Pernikahan merupakan syariat agama Islam yang mengandung tujuan terciptanya kehidupan sakinah mawaddah wa rohmah. Namun tidak semua pernikahan berjalan sesuai keinginan, beberapa bahtera rumah tangga bahkan tidak bisa lagi dipertahankan. Apabila perceraian tidak mampu dihindari, maka talak boleh dilakukan namun tetap memiliki prosedur-prosedur hukum yang menjadi konsekuensi perceraian, seperti iddah dan mut’ah.
Dalam fikih munakahat mut’ah didefinisikan sebagai materi yang diserahkan suami kepada istri yang dipisahkan dari kehidupannya karena talak atau semakna dengannya dengan syarat tertentu. Adapun perceraian yang melalui gugatan istri (khulu’) maka istri tidak memiliki hak mut’ah sama sekali dari mantan suaminya. Perintah ini termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 241,
وَلِلْمُطَلَّقٰتِ مَتَاعٌ ۢ بِالْمَعْرُوْفِۗ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ
“Bagi istri-istri yang diceraikan terdapat hak mut‘ah dengan cara yang patut. Demikian ini adalah ketentuan bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan yang dicerai memiliki hak untuk mendapatkan mut’ah. Kewajiban mut’ah berlaku baik bagi talak raj’i (talak yang masih boleh untuk rujuk) maupun talak ba’in kubra (sudah tidak dapat rujuk kecuali wanita menikah dan digauli oleh suami barunya, lalu bercerai).
Terkait hukum pemberian mut’ah sendiri, para imam mazhab berbeda pendapat mengenai status hukumnya, sebagian berpendapat bahwa mut’ah adalah sunah, dan sebagian mengatakan wajib.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa hak mut’ah hukumnya wajib baik bagi perempuan yang sudah diserahkan maharnya, maupun yang belum. Baik yang sudah dicampuri, maupun belum dicampuri.
Demikian pendapat menurut pendapat imam Syafii. Pendapat ini didasari karena ayat tersebut tidak mengandung pengkhususan. Sedangkan dalam mazhab Hanafi mut’ah menjadi wajib jika perceraian terjadi sebelum persetubuhan dalam pernikahan yang tidak disebutkan maharnya.
Menurut mazhab Maliki, hukum mut’ah diklasifikasikan menjadi lebih rinci. untuk perempuan yang ditalak sebelum digauli dan belum disebutkan maharnya, maka ia berhak menerima mut’ah namun tidak berhak menerima mahar.
Jika belum digauli dan sudah disebutkan maharnya maka ia tidak berhak atas mut’ah. Adapun perempuan yang sudah digauli, baik sudah disebutkan maharnya atau belum,ia berhak menerima mut’ah.
Adapun menurut mazhab Hanbali, kewajiban mut’ah sama seperti mazhab Hanafi, dan selain perempuan mufawwidah (yang belum disebutkan maharnya) maka hukumnya adalah sunnah.
Dalam tafsir Al Misbah karya Quraish Shihab, dijelaskan bahwa Al-Baqarah ayat 241 memerintahkan kewajiban suami untuk memberi nafkah yang layak bagi mantan istrinya, baik yang sudah digauli maupun belum, baik yang sudah dibayar maharnya maupun belum. Apabila ia sudah menetapkan mahar namun belum berhubungan badan dengan istrinya maka mahar yang wajib ia bayar cukup setengahnya.
Selain surat Al-Baqarah ayat 241, dasar hukum mut’ah juga terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 49,
فَمَتِّعُوْهُنَّ وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلًا
“Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
Dalam tafsir Al-Misbah, ayat ini menjelaskan bahwa ketika suami menceraikan istrinya maka ia harusnya menceraikan dengan baik-baik dan pemberian mut’ah adalah untuk menghibur hati istri.
Makna “lepaskanlah mereka dengan cara baik-baik” disini bermakna diceraikan dengan tingkah laku dan ucapan yang baik dan membiarkan sang istri memilih kehidupannya sendiri setelah bercerai.
