KeislamanNgaji Ihya’ Ulumuddin

Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Mencela Sifat-sifat Hasud

5 Mins read

Manusia adalah makhluk unik dan istimewa. Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya, manusia dianugerahi unsur-unsur immaterial yang lengkap, yaitu: ruh, akal, hati, dan nafs (syahwat dan ghadlab) yang terbentuk dalam satu kesatuan yang disebut jiwa (soul). Dari komponen immaterial ini, manusia hakikatnya adalah sebagai makhluk spiritual. Masing-masing unsur tersebut memiliki fungsi yang berbeda.

Namun didalam jiwa manusia, ada juga unsur energi negatif yang dapat menghancurkan diri dan lingkungan, yaitu penyakit hati (amradlul qulub) yang menimbulkan sifat sangat buruk. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menuturkan bahwa diantara penyakit hati salah satunya adalah sifat hasud (al-hasad) yang sangat berbahaya, dimana sifat hati ini selalu muncul dari zaman ke zaman.

Hasud adalah tidak suka-menyukai ketika seseorang mendapat kebaikan, dan gembira ketika orang lain mendapatkan musibah. Lalu bagaimana cara kita menghilangkan sifat-sifat hasud? Sejatinya sifat hasud menurut Al-Ghazali adalah buah (al-tsamrah) dari sifat dengki (al-hiqdu). Sementara dengki adalah salah satu hasil yang timbul dari sifat marah (al-ghadab), dalam hal ini, sifat marah adalah pokok dari pokonya hasud. Inilah hierarki sifat-sifat jelek dalam diri manusia.

Hasud adalah klaster problem jiwa yang memiliki dampak luar biasa bagi kehidupan diri, lingkungan, masyarakat, bahkan berdampak pada suatu peradaban. Betapa banyak perkelahian, percekcokan, dan peperangan fisik dengan saling membunuh dan meniadakan, diakibatkan oleh munculnya sikap dengki. Meski tak terlihat secara kasat mata, namun keberadaannya justru memiliki pengaruh dan dampak yang luar biasa serta bahaya yang lebih ganas dibandingkan dengan sesuatu yang dapat terlihat mata.

Sifat ini ditandai dengan dengan adanya tiga hal yaitu, merasa tidak senang apabila orang lain mendapat nikmat, senang jika Allah mencabut nikmat orang lain, dan senang jika orang lain mendapat musibah. Orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit hasud dengki ini, hidupnya tidak akan pernah bahagia, jiwanya senantiasa menderita dan tersiksa. Hatinya selalu tersiksa jika melihat orang lain lebih dari dirinya atau mendapat nikmat serta kejayaan. Dan sebaliknya dia akan bergembira bila orang lain susah dan gagal. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ اَلْحَسَدُ يَأْكُلُ لْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

Artinya: “Dari sahabat Anas RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda sifat hasud itu memakan pahala kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.”

Baca...  Menyingkap Tanda-tanda Kebesaran Allah Melalui Reaksi Kimia

Ada beberapa hal yang dapat menghindarkan diri dari sifat hasad, di antaranya, meyakini takdir yaitu bahwa, segala macam nikmat dan musibah adalah datangnya dari Allah, serta memperbanyak rasa syukur atas nikmat yang diberikan kepada kita.

Syukur ini dapat kita wujudkan dalam bentuk lisan (mengucap alhamdulillah), meyakini dalam hati bahwa segala macam kebaikan datangnya dari Allah, dan menunjukkannya dalam perbuatan yaitu misalnya dengan berbagi kepada orang lain.

Sudah mafhum, bahwa jika api didekatkan pada kayu bakar, seketika akan menjalar dan memakan kayu dengan cepat sekali. Begitulah sifat hasud. Artinya, sifat hasud jika sudah tertanam dalam hati (jiwa), akan terasa sangat panas.

Nabi juga bersabda:“Jangan saling hasud kalian, jangan saling memotong hubungan tali silaturrahmi, jangan saling marah kalian, jangan saling adu punggung, dan jadilah kalian sebagai saudara-saudara diantara kalian.”

Asy-Sya’rawi mengatakan, penyakit jiwa bernama hasud benar-benar nyata. Al-Qur’an sendiri dengan jelas menyebut sifat ini. Dalam al-Qur’an disebutkan tentang sikap sebagian ahli kitab terhadap Rasulullah SAW

اَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلٰى مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۚ

Artinya: “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya?” (QS: an-Nisa: 54).

Di dalam hadis ini Nabi mengungkapkan larangan-larangan yang mengandung makna “resiprokal” (saling berbalasan); dua orang saling melakukan tindakan terhadap yang lainnya. Kita tahu, dalam Bahasa Arab ada satu pola (wazan) atau kata kerja yang mengikuti pola “wazan tafaala”. Kata kerja yang mengikuti wazan ini seperti lafadz, Tahasada, Taqata’a, Tabaghadha dan lainnya menunjukkan makna “Musyaraqah” atau “Isytiraq” (pekerjaan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih). Ada sesuatu yang ditambahkan pada kata kerja sehingga menghasilkan makna-makna baru.

Hadis ini disabdakan oleh Nabi masa-masa awal, dimana saat itu Nabi hijrah ke Madinah (Yatsrib), dengan tujuan ingin membangun satu komunitas (masyarakat) baru yang kohesif dan kokoh secara ikatan sosial (al-Ukhuwah Islamiyah, Imaniyah, Wathaniyah, Basyariyah). Karena satu komunitas tak akan pernah tumbuh jika masih ada sifat-sifat hasud-menghasud, memutus tali siturrahim, terlebih tidak adanya sifat percaya-mempercayai.

Di Madinah saat itu ada orang Yahudi, Nasrani, Quraisy dan beberapa suku-suku lainnya, mereka bersatu-padu menyatakan “bersatu” dan “berjuang bersama” yang kemudian ditulis dalam sebuah konstitusi atau Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal (24 pasalnya perlindungan terhadap orang-orang yang berbeda, sementara 23 pasalnya bagaimana mengatur tata hidup bersama seperti, mengatur pemerintahan).

Baca...  Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Keutamaan Sifat Altruisme

Tak kalah menariknya apa yang diungkap oleh filsuf Inggris yaitu John Locke dalam (Two Treatises of Government, 1690) memiliki pandangan berbeda dari Hobbes dalam memahami keadaan alam, ia menganggap state of nature sebagai keadaan di mana manusia, meskipun bebas, setara, dan mandiri, berkewajiban menurut hukum alam untuk saling menghormati hak hidup, kebebasan, dan hak milik (Tabula Rasa).

Namun demikian, individu setuju untuk membentuk persemakmuran (dan dengan demikian meninggalkan keadaan alami) untuk melembagakan kekuatan yang tidak memihak yang mampu menengahi perselisihan dan memulihkan konflik. Dengan itu, Locke berpendapat bahwa kewajiban untuk mematuhi pemerintah sipil dibawah kontrak sosial bergantung pada perlindungan hak-hak kodrati setiap orang, termasuk hak atas kepemilikan pribadi. Penguasa yang melanggar persyaratan ini dapat dijatuhkan secara adil.

Kontrak sosial bagi Locke adalah bentuk legitimasi otoritas politik untuk membatasi kewenangan setiap subjek dan hak dari setiap penguasa. Tidak seorangpun dapat memiliki kekuatan politik tanpa persetujuan rakyat. Hal ini berarti pada hakikatnya seluruh aktivitas dalam negara akan ditentukan oleh persetujuan rakyat. Pemerintah dari pada negara inilah yang kemudian memiliki tugas dalam melindungi kehidupan kebebasan, dan kepemilikan rakyat.

Jhon Locke juga mengatakan, untuk menciptakan solusi dari kondisi perang sembari menjamin kepemilikan pribadi, masyarakat harus setuju untuk membuat perjanjian awal atau “kontrak sosial”. Dengan demikian, tujuan mendirikan negara bukan untuk menciptakan kesetaraan bagi semua orang, tetapi untuk menjamin dan melindungi properti pribadi setiap warga negara yang masuk ke dalam perjanjian.

Dalam perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua kekuatan penting yang mereka miliki di bawah kondisi alami kepada negara. Kedua kekuatan itu adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia membela dirinya sendiri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat yang berasal dari Tuhan. Pengajaran Locke memiliki dua konsekuensi;

Pertama, kekuasaan negara ideal pada dasarnya terbatas dan tidak absolut, karena kekuatannya berasal dari warga negara yang mendirikannya. Jadi, negara hanya bisa bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh masyarakat terhadapnya.

Kedua, tujuan pembentukan negara adalah untuk menjamin hak-hak warga negara, terutama hak-hak warga negara atas properti mereka. Untuk ini, warga negara bersedia menyerahkan kebebasan mereka dalam keadaan alami yang terancam oleh perang untuk bersatu di negara itu.

Baca...  Ilusi Waktu: Tafsir Jiwa Antara Jarak Hari Ini dan Hari Kemarin

Syahdan, Islam adalah agama yang etosnya membangun perdamaian. Sesuai dengan namanya, Islam berarti perdamian. Nabi Muhammad datang membawa agama Islam untuk menggambarkan esensi yang paling mendalam, bahwa ajaran yang dibawa adalah agama yang mengajarkan tentang perdamian. Kalau kita rinci, kata Islam berasal dari kata Salima yang artinya selamat, bebas dan damai. Dalam kaidah tata bahasa Arab berbunyi Salima–Yaslamu–Silman–Salman–Salamatan yang berarti damai.

Karena itu, kata Sallama berarti menyerahkan, hal ini berarti melepaskan sesuatu yang di dalamnya terdapat unsur pembebasan. Maka, dapat dipahami bahwa Islam mengajarkan perdamaian yang di dalamnya terdapat prinsip pembebasan, baik dari rasa takut, lapar maupun ketidakamanan. Itulah intisari dari ajaran Islam yang terkadang banyak umatnya sering melupakan.

Apakah ada sifat hasud-iri yang diperbolehkan?

Dalam ajaran Islam, hasud hanya dibolehkan dalam dua hal: terhadap orang yang dianugerahi harta oleh Allah kemudian ia menafkahkannya dengan benar, dan terhadap orang yang dianugerahi ilmu kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Rasulullah Saw bersabda: “Tidak dibenarkan hasad kecuali dalam dua hal; terhadap seseorang yang diberi anugerah oleh Allah berupa harta lalu dia menafkahkannya di jalan yang benar, dan terhadap seseorang yang diberi anugerah ilmu oleh Allah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jelasnya, Nabi memberi arah kepada kita, bahwa yang boleh diirikan oleh kita dari orang lain adalah amal shalehnya, bukan kebendaannya. Kita boleh iri kepada orang kaya misalnya, tetapi bukan kekayaannya melainkan perbuatannya menafkahkan kekayaannya itu di jalan Allah. Demikian juga dengan ilmu, kita diperbolehkan iri kepada orang yang berilmu (alim), bukan karena ilmunya, melainkan karena perbuatannya dalam mengamalkan dan mengajarkan ilmunya.

Namun demikian, menurut Gus Ulil, dalam hadits lain Nabi pernah menyatakan bahwa, obat dan tambatan dari tiga perkara itu (suudzan, prasangka buruk melalui burung, hasud) adalah, pertama, jika menyangka (buruk) engkau, maka jangan merealisasikan engkau akan su’uddzan. Dan jika berprasangka buruk engkau melalui burung, maka teruslah jalan (langgar saja). Sementara jika engkau hasud kepada saudaramu, maka jangan sampai engkau melanggar untuk berbuat jahat. Wallahu a’lam bisshawab.

156 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
Keislaman

Tujuh Tempat Terlarang Untuk Salat

5 Mins read
Salah satu rukun salat adalah tempatnya harus suci. Bukan hanya karena agar salatnya sah, tapi karena yang menjadi pertimbangan juga kekhusyukan. Nabi…
KeislamanTokoh

Rohana Kudus Tokoh Pergerakan Wanita Indonesia

3 Mins read
Kuliahalislam.com. Rohana Kudus (lahir di Kotagadang, Bukittinggi, Sumatra Barat, 20 Desember 1884 dan wafat di Jakarta, 17 Agustus 1972). Ia merupakan perintis…
Keislaman

Ziarah Makam Sunan Pandanaran : Biografi dan Jejak Spiritual di Tanah Jawa

4 Mins read
Ziarah makam sunan Pandanaran: biografi dan jejak spiritual di tanah Jawa. Pada hari itu saat menuju makam sunan Pandanaran penulis berangkat tidak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
EsaiFilsafatKeislamanOpini

Hilangnya Empati, Terbitlah Anarki

Verified by MonsterInsights