Kuliahalislam. Mabda’ (sumber pertama, asal, asas, dasar, landasan, pokok, prinsip). Titik pusat yang menjadi sumber pertama terjadi atau terbentuknya sesuatu yang lain. Misalnya, atom dikatakan sebagai Mabda’ dari materi-materi lain yang ada dalam alam ini. Dengan demikian, di satu sisi, kajian tentang Mabda’ tidak terlepas dari kajian tentang Mahiah ( hakikat universal) yang mendasari Maujudat.
Kajian tersebut merupakan objek pokok dalam filsafat, khususnya dalam bidang ontologi. Di sisi lain tentang Mabda’ terkait pula dengan permasalahan ( sumber pengetahuan) yang menjadi landasan terbentuknya “konsepsi” (tasawwur) dalam pikiran. Permasalahan terakhir ini merupakan objek pokok epistemologi dalam filsafat.
Dalam kajian ontologis, Mabda’ dikatakan juga sebagai sabab al-asbab ( sebab dari segala sebab) atau ‘illah ula ( sebab yang pertama). Dalam hal ini, kajian akan meluas kepada beberapa permasalahan yakni Mabda’ itu tunggal atau banyak, materi atau non materi, dan kaitan Mabda’ itu dengan sesuatu yang bersumber darinya berbentuk hubungan sebab akibat atau tidak.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, sejak dahulu kala, para pemikir telah mengemukakan berbagai pemikiran dan pendapat sesuai dengan latar belakang zamannya.
Mabda’ Menurut Filsuf Yunani
Thales (624-545 SM), filsuf dan matematikawan Yunani pertama mengemukakan bahwa Mabda’ segala yang Maujudad ini, adalah tunggal dan berbentuk materi yaitu “air”. Bagi Thales, air adalah sebab pertama dari segala yang ada dan sekaligus sebab akhir dari segala yang ada. Di samping sebagai maddah (materi), air sekaligus sebagai surah (bentuk).
Pandangan Thales kemudian ditentang oleh muridnya sendiri yaitu, Anaximander (610-547 SM), yang mengatakan bahwa tidak mungkin segala sesuatu terjadi dari air. Dia mengatakan bahwa Mabda’ segala sesuatu adalah tunggal dan tidak terbatas. Mabda’ yang demikian disebutnya Apeiron. Karena tidak berhingga, Apeiron tidak dapat diindra. Segala yang dapat diindra mempunyai akhir. Dia timbul atau terjadi, hidup, mati dan lenyap.
Segala yang berakhir dalam “kejadian” senantiasa, yaitu dalam keadaan berpindah dari satu dan menyatu dengan yang lain. Yang cair menjadi beku dan sebaliknya. Demikian pula, yang panas menjadi dingin dan sebaliknya. Semua itu terjadi dari Apeiron dan kembali pula kepadanya. Pandangan kedua filsuf Yunani itu dalam istilah filsafat disebut dengan “Materialisme Monisme”, yakni memandang bahwa asal segala yang Maujud ini adalah berbentuk materi tunggal.
Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang bersifat non materi tidak merupakan sesuatu yang fundamental dalam alam ini; dia hanya muncul sebagai aktivitas dari materi atau sebagai akibat dari aktivitas materi. Berbeda dengan pendapat di atas, Empedocles ( filsuf Yunani, 490-430 SM) berpendapat bahwa Mabda’ dari segala yang Maujud ini bukan satu tetapi banyak terdiri dari empat anasir yaitu udara, api, tanah, dan air.
Keempat anasir itu adalah pemilik empat sifat; udara dingin api bersifat panas, air bersifat basah dan tanah bersifat kering. Segala yang Maujud ini berasal dari persenyawaan keempat anasir tersebut yang disatukan oleh “cinta” dan dipisahkan oleh “benci”. Cinta dan benci itu sendiri berada di luar Mabda’ tersebut. Cinta menjadikan sesuatu Maujud, sedangkan benci menghancurkannya dan mengembalikannya ke asalnya (keempat anasir tersebut).
