dunia dengan lebih baik dan, yang paling mendesak, agar kita tidak larut dalam jajahan teknologi.
Hermeneutika bisa dipahami sebagai jenis filsafat yang bersandar pada prinsip bahwa seluruh hidup adalah proses penafsiran, suatu upaya untuk menafsirkan segala hal. Karena, dalam hidup ini, tidak ada satu pun hal yang bukan produk dari sebuah penafsiran. Konsep dalam agama, sosial, negara, bahkan tentang manusia itu sendiri adalah produk dari tafsir.
Dengan demikian, hermeneutika bisa dilihat sebagai kerangka pandang baru guna memahami realitas. Dengan kata lain, ia bukan hanya sekadar “metode”, tetapi telah bertransformasi menjadi “filsafat”, framework, atau lensa ontologis.
Tulisan ini bermaksud agar urgensi hermeneutika dipahami dan menjadi kaca mata manusia di abad ke-21, menjadi jawaban dari dehumanisasi dari dominasi AI, dan menjadi solusi dari situasi VUCA dan BANI. Terima kasih. Wallahu A’lamu