Dalam tafsir Thabari, mut’ah bisa dirupakan sebagai harta benda, pakaian, pelayan, atau yang lain sebagai penghibur hati istri pasca perceraian. Untuk besaran mut’ah sendiri, para ulama juga berbeda pendapat.
Menurut mazhab Syafii, besaran pernikahan merupakan syariat agama Islam yang mengandung tujuan terciptanya kehidupan sakinah mawaddah wa rohmah.
Namun tidak semua pernikahan berjalan sesuai keinginan, beberapa bahtera rumah tangga bahkan tidak bisa lagi dipertahankan. Apabila perceraian tidak mampu dihindari, maka talak boleh dilakukan namun tetap memiliki prosedur-prosedur hukum yang menjadi konsekuensi perceraian, seperti iddah dan mut’ah.
Dalam fikih munakahat mut’ah didefinisikan sebagai materi yang diserahkan suami kepada istri yang dipisahkan dari kehidupannya karena talak atau semakna dengannya dengan syarat tertentu.
Adapun perceraian yang melalui gugatan istri (khulu’) maka istri tidak memiliki hak mut’ah sama sekali dari mantan suaminya. Perintah ini termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 241,
وَلِلْمُطَلَّقٰتِ مَتَاعٌ ۢ بِالْمَعْرُوْفِۗ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ
“Bagi istri-istri yang diceraikan terdapat hak mut‘ah dengan cara yang patut. Demikian ini adalah ketentuan bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan yang dicerai memiliki hak untuk mendapatkan mut’ah. kewajiban mut’ah berlaku baik bagi talak raj’i (talak yang masih boleh untuk rujuk) maupun talak ba’in kubra (sudah tidak dapat rujuk kecuali wanita menikah dan digauli oleh suami barunya, lalu bercerai) .
Terkait hukum pemberian mut’ah sendiri, para imam mazhab berbeda pendapat mengenai status hukumnya, sebagian berpendapat bahwa mut’ah adalah sunah, dan sebagian mengatakan wajib.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa hak mut’ah hukumnya wajib baik bagi perempuan yang sudah diserahkan maharnya, maupun yang belum. Baik yang sudah dicampuri, maupun belum dicampuri. Demikian pendapat menurut pendapat imam Syafii. Pendapat ini didasari karena ayat tersebut tidak mengandung pengkhususan.
Sedangkan dalam mazhab Hanafi mut’ah menjadi wajib jika perceraian terjadi sebelum persetubuhan dalam pernikahan yang tidak disebutkan maharnya.
Menurut mazhab Maliki, hukum mut’ah diklasifikasikan menjadi lebih rinci. untuk perempuan yang ditalak sebelum digauli dan belum disebutkan maharnya, maka ia berhak menerima mut’ah namun tidak berhak menerima mahar.
Jika belum digauli dan sudah disebutkan maharnya maka ia tidak berhak atas mut’ah. Adapun perempuan yang sudah digauli, baik sudah disebutkan maharnya atau belum,ia berhak menerima mut’ah.
Adapun menurut mazhab Hanbali, kewajiban mut’ah sama seperti mazhab Hanafi, dan selain perempuan mufawwidah (yang belum disebutkan maharnya) maka hukumnya adalah sunnah.
Dalam tafsir Al Misbah karya Quraish Shihab, dijelaskan bahwa Al-Bqaarah ayat 241 memerintahkan kewajiban suami untuk memberi nafkah yang layak bagi mantan istrinya, baik yang sudah digauli maupun belum, baik yang sudah dibayar maharnya maupun belum. Apabila ia sudah menetapkan mahar namun belum berhubungan badan dengan istrinya maka mahar yang wajib ia bayar cukup setengahnya.