Pendapat Empedocles dibantah pula oleh Anaxagoras ( filsuf Yunani, 500-428 SM). Ia memandang bahwa Mabda’ alam semesta ini bukan terdiri dari empat anasir tetapi banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Barang asal tidak dapat berubah menjadi baru, keadaannya tetap. Oleh sebab itu, anasir asal harus ada pada setiap barang. Dengan demikian anasir yang menjadi Mabda’ itu sama banyak dengan zat barang yang ada dalam alam ini.
Apabila dari segalanya dapat terjadi segalanya, maka ada segalanya dalam segalanya. Setiap barang mengandung zat dari segala barang. Dalam nasi, air, dan sebagainya telah ada zat kulit, zat darah, zat daging dan zat tulang. Karena jika tidak demikian, nasi yang dimakan dan yang diminum tidak dapat memperbarui kulit, tidak dapat menjadi darah, daging dan tulang. Barang yang berlainan rupanya itu bergantung kepada kedudukan campuran anasir asal. Anasir yang terbanyak dalam campuran itu menentukan rupa barang itu.
Sama dengan Empedocles, Anaxagoras berpendapat bahwa percampuran dan perpisahan anasir-anasir asal itu digerakkan oleh kodrat dari luar, tetapi bukan cinta dan benci seperti yang dikatakan oleh Empedocles. Menurutnya, kuadrat yang menyatukan dan memisahkan itu hanya satu yaitu Nus.
Pandangan yang mengatakan bahwa Mabda’ alam ini berasal dari materi yang ditentang oleh para pemikir yang memandang bahwa Mabda’ itu bersifat spiritual. Menurut mereka, asal- usul segala yang ada ini adalah Ruh. Materi yang ada dan dapat di Indra menurut penganut aliran serba Ruh (Idealisme) merupakan penjelmaan dari Ruh.
Johann Gottlieb Fichte (1762-1814 M), filsuf Jerman menerangkan bahwa segala sesuatu selain Ruh yang rupanya ada dan hidup merupakan suatu jenis, perupaan, perubahan atau penjelmaan dari Ruh. Plato (427-347 SM), yang dipandang sebagai Bapak Idealisme, melihat bahwa alam empiris yang ada ini bukan sesuatu yang hakiki, hanya bayangan dari alam ide yang rill.
Alam ide, menurut Plato, merupakan suatu realitas dan bentuk-bentuk asli yang memunculkan bentuk-bentuk yang lebih beraneka ragam dari alam empiris. Apabila kita melihat beraneka ragam meja, maka yang kita lihat dengan mata itu bukan yang sesungguhnya tetapi bayangan-bayangan tidak sempurna dari meja asli yang ada dalam alam ide. Menurut Plato, Mabda’ alam ini adalah bentuk alam yang ada dalam ide. Alam ide itu bersifat spiritual.
Adapun Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716 M), filsuf Jerman, memandang bahwa Mabda’ alam maujudat ini adalah Monade. Monade adalah kesatuan-kesatuan yang bersifat sederhana, tidak menempati ruang dan tidak berbentuk. Sifat utamanya ialah bergerak dan berpikir. Monade bukan materi, dia hidup meskipun pada tingkat tertentu tidak sadar. Monade itulah yang menjadi asal usul alam semesta ini.
Mabda’ Menurut Islam
Dalam teologi dan filsafat Islam, kajian ontologi tentang Mabda’ mendapat perhatian yang besar pula. Kaum teologi dan filsuf islam sepakat bahwa Mabda’ segala yang Maujud ini adalah Allah. Akan tetapi, mereka berbeda dalam melihat bagaimana alam yang serba ganda ini muncul dari Allah sebagai Mabda’-nya yang tunggal.
Kalangan Ahlussunnah wal Jamaah memandang bahwa alam semesta muncul dari Sumber-nya itu melalui penciptaan dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo). Pada mulanya alam ini tidak ada. Kemudian Allah menciptakannya dari tidak ada (‘adam) menjadi ada (wujud), sehingga alam ini merupakan makhluk yang baru.
