Penulis: Salman Akif Faylasuf *
Seringkali kita berjumpa di dalam kehidupan sehari-hari dengan orang-orang yang secara intelektual cerdas sekali, secara ilmu ia sangat alim. Akan tetapi, ilmunya tidak disertai dengan akhlak dan etika. Akibatnya, ia memiliki kecenderungan sombong.
Semakin pintar atau berpengetahuan seseorang, kesombongannya semakin meningkat. Karena itu, orang yang berilmu tidak cukup jika hanya memiliki ilmu saja, melainkan harus ditopang dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur.
Di dalam tradisi-tradisi Nahdlatul Ulama dan pondok pesantren kita mengenal pola pendidikan yang dikembangkan bahwa santri belajar tidak sekadar hanya belajar ilmu, tetapi juga belajar sikap dalam berilmu. Itu artinya, jika orang hanya memiliki ilmu yang mendalam tetapi tidak disertai dengan sikap keilmuan yang tepat, maka orang itu bisa menjadi pusat kejengkelan orang-orang lain.
Itu sebabnya, Sayyidina Umar bin Khattab pernah mengucapkan sebuah statement yang penting. Bunyinya:
تعلموا العلم وتعلموا للعلم السكينة والحلم وتواضعوا لمن تعلموا تواضعوا لمن تعلموا منه ولا تكونوا جبارة العلماء ولا يقوم علمكم بجهلكم
Artinya: “Pelajarilah ilmu dan pelajarilah bersama ilmu itu sakinah (sikap tenang) dan hilm (menahan amarah), dan berlakulah tawadu (rendah hati) dengan orang yang belajar kepadamu dan tawadulah kepada orang yang engkau belajar darinya, dan janganlah menjadi orang berilmu yang sombong sehingga ilmumu tidak bisa tegak disebabkan kebodohan.”
Orang yang memiliki ilmu godaan terbesarnya adalah sombong, penyakit orang alim adalah arogansi, dan ini terjadi dimana-mana sejak zaman dulu sampai sekarang. Karena itu, kesombongan membuat ilmu yang ada pada seorang alim tidak menarik. Dengan kata lain, seorang alim atau ilmu yang disertai dengan kesombongan bisa mendatangkan musibah.
Dengan demikian, maka bagi orang yang berilmu harus dia harus memiliki sikap dan sifat al-sakinah (ketenangan) dan al-hilm (kesabaran). Dengan ketenangan ia bisa mengontrol dirinya serta tidak mengumbar statement seenaknya. Apapun yang dilakukan harus dikalkulasi penuh dengan pertimbangan bukan dengan cara emosional.
Begitu juga dengan kesabaran. Ketika orang memiliki ilmu kemudian diperlakukan secara tidak baik oleh orang lain, maka dia tidak membalasnya dengan perbuatan jelek yang serupa. Jika dua sifat ini ditanamkan secara mateng, maka ia akan dicintai oleh orang banyak, dan ilmunya akan bermanfaat.
Kata Gus Ulil, para kiai-kiai ketika mengajarkan santrinya dipesantren, mereka tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan saja, melainkan juga mengajarkan sikap dalam berilmu. Dan, kadang-kadang sikap keilmuan jauh lebih penting daripada ilmu itu sendiri. Mengapa demikian? Karena seseorang yang memiliki sikap keilmuan kurang baik, ilmunya bisa membawa madharat dan mafsadah kepada orang lain. Ilmunya tidak membawa manfaat.
Tentu saja, lanjut Gus Ulil, sikap ilmu yang tepat justru akan membuat ilmunya orang tersebut membawa manfaat yang luar biasa. Imam Al-Hasan Al-Bashri, salah satu ulama besar dan sekaligus sufi besar di awal Islam pernah mengatakan: “Tuntulah ilmu pengetahuan dan hiasilah ilmu dengan ketenangan dan kesabaran.” Jelasnya, Belajarlah kalian ilmu untuk ketentraman dan ketenangan serta rendah hatilah pada orang yang kamu belajar darinya.
Masih tentang ilmu pengetahuan. Hari ini ilmu pengetahuan semakin menjauh dari cita-cita ideal seperti yang diharapkan Sayyidina Umar dan Hasan Al-Bashri. Justru pengetahuan sekarang sering dilepaskan dari etika pengetahuan. Apalagi dengan maraknya kemajuan teknologi ilmu pengetahuan bisa diraih dengan cuma-cuma dan gratis via internet, utamanya platform Google.
Atas dasar ini maka siapapun bisa menjadi mudah menjadi alim sekali. Dalam hal ini sarana-sarana untuk menjadi orang alim sangat banyak, termasuk lewat kanal You Tube banyak pengajian-pengajian. Mulai dari soal politik hingga soal keagamaan. Tak heran jika belakangan ini ada banyak bahkan ratusan yang secara tiba-tiba orang menjadi ustadz dadakan, padahal ia tak pernah mengeyam pendidikan dipesantren sama sekali.
Memang kecanggihan teknologi sangat bagus dalam upaya menyebarkan ilmu pengetahuan. Tetapi jangan lupa, bahwa ajaran penting dan dirawat di pondok-pondok pesantren adalah jika belajar dan mencari ilmu saja maka ia dikatakan satu sisi mata koin. Sementara sisi mata koin yang lainnya adalah sikap berilmu.
Artinya, jika ilmu tidak diberengi dengan sikap berilmu yang tepat, maka ia ibarat orang yang memakai baju yang kusut, tidak menarik. Justru seseorang membencinya karena ia tidak memakai pakaian yang indah. Dengan kata lain, berilmu tanpa dihiasi dengan al-waqar dan al-hilm sama sekali tidak menarik.
Sederhananya, orang pinter tetapi sombong maka ia menjengkelkan. Sebaliknya, orang yang pinternya sedang-sedang saja tetapi sopan dan akhlaknya baik, ia bisa menyebarkan faidah ilmunya lebih banyak karena sikap berilmunya tepat (disenangi banyak orang).
Selain kecanggihan teknologi, kata Gus Ulil, sekarang kita mengalami instrumentalisasi ilmu. Ilmu hanya sekedar dijadikan sebagai instrumen atau alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang sesaat sifatnya. Karena ilmu di instrumentalisasikan, kadang-kadang ilmu seperti ini tidak dibarengi dengan sikap berilmu yang baik. Itu sebabnya tak jarang kita menderang omongan-omongan “pokoknya saya sudah paham dan mendapatkan ijazah, yo wes saya sudah puas.”
Tentu saja berilmu seperti ini bukan berilmu seperti yang diajarkan oleh para ulama kita. Ulama-ulama dari dulu sampai sekarang selalu mengajarkan dua hal kepada para santrinya, yaitu berilmu dan sikap berilmu (akhlak ilmu). Semoga kita bisa menjadi orang-orang berilmu dan memiliki sikap keilmuan yang tepat benar. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.