Selain surat Al-Baqarah ayat 241, dasar hukum mut’ah juga terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 49,
فَمَتِّعُوْهُنَّ وَسَرِّحُوْهُنَّ سَرَاحًا جَمِيْلًا
“Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
Dalam tafsir Al-Misbah, ayat ini menjelaskan bahwa ketika suami menceraikan istrinya maka ia harusnya menceraikan dengan baik-baik. dan pemberian mut’ah adalah untuk menghibur hati istri. dan makna “lepaskanlah mereka dengan cara baik-baik” disini bermakna diceraikan dengan tingkah laku dan ucapan yang baik dan membiarkan sang istri memilih kehidupannya sendiri setelah bercerai.
Dalam tafsir thabari, mut’ah h bisa dirupakan sebagai harta benda, pakaian, pelayan, atau yang lain sebagai penghibur istri. Untuk besaran mut’ah sendiri, para ulama juga berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafii, besaran mut’ah dianjurkan sebanyak 30 dirham atau yang setara dengan itu. Menurut mazhab Hanafi, besaran mut’ah seharga sepotong pakaian, namun hal ini bukan merupakan aturan spesifik, hanya sebagai gambaran atau acuan. Sedangkan menurut Hanbali, besaran mut’ah disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kesimpulannya, besaran mut’ah tidak dapat disamaratakan karena kehidupan terus berkembang dan standar harga barang dalam suatu negara maupun daerah tentunya berbeda. keputusan besaran mut’ah akan dilakukan oleh hakim setempat dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi kedua belah pihak (suami dan istri) standardisasi kebutuhan daerah tersebut serta pertimbangan faktor lain seperti tanggungan pasca perceraian.
Jika menurut aturan dalam KHI pasal mu’tah tercantum di pasal 149, 158, 159 dan 160.
Pasal 149 :
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
- Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul (belum digauli sudah dicerai)
- Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah di jatuhi talak bai atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil
- Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al- dukhul (belum digauli)
- Memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Pasal 158 :
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :
1) Belum ditetapkan mahar bagi istri ba`da al dukhul;
2) Perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159 :
Mut’ah sunnah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.
Pasal 160:
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
Mut’ah memiliki hikmah yang mencerminkan keadilan Islam dalam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Adapun beberapa hikmah tersebut adalah :
- Mengurangi luka emosional sang istri, bagaimanapun perceraian bukanlah hal yang mudah dan seringkali mengakibatkan luka batin yang mendalam. Mut’ah disini diharapkan mampu memberi dorongan untuk bangkit bagi sang istri saat mulai menata kehidupan barunya tanpa suami.
- Mengurangi beban finansial, bagi istri yang memiliki penghasilan sendiri, mungkin tetap bisa melanjutkan hidup dengan bertumpu pada pekerjaannya sendiri. Namun, bagi perempuan yang dicerai dalam posisi tidak memiliki penghasilan sendiri tentunya akan sangat berat. Mut’ah yang diberikan oleh suami disini tentunya akan sangat membantu keberlangsungan hidup mantan istri.
- Bentuk tanggung jawab suami walaupun sudah tidak dalam ikatan pernikahan, mantan istri tetaplah orang yang pernah hidup bersama dan berjasa dalam kehidupannya. apalagi jika mantan istri tersebut telah melahirkan, menyusui dan merawat buah hati mantan suaminya. Mut’ah disini merupakan tanggung jawab moral walaupun ikatan pernikahan telah terputus.
Dalam konsep mut’ah dapat dilihat bahwa Allah begitu menekankan adanya konsep keadilan dan kesejahteraan jika talak memang menjadi solusi terakhir dari sebuah hubungan yang tidak bisa lagi dipertahankan. Mut’ah menunjukkan bahwa perceraian tidaklah serta merta memutus hubungan, tetap ada bentuk tanggung jawab dan penghormatan berupa pemberian harta mut’ah tersebut.