Berbeda dengan pandangan Ahlussunnah wal Jamaah, di kalangan Muktazilah dan filsuf lainnya terdapat pandangan bahwa alam ini dijadikan Tuhan dari sesuatu yang ” telah ada”. Dari kalangan Muktazilah muncul pandangan bahwa alam ini dijadikan Allah bukan dengan cara langsung dari tidak ada menjadi ada, tetapi dijadikan-Nya secara tidak langsung dari bahan yang telah ada yaitu Syai’ wa zat wa ‘ain ( sesuatu dan hakiki). Bahan ini mereka sebut al-maddah al-ula (materi pertama) atau ma’dum (ketiadaan). Bahkan, ada di kalangan mereka yang mengatakan bahwa ma’dum itu sama dengan alam empiris ini, hanya belum mempunyai wujud.
Kalangan filsuf antara lain al-Farabi dan Ibnu Sina, juga berpendapat bahwa alam ini diciptakan-Nya secara tidak langsung. Menurut mereka, alam semesta muncul dari Allah sebagai Mabda’nya dengan jalan melimpah (emanasi). Istilah Mabda’ digunakan pula oleh filsafat dalam menetapkan sumber ilmu pengetahuan.
Secara garis besar terdapat dua aliran filsafat. Pertama, rasionalisme yang memandang bahwa Mabda’ ilmu pengetahuan adalah “rasio”. Rasio itu hanya ada pada subjek (manusia). Aktivitas rasio ialah berpikir. Dengan berpikir muncul ilmu pengetahuan, karena tidak memiliki rasio. Hewan hanya mempunyai naluri yang dibawanya sejak lahir.
Naluri itu menentukan tindakannya. Karena itu, tindakan hewan tidak pernah berubah. Filsuf yang cenderung kepada teori ini diantaranya adalah Rene’ Descartes ( filsuf Prancis, 1596-1650 M) dan Leibniz. Kedua, empirisme yang menentang pandangan kaum rasionalis. Aliran ini memandang bahwa Mabda’ ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris manusia.
Segala yang didengar, dilihat, dicium, dirasa dan diraba oleh manusia akan menjadi pengalamannya. Pengalaman tersebut merupakan sumber ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Bagi aliran ini, rasio manusia tidak dilengkapi dengan pengetahuan apriori yang dibawa sejak lahir. Rasio hanya laksana Tabula rasa ( lembaran kosong) yang baru akan memiliki tulisan dengan adanya pengalaman. Filsuf yang cenderung kepada paham ini diantaranya adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704), keduanya filsuf Inggris.
Para filsuf Islam cenderung memadukan kedua Mabda’ itu, bahkan menambahkannya dengan sumber ketiga itu Wahyu dan Ilham ( intuisi). Kelompok Ikhwan as-Safa memandang bahwa pengetahuan manusia dimulai dengan penginderaan terhadap suatu objek, pada tahap ini manusia sama dengan hewan, kemudian dilanjutkan dengan memikirkan apa yang telah diindra, sehingga menghasilkan suatu pengetahuan, pada tahap ini manusia telah melampaui hewan.
Pengetahuan dengan demikian mereka sebut pengetahuan biasa. Di atas pengetahuan biasa ada pengetahuan argumen (Burhan), yakni pengetahuan yang didapat oleh orang tertentu karena kenyalangan mata hatinya. Pengetahuan ini identik dengan pengetahuan intuitif.
Di dalam tasawuf, pengetahuan intuitif dipandang sebagai pengetahuan yang paling hakiki dan paling dapat diterima kebenarannya. Pengetahuan intuitif ini bahasa langsung dari Tuhan dan dapat dicapai oleh manusia tertentu yang telah membersihkan batinnya dari segala kotoran dosa. Imam Abu Hamid Al-Ghazali menerima baik pengetahuan intuitif ini. Dia mengatakan bahwa hati manusia laksana cermin. Apabila cermin itu dibersihkan maka akan dapat tergambar bermacam-macam gambaran.
Pengetahuan intuitif yang diterima dari Ilahi akan tergambar dengan jelas di dalam hati yang telah dibersihkan. Dengan demikian, menurut pendapat para filsuf dan Sufi, intuisi juga merupakan Mabda’ pengetahuan di samping pengalaman dan pemikiran. Paham ini kemudian diterima oleh Henri Bergson ( 1859- 1941), filsuf Prancis.