Mut’ah adalah bentuk bahwa Allah ingin memastikan bahwa hak-hak perempuan tidak diabaikan begitu saja ketika ikatan pernikahan telah terputus.Besaran mut’ah yang tidak disebutkan secara spesifik dan hukumnya fleksibel atau dinamis merupakan bentuk keadilan bagi suami. Karena andai besaran mut’ah ditentukan, dikhawatirkan itu akan memberatkan salah satu pihak terutama suami. Demikian Islam mengatur pola mut’ah supaya tidak memberatkan suami dan tidak mengabaikan hak istri.
dianjurkan sebanyak 30 dirham atau yang setara dengan itu. Menurut mazhab Hanafi, besaran mut’ah seharga sepotong pakaian, namun hal ini bukan merupakan aturan spesifik, hanya sebagai gambaran atau acuan. Sedangkan menurut Hanbali, besaran mut’ah disesuaikan dengan perkembangan zaman.
kesimpulannya, besaran mut’ah tidak dapat disamaratakan karena kehidupan terus berkembang dan standar harga barang dalam suatu negara maupun daerah tentunya berbeda. keputusan besaran mut’ah akan dilakukan oleh hakim setempat dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi kedua belah pihak (suami dan istri) standardisasi kebutuhan daerah tersebut serta pertimbangan faktor lain seperti tanggungan pasca perceraian.
Jika menurut aturan dalam KHI pasal mu’tah tercantum di pasal 149, 158, 159 dan 160
pasal 149 :
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
- Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul (belum digauli sudah dicerai)
- Memberi nafkah, maskan ( tempat tinggal) an kiswah (pakaian)kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah di jatuhi talak bai atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil
- Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al– dukhul (belum digauli)
- Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Pasal 158 :
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :
1) Belum ditetapkan mahar bagi istri ba`da al dukhul (sudah digauli) 2) Perceraian itu atas kehendak suami.
pasal 159 :
Mut’ah sunnah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.
Pasal 160:
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
Mut’ah memiliki hikmah yang mencerminkan keadilan Islam dalam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Adapun beberapa hikmah tersebut adalah :
1. mengurangi luka emosional sang istri, bagaimanapun perceraian bukanlah hal yang mudah dan seringkali mengakibatkan luka batin yang mendalam. Mut’ah disini diharapkan mampu memberi dorongan untuk bangkit bagi sang istri saat mulai menata kehidupan barunya tanpa suami.
2. Mengurangi beban finansial,
Bagi istri yang memiliki penghasilan sendiri, mungkin tetap bisa melanjutkan hidup dengan bertumpu pada pekerjaannya sendiri. Namun, bagi perempuan yang dicerai dalam posisi tidak memiliki penghasilan sendiri tentunya akan sangat berat. Mut’ah yang diberikan oleh suami disini tentunya akan sangat membantu keberlangsungan hidup mantan istri.
3. Bentuk tanggung jawab suami
walaupun sudah tidak dalam ikatan pernikahan, mantan istri tetaplah orang yang pernah hidup bersama dan berjasa dalam kehidupannya. apalagi jika mantan istri tersebut telah melahirkan, menyusui dan merawat buah hati mantan suaminya. Mut’ah disini merupakan tanggung jawab moral walaupun ikatan pernikahan telah terputus.
dalam konsep mut’ah dapat dilihat bahwa Allah begitu menekankan adanya konsep keadilan dan kesejahteraan jika talak memang menjadi solusi terakhir dari sebuah hubungan yang tidak bisa lagi dipertahankan. Mut’ah menunjukkan bahwa perceraian tidaklah serta merta memutus hubungan, tetap ada bentuk tanggung jawab dan penghormatan berupa pemberian harta mut’ah tersebut.
Mut’ah adalah bentuk bahwa Allah ingin memastikan bahwa hak-hak perempuan tidak diabaikan begitu saja ketika ikatan pernikahan telah terputus.Besaran mut’ah yang tidak disebutkan secara spesifik dan hukumnya fleksibel atau dinamis merupakan bentuk keadilan bagi suami. Karena andai besaran mut’ah ditentukan, dikhawatirkan itu akan memberatkan salah satu pihak terutama suami. Demikian Islam mengatur pola mut’ah supaya tidak memberatkan suami dan tidak mengabaikan hak istri